Semburat pagi telah mengintip di ujung timur persawahan. Bayang-bayang awan yang menggantung di langit terlihat berwarna lembayung dengan putih mengintip, dengan tersisa hitam di ujung lain. Gerumbul perkampungan nampak berbaris di tepi sebelah sana. Petani masih belum nampak yang turun ke sawah. Musim hujan baru saja tiba. Sebagian besar petak sawah baru sedikit terendam air dengan bongkah-bongkah sisa tanah kering menyeruak di antara genangan.
Sebuah rumah di pinggir sawah yang tiga hari lalu ramai orang-orang yang ikut pencarian Arundhati nampak mengepulkan asap putih dari bagian belakang. Penghuninya telah bangun dan mulai aktifitas di dapur. Ibu, ibunya Arundhati tengah sibuk di dapur, dan Bapak bapaknya Arundhati tengah sibuk menguliti kelapa di halaman samping dekat dapur. Di dalam rumah, di salah satu kamar, Arundhati terlihat masih tertidur. Ini adalah hari ketiga dia tertidur. Tidak seperti dua hari sebelumnya, hari ini dia nampak gelisah. Kepalanya berkali-kali bergerak ke kiri dan ke kanan. Tangannya meremas kain rok bawahannya. Lama dia seperti itu sampai semburat lembayung hilang dan lazuardi biru membentang menggantikan.
Arundhati nampak mulai tenang dan mulai membuka matanya. Arundhati tidak tahu apa yang telah dia alami. Ketika dia membuka matanya, dia sama sekali tidak mengenali sekelilingnya. Dia bangun dan duduk di ranjang. Ranjang kecil yang juga dia tidak bisa kenali. Dia merasa ini bukan ranjangnya dan bahkan dia pun tak tahu benda apa yang sedang dia duduki. Dahinya mengkerut, saat pandangannya menumbuk batang bambu wulung yang menjadi bahan utama ranjangnya. Dia tidak tahu kenapa ada benda itu, dan kenapa dia ada di situ. Bahkan dia pun lupa semua kosa kata, nama apapun yang ada di sekelilingnya. Kebingungannya semakin memuncak ketika pandanganya merayap keluar jendela dan melihat dahan-dahan bunga dahlia terayun-ayun. Mata Arundhati terbelalak ketakutan. Dalam pandangannya, dahan-dahan dahlia itu seperti cakar-cakar rasaksa yang mengancam. Dia tidak tahu harus berbuat apa, tapi refleksnya mendorong dia untuk berteriak, “Ibu...!!!!” Arundhati masih belum lupa dengan kata itu.
Kali ini Arundhati memang kehilangan total seluruh memorynya. Bahkan dia tidak punya pembanding apapun yang tersimpan dalam memorynya. Namun dia masih punya satu kata, Ibu. Meskipun itupun dia tidak tahu artinya.
“Ibu…..!” sekali lagi Arundhati merneriakkan panggilan itu.
Demi mendengar teriakan itu, tatapan mata Ibu terlihat berbinar. Setelah dua hari dua malam Arundhati tertidur, suara panggilan itu benar-benar sangat menggembirakan. Ibu yang sedang mengangkat dandang panas tidak dapat segera menemui Arundhati, “Pak.. Pak... Bapak, coba lihat itu si Ayun. Sudah bangun sepertinya!”
“Ah, apa iya” Bapak segera masuk ke rumah meninggalkan kelapa yang masih menancap di slumbat. Tukang kebon yang sering membantu Bapak, beberapa hari memang tidak kelihatan sehingga Bapak harus nylumbat sendiri klapanya untuk keperluan dapur.
Arundhati turun, menjauh dari ranjang. Mundur ke arah pintu sambil sambil melihat ke arah ranjang dan ke arah luar secara bergantian. Dia sangat ketakutan melihat bambu wulung ranjangnya dan ayunan dahan dahlia di luar.
