“Sudah ya... sebentar lagi Ayun turun. Pokoknya inget ya, lusa kita ketemuan di balai desa. Semua harus dateng. Gak boleh ada yang gak dateng. Ini tugas negara ini....! Ha ha ha ha.......!” entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, salah seorang dari sekelompok remaja berseragam SMA, perempuan dan menyebut dirinya Ayun, mewanti-wanti temannya untuk datang sesuai janji. “Ha ha ha ha... Masih jauh Ayun…., tapi oke sih kalo pamit sekarang!” dengan gaya ceria, mereka meng-ok-kan permintaan salah seorang temannya itu. Tapi, dari sudut kabin angkutan pedesaan ada suara anak laki-laki nyeletuk, “Yun..., kalo aku gak dateng boleh gak?” Semua menoleh ke sumber suara, “Mau berlibur ke Prindavan?” Kompak, seperti paduan suara, teman-temannya menyambut celetukan itu. Sementara yang nyeletuk tadi cuma nyengir embek, “kok pada tahu?”
“Lha yo jelas tahu.... wong tiap kali kamu diajak, selalu alasannya itu!” gadis
yang menyebut dirinya Ayun
menjawab dengan sedikit kesal.
“Ya sudah, aku gak
datang kalau begitu!”
“Gak usah pamit!”
teriak gadis yang menyebut dirinya
Ayun yang kesal. Tapi, “ha ha ha ha ha.....” teman-temannya
merasa itu adalah hal yang lucu dan pantas untuk membuat mereka tertawa. Mereka melanjutkan pembicaraan
yang diselangi canda.
Angkutan pedesaan yang
membawa mereka itu melaju mengikuti jalan yang membelah sawah dan memasuki
gerumbul perkampungan. Ketika
sampai ke pertigaan ledeng (pintu air), gadis yang menyebut dirinya Ayun itu teriak ke sopir, “kiri pir..., kiri!” dan angkutan
pedesaan itu pun berhenti.
Gadis yang menyebut dirinya itu Ayun
beranjak dari tempat duduknya, turun.
“Sudah ya, Ayun
turun duluan....!” pamit gadis
yang menyebut dirinya Ayun,
“Assalamu’alakum!”
“Wa’alaikum
salam!” teman-temannya yang masih di angkutan pedesaan itu
menjawab kompak. Gadis yang
menyebut dirinya Ayun turun
dan segera ke depan dan melalui jendela sebelah kiri dia mengulurkan 2 lembar
duaribuan. “Ini, Kang!”
Sopir angkutan
pedesaan itu menyambut dua lembar uang duaribuan itu sambil bilang, “diterima,
salam buat Bapak ya....!”. Sopir
itu ternyata tetangganya.
Gadis yang menyebut
dirinya Ayun itu cuma cengar-cengir sambil bilang “Iya kang!”
“Sudah ya,
semuanya, sampai lusa!” teriak gadis
yang menyebut dirinya Ayun itu sambil melambaikan tangannya. Dia membalikkan badannya berjalan menyusuri jalan desa. Angkutan pedesaan itu kembali melaju, membawa
teman-temannya yang masih tersisa.
Jalan desa yang
membelah perkampungan ini, di sebelah kanannya mengalir saluran irigasi
sekunder yang mengalirkan air dari bendung gerak ke sawah-sawah di sekitar
kampungnya. Rumahnya sendiri berada di dekat areal persawahan yang sangat luas
di ujung kampung.
Cuaca sedang
bersahabat saat ini. Meskipun matahari nampak pongah menghujamkan sinarnya dari
tahtanya di ketinggian sana, namun angin seperti tahu bahwa di jalan
desa sedang berjalan seorang anak gadis remaja berkulit kuning langsat, bermuka tirus, mata kecil bulat, alis melengkung, dan hidung kecil mancung. Dapat
dikatakan seluruh indikator kecantikan orisinil menempel
dengan sempurna pada sebidang wajah penghias paripurna dari tubuh mungil gadis
yang terbalut gamis dan kerudung rapi.
Angin tahu bahwa gadis itu harus dibuat nyaman dan tidak kepanasan. Gadis itu adalah gadis yang
tadi menyebut dirinya Ayun. Dia bernama Arundhati. Orang memanggil dia dengan panggilan Yun atau Ayun dari
Run atau Arun, Arundhati. Dan,
selanjutnya, kita akan sebut saja dia sesuai namanya atau bagaimana dia
menyebut dirinya saja.
Mendekati
balaidesa, Arundhati melihat ada kerumunan di halaman balai desa. Keingintahuannya menuntunnya mendekati kerumunan
itu. Semakin dekat dengan kerumunan itu, semakin heran dia. Tak satupun orang-orang yang berkerumun itu dia kenali. Sebenarnya dia mulai ragu untuk mendekat, namun rasa ingin tahunya
mematahkan keraguannya.
Arundhati semakin mendekat ke kerumunan, namun ukuran tubuhnya yang kecil membuatnya tidak
mampu melihat ke tengah kerumunan. Bahkan, ketika dia coba dan menjinjit atau sedikit
melompat dengan menjulurkan kepalanya, pandangannya
tetap tidak dapat menjangkau
object yang sedang dirubung orang-orang itu.
Arundhati menyerah dan kembali hendak ke jalan untuk
melanjutkan perjalanan pulangnya. Ketika melangkah meninggalkan kerumunan, dia baru menyadari ada sesuatu yang aneh. Saat berada bersama kerumunan tadi, sepertinya tidak
ada satupun orang yang berkemun tadi dia kenal. Dia membalikkan badan, dan
alangkah terkejutnya dia demi mendapati bahwa kerumunan dari orang sebanyak itu
tadi sudah tak ada lagi. Hanya halaman dan pendopo balai desa yang kosong.
Tiba-tiba ada getaran
rasa takut merambati sekujur tubuhnya dan mengaliri seluruh nadinya. Dadanya
berdegup kencang. Arundhati berdiri terpaku dengan kepala menunduk serta tangan
meremas gamisnya. Dia coba pejamkan matanya dan berusaha menolak pandangannya.
“Tidak, ini tidak nyata. Ini tidak nyata!”
Arundhati membalikkan
badannya arah ke luar balai desa dengan tetap memejamkan matanya. Arundhati
masih belum berani membuka matanya. Antara ragu dan takut dengan apa yang
mungkin akan dia temui saat dia membuka mata, membuatnya masih memejamkan mata.
Kebingungan nampak menyelubungi pikirannya.
Lama Arundhati berdiri
menunduk dengan mata terpejam dan kedua tangan lurus kaku meremas gamisnya.
“Ibu, Bapak… Ayun
takut…!”
Beberapa tetes air
mata nampak menyusup keluar dari sudut matanya yang terkatup rapat.
Angin masih bertiup
lembut mengipasi tubuh mungil Arundhati yang masih berdiri di tengah lapangan
balaidesa. Penduduk desa tak ada satupun
yang perduli dengan keberadaannya yang tengah ketakutan di tengah halaman balaidesa.
Mereka beraktifitas seakan memang tidak ada Arundhati di sana. Bahkan ketika
beberapa penduduk desa memasuki area balai desa, mereka berjalan biasa saja
tanpa ada yang peduli bahwa ada seorang gadis yang tengah ketakutan teramat
sangat berdiri di tengah halaman balaidesa.
Arundhati sama sekali
tidak menyadari fenomena ini. Dia masih tenggelam dalam ketakutannya, sampai
akhirnya, “Ya Allah, kumohon angkatlah ketakutan dalam diriku!”
Arundhati mulai
membuka matanya. Sungguh terkejut dia saat menyadari bahwa lingkungannya telah
berubah sama sekali. Tak ada satupun
pemandangan yang ada di depannya dia kenal. Bila orang-orang dalam kerumunan
tadi itu adalah orang asing baginya, saat ini sepertinya justeru dialah yang menjadi orang asing. Semuanya terlihat asing. Arundhati yang kenal
betul dengan suasana desanya amat yakin bahwa dia tidak mungkin salah. Dia tadi
benar-benar turun di ledheng irigasi desanya. Kemudian, dia melewati
balaidesa. Dan karena
dia liat ada kerumunan dia
berbelok melihat kerumunan di itu.
Kerumunan di balaidesa dari
desa tempat tinggalnya, sekali
lagi, yang sangat dia kenal. Bahkan dari kecil dia memang suka main di halaman
balaidesa.
Tiba-tiba
Arundhati seperti terjerembab ke dalam sebuah kebingungan yang sangat dalam.
Lingkungan di balaidesa yang sangat dia kenal, saat ini menjadi samasekali asing baginya.
Arundhati terus
berusaha untuk mengenali semua obyek asing yang tiba-tiba menggantikan apapun di sekeliling balaidesa.
Bahkan sampai ke jalan, ke seberang jalan. Sungai saluran irigasi buatan di
seberang jalan pun tidak terlihat.