“Alhamdulillah, Ayun, sudah bangun?” Bapak yang telah berdiri di belakang Arundhati menegur dan memegang pundak kanan Arundhati dari belakang. Didorong rasa senang melihat anaknya telah bangun, Bapak memutar tubuh Arundhati hendak memeluknya. Belum sampai memeluknya, Arundhati yang kaget malah menepis tangan Bapak dan melompat mundur. Tubuhnya menegang, dan matanya melotot ketakutan. Bapak bingung dan melihat kelakuan Arundhati. Semakin bingung dia melihat Arundhati yang semakin ketakutan ketika melihat dirinya. Bapak kembali mendekat dengan mengangkat kedua tanganya hendak memeluk dan mendekap Arundhati. Arundhati yang takut berubah menjadi marah. Dia tepis kedua tangan bapaknya dan kembali mundur sambil menunjuk ke arah laki-laki itu.
“Rrr…ra..ra….!” ketakutan dan kebingungan semakin menekan Arundhati. Dia tarik tangannya sambil menggelang-gelengkan kepalanya, “Ibu……!” Arundhati meneriakan kata itu sambil menunduk dengan kedua tangan mengejang di sampingnya, “Ibu….!”
“Pak...! Kenapa itu si Ayun kok masih teriak-teriak!?” suara Ibu teriak dari dapur, merespon panggilan itu. “Ibu…!” belum lagi Bapak menjawab, Arundhati kembali berteriak, “Ibu…..!”
“Iya iya iya… tunggu…!” terdengar Ibu menyahut dari dapur. Tak lama kemudian ibu muncul, nampak terburu-buru sambil bertanya pelan ke arah Bapak, “ada apa sih, Pak?” dengan muka tegang, Bapak menggeleng. Ibu menggernyitkan dahi. Dia melihat ke arah Arundhati yang berdiri kaku agak membungkuk dengan mata menatap dengan tatapan marah ke arah Bapak. Ibu berjalan mendekati Arundhati dari sebelah kiri merengkuh bahu Arundhati dan menjangkau lengan kanan Arundhati. Tapi sebelum itu terjadi, Arundhati tiba-tiba berbalik ke kiri dan mundur menjauh sambil secara bergantian tangannya menunjuk Bapak dan Ibu. Arundhati sepertinya benar-benar tidak mengenali lagi kedua orang tuannya itu. Betul-betul seperti orang lain yang ketakutan melihat kedua lelaki dan perempuan setengah baya itu. Arundhati bingung. Arundhati cuma bisa bilang, “ibu!” sambil menunjuk pada Ibu. Pun demikian ketika dia menunjuk ke Bapak, dia bilang “ibu!”
“Yun, Ayun, ini aku, ibumu!” perempuan setengah baya itu mendekati Arundhati sambil kedua tangannya menunjuk ke dadanya. Arundhati sejenak tertegun ke arah si perempuan setengah baya di depannya. Arundhati menggerak-gerakkan kepalanya seperti mengamati perempuan setengah baya itu. Di kapala Arundhati saat ini cuma ada satu kosa kata, Ibu. tapi tidak ada sedikitpun ingatan tersisa yang dapat mewakili kata Ibu. Arundhati mendekati perempuan setengah baya itu dan berkata sambil tangannya menunjuk ke perempuan setengah baya itu, “ibu?”
“Iya, cah ayu….! Aku Ibumu. Ibumu! Kenapa kamu cah ayu?”
Arundhati terdiam sebentar. Dia menoleh bergantian ke arah Ibu dan Bapak, dan berhenti dengan memandang ibu. Arundhati mengangkat tangan kanannya dan menunjutk ke arah ibu sambil dengan nada tanya dia bilang. “Ibu?” dengan lirih. Ibu sangat senang, Arundhati memanggilnya. Ibu menjawab sambil berkaca-kaca matanya, “Iya, cah ayu. Aku mbokmu! ibumu! Ibu” Arundhati terdiam sebentar kemudian dia menoleh ke Bapak sambil kembali menoleh ke arah Ibu, tangan kanan Arundhati menunjuk Bapak dan bertanya, “ibu?”
Mata Ibu semakin basah oleh air mata, “Dudu… cah ayu… itu bapak. Bapakmu!”
Ibu berusaha memperkenalkan bahwa lelaki setengah baya itu adalah bapak. Bapaknya Arundhati.
“Ba...pak?”
“Iya bapak…. bapakmu cah ayu!” ibu menjelaskan sambil menunjuk ke arah Arundhati saat bilang cah ayu. Arundhati mulai bingung lagi. Kemudian sambil kedua tangannya menangkup ke dadanya dia bertanya, “cah ayu?”