Arundhati berdiri
diam. Dia dekap tas sekolahnya. Bukan cuma bingung, dia mulai merasa ketakutan lagi. Ketakutan dan kebingungan yang amat sangat merayapi seluruh jiwanya. Jantungnya berdetak semakin kencang. Arundhati berusaha tenang. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa
apa yang dia lihat bukanlah hal yang nyata. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Arundhati menutup matanya agak lama dan
berharap saat membuka mata, apa yang akan dia lihat akan kembali
seperti semula. Namun sayang apa yang dia harapkan sama sekali tidak terwujud. Pemandangan asing itu masih tetap hadir di hadapannya.
Arundhati segera menutup matanya kembali.
Arundhati berpikir
keras untuk mengatasi hal ini. Akhirnya dia ingat bahwa rumahnya ada pada
sekitar tiga rumah dari balaidesa, atau sekitar seratus
langkah dari balaidesa. Sambil
membuka matanya Arundhati ke
luar halaman balaidesa dan berbelok ke arah rumahnya sesuai perhitungan
dia. Dia berjalan sangat cepat sambil
menghitung langkah. Dia tidak
peduli bahwa pada setiap langkahnya, situasi di sekelilingnya berubah seketika
dengan berbagai bentuk. Dia tidak mau terperangkap dalam kebingungan lagi. Ketika tepat seratus langkah dia menengok
ke kiri, namun dia tidak melihat ada rumah dan apalagi rumahnya. Arundhati hanya
melihat pepohonan rimbun. Dia ada di hutan saat ini. Ketika menoleh ke
belakang, hanya setapak dengan semak-semak di kiri-kanannya yang dia lihat. Bukan
lagi jalan desa.
“Ini pasti tidak
nyata. Ini pasti tidak nyata. Semua kenyataan yang aku kenal pasti tersembunyi di
balik pandanganku. Aku hanya butuh meyakini!” Arundhati berusaha untuk memahami
semua fenomena yang dia alami semenjak dari balai desa. Ketika semua pikirannya
terfokus untuk dapat memahami, dia merasakan ketakutan yang tadi
mengganggunya perlahan hilang. “Ini tidak nyata!” bisiknya dalam hati.
Arundhati berbelok ke
kiri, ke arah yang dia yakini masuk ke halaman rumahnya. Namun,
ternyata untuk berbelok ke arah rumahnya pun terasa sangat berat. Dia kerahkan
seluruh tenaganya, untuk dapat berbelok. Dia tidak mau menyerah sampai akhirnya dia benar-benar menghadap ke kiri, dan mulai
melangkah. Namun entah kenapa, tiba-tiba dia merasakan
pusing yang sangat luar biasa. Kali ini Arundhati tak kuasa menahannya lagi. Arundhati
jatuh.
“Ayun....!”
seorang lelaki setengah baya berteriak dan menangkap tubuh Arundhati. “Ayun...!”
lelaki setengah baya itu kembali berteriak sambil menahan tubuh Arundhati.
“Alhamdulillah.... akhire ketemu...! Dari mana saja to kamu Yun... cah ayu?”
“Bapak-bapak...!
Pak RT! niki ngriki... Ayun sudah ketemu!” lelaki setengah baya itu memanggil
yang lain sambil ambil posisi membopong Arundhati. Lelaki setengah baya itu berjalan ke arah
rumahnya. Yang lain mengikuti di belakang.
Lelaki setengah baya itu terus
masuk ke dalam rumah sambil
tetap membopong Arundhati, sementara yang lain duduk-duduk di risban di teras rumah
sebelah kanan.
“Ibu..! Mbok...!
Ini Ayun sudah ketemu!” Lelaki setengah baya itu memanggil seseorang. Seorang perempuan tengah baya muncul dari
arah belakang dan, “oalah anakku, kemana saja kamu hari ini? semoga bukan
kejadian buruk yang mengganggumu hari ini!” Ibu setengah menangis membelai
kepala Arundhati yang masih pingsan.
“Bawa masuk ke
kamar dia saja, Pak! Biarkan tubuhnya
istirahat, semoga dia lekas sadar” Ibu meminta Arundhati langsung dibawa masuk ke kamarnya. Bapak segera kembali membopong Arundhati ke
kamar. Ibu mengikuti bapak.
Kedua orang itu masuk diikuti beberapa orang yang dari tadi sore mencari Arundhati.
Kedua orang itu adalah bapak dan
ibu Arundhati. Lelaki setengah baya yang membopong Arundhati adalah bapak
Arundhati. Sementara, perempuan yang mengikutiya masuk ke kamar adalah Ibu
Arundhati. Bapak Arundhati adalah pemilik toko bangunan di dekat pasar desa.
Selama ini, Arundhati memang tidak pernah kemana-mana.
Pulang sekolah pasti dia langsung ke-rumah. Kalaupun ada acara di sekolahan,
dia lebih memilih untuk pulang terlebih dahulu untuk memohon ijin orang tuanya
baru kemudian ke sekolah lagi. Hari ini tadi, dari siang Arundhati tidak
kelihatan di rumah, bahkan sampai maghrib masih belum nampak Akhirnya, orangtuanya bersama beberapa orang
sekitar rumah melakukan pencarian.
“Kalian, silakan keluar dulu. Aku mau lepas kerudung Ayun” Bapak menyuruh beberapa orang yang ikut mengantar sampai kamar tidur Arundhati keluar, agar dia bisa melepas kerudung Arundhati.
“Buk, tolong bikinin kopi enam gelas ya, buat di depan!” setelah
merebahkan tubuh Arundhati dan melepas kerudungnya, Bapak meminta dibikinin kopi untuknya dan beberapa orang yang masih terdengar bercakap-cakap di
ruang tamu. Bapak segera keluar menemui yang lain. Ibu keluar kamar, ke dapur, menemui seorang perempuan muda yang sedari tadi tidak keluar
dari dapur meskipun ada banyak orang dan cukup gaduh. Ibu bicara pelan dengan
perempuan muda itu, sepertinya dia meneruskan permintaan bapak tadi. Setelah itu ibu kembali ke kamar Arundhati.
Duduk di samping Arundhati sambil mengusap-usap kepala Arundhati.
Di teras,
orang-orang yang tadi menemani bapak mencari Arundhati masih berkumpul. Ketika bapak keluar dari dalam rumah dan
duduk di risban bersama yang lain, slah seorang dari mereka bertanya,
“bagaimana sih lik kejadiannya? padahal tadi kita juga sudah lewat gerbang itu
bolak-balik. Bahkan jalan di depan sana pun sudah bolak-balik kita lewati.
Tidak juga ketemu Arundhati. Ini kenapa tiba-tiba dia muncul?”
Bapak mencabut
sigaretnya satu batang, dan menjepitnya dengan kedua bibirnya. Dia ambil korek
dari atas meja, entah punya siapa, dan dia nyalakan sigaretnya. Dia hisap
dalam-dalam sigaretnya, dan dia cabut sambil dia hembuskan asap putih tebal
dari mulutnya.
“Aku juga nggak
tahu. Cuma pas tadi melangkah di buk depan rumah itu, tiba-tiba aku liat tubuh anakku itu terhuyung jatuh ke arahku. Entah apa.... yang dia alami
hari ini. Semoga bukan hal yang buruk” jawab Bapak yang juga sebenarnya masih bingung. Sejenak suasana hening. Namun tak lama
kemudian, dari dalam rumah keluar perempuan muda yang semenjak tadi di dapur
terus.
“His... his...
sini..!” perempuan muda itu setengah berbisik tapi tangannya melambai ke salah
seorang lelaki muda yang tadi ikut mencari Arundhati. Seorang lelaki muda
berkulit putih bersih, berbaju kaos hijau, bersarung dan kopiah.
“Sa ya?” hampir tanpa
suara lelaki muda itu bertanya untuk memastikan sambil menunjuk dadanya
sendiri. Perempuan muda itu tersenyum, “la iya.....!”
“Iya... itu bantu
kakakmu Tantri... sana!” salah seorang yang melihat kejadian itu menegur dengan suara
agak lebih keras sedikit. Kemudian lelaki muda bersarung dan kopiah itu masuk
mengikuti perempuan muda yang
ternyata punya panggilan Tantri tadi. Tak lama mereka keluar dengan
si perempuan muda membawa senampan gelas dan si lelaki muda membawa satu teko
panas berisi kopi. Si perempuan muda meletakkan gelas di atas meja besar di
depan risban, demikian pula si lelaki muda; meletakkan teko kopi itu di atas
meja besar.
“Monggo semuanya,
kopinya. Sengaja aku tidak menuangkan kopinya. Takut cepat dingin!” si lelaki
muda menawarkan kopinya.
“Ha..lah! bilang
saja males, Di, Turadi!” seru orang yang tadi menegur lelaki
muda yang ternyata punya nama
Turadi itu sambil berdiri
mengambil gelas dan kopi. Mendengar itu yang lain tertawa. Setelah kejadian
itu, malam itu menjadi cair. Mereka melepas lelah setelah berputar-purat
selepas maghrib tadi mencari Arundhati. Mereka saling bercerita, bahkan tentang
kejadian Arundhati tadi, meskipun mereka sebenarnya sama-sama mengalami.
0 komentar:
Posting Komentar