Ibu tak lagi dapat menahan tangisnya. Dia mendekat dan memeluk Arundhati. Kali ini Arundhati tidak bergeming. Tidak bergeser sedikitpun. Dia merasa tenang di dalam pelukan perempuan itu. Arundhati mulai mencerna satu-satunya kosa katanya yang tersisa. Ibu.
“Owalah Ayun…. kenapa kamu begini….? Kenapa kamu seperti melupakan ibu sama bapak, cah ayu?”
Hati Ibu betul-betul sedih menyadari bahwa anaknya tidak mengenalnya. Dan bisa jadi lebih parah, tak mengenali apa dan siapapun termasuk dirinya sendiri.
Tubuh Arundhati tetap diam. ibu memeluknya sambil menangis. Arundhati mengulang-ulang kata “ibu” dan “bapak” sambil menunduk. Kepala Arundhati sejenak tegak saat perempuan setengah baya yang mengaku ibu menyebut “cah ayu” yang diikuti sama persis oleh Arundhati, “Cah ayu”
Bapak, cuma bisa berdiri diam. Dia perhatikan isterinya yang sedang memeluk Arundhati, anaknya. Dia seperti ingin memeluk kedua perempuan di hadapannya itu. Namun, dia samasekali tak berani lakukan itu. Bapak takut merusak suasana yang menurut penilaiannya sudah mulai membaik. Bapak, dengan memendam rasa iri, tetap diam. Bahkan ketika isterinya menuntun Arundhati kembali ke ranjang tempat nya tidur, duduk di pinggirannya. Bapak tetap diam dan hanya bisa menonton Arundhati masih mengulang-ulang kata-kata, “Ibu… Bapak… Cah Ayu…. Ibu…. Bapak…. Cah Ayu!” dan terus begitu.
Ibu mengelus-elus bahu Arundhati yang tertutup rambut panjangnya. Sesekali dia menyibak rambut panjang Arundhati yang menutupi dahi dan mata Arundhati. Arundhati sudah tidak lagi mengulang-ulang kata-kata itu. Arundhati terlihat lebih tenang. Tidak ada ketakutan seperti tadi, “Ibu….” tanpa mengubah arah tatapan, Arundhati memanggil pelan ibu. Ibu menyahut, “ada apa ndhuk…..? cah ayu!” Arundhati terdiam lagi. Ibu itu terdiam juga.
“ibu!” Arundhati memanggil ibu lagi.
“Iya Ayun, cah ayu!” Ibu kembali menyahut. Arundhati menoleh dengan mata berbinar-binar ke arah ibu. Arundhati merangkul perempuan itu sambil bilang, “ibu!” Arundhati menangis sejadi-jadinya sambil terus bilang, “ibu!”, dan ibu pun menangis.
Setelah agak lama menangis, Arundhati melepaskan pelukannya. Sambil tersedu-sedu, seperti ingin memastikan, dia menyebut “cah ayu” dengan memegang dadanya sendiri, dan menyebut “ibu” sambil memegang dada Ibu. Ibu cuma bisa mengangguk dan mengulangi apa yang dilakukan Arundhati. Sambil memegang dadanya mBokYah bilang, “ibu!” dan bilang “cah ayu!” saat memegang dadanya sendiri.
Arundhati sangat senang, setidaknya ibu tidak ikut bersama memorinya yang tiba-tiba hilang. Tapi dia masih belum dapat mengenali bapaknya. Atau mungkin dia bahkan tak tahu bahwa seharusnya dia punya seorang bapak.
Meskipun masih belum tahu apa yang terjadi pada putri semata wayangnya, Ibu tetap senang karena setidaknya saat ini Arundhati sudah bangun dan sudah tenang.
Begitupun Arundhati, dia dapat mengenali ibu, dan Arundhati benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Semua infromasi yang tersimpan pada memorinya benar-benar hilang sehingga dia pun kesulitan berkata-kata. Cuma satu kata “ibu” itu saja yang masih tertinggal di kepalanya. Itupun dia tidak tahu apa itu ibu. Hanya ketika seorang perempuan setengah baya dengan lembut memeluknya dan membalai rambutnya sehingga ada ketenangan mengaliri seluruh perasaannya, Arundhati harus menyimpulkan bahwa itulah ibu.
0 komentar:
Posting Komentar