Jumat, Juni 09, 2023

{3} BELAJAR


 Pagi yang cerah. Anak-anak kecil berlarian menuju sekolah mereka di dekat sawah di pinggir kampung. Mereka nampak sangat bergembira. Bercanda satu sama lain.  Ada yang tertawa, ada juga yang tiba-tiba menangis. Senang, sedih, dan aneka perasaan yang diperlihatkan oleh anak-anak itu semua Arundhati punya. Arundhati hanya tidak punya kemampuan untuk mengekspresikan. Arundhati hanya tidak punya kemampuan untuk menyampaikan, apalagi dalam kata-kata. Semua kosa kata yang telah pernah dikuasai oleh Arundhati telah hilang.  Arundhati tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, kecuali ibu. --Saat ini hanya ibu yang dapat dia percaya.  Bahkan bapak pun saat ini harus melalui rekognisi yang lama. Untuk kosa kata bapak ini, ada penerimaan dan penolakan yang cukup berimbang.--

Bukan hanya kata-kata, pengenalan terhadap object dan fenomena yang mengikutinya pun dia benar-benar nol. Arundhati bisa melihat, tapi dia tidak tahu benda apa yang dilihatnya. Dia tidak tahu apakah benda itu berbahaya atau tidak. Kadang, dia bisa ketakutan melihat bantal, tapi dia bisa berani memegang bara. Di tempat yang banyak benda berbahaya, Arundhati benar-benar harus ditemani.

Embun masih membasahi dedaunan. Lebah-lebah kecil berputaran mengelilingi kembang-kembang teki yang menyeruak diantara lebatnya rerumputan yang menghampar di halaman samping rumah.

Dengan rambut hitam panjangnya yang terurai lepas, Arundhati duduk meringkuk di atas risban di teras samping.  Kedua kaki dilipat untuk menyangga dagunya sementara kedua tangannya memegang pergelangan kaki. Oh, bukan... kedua tangannya mendekap kakinya. Tatapan matanya tampak kosong. Sangat kosong meskipun banyak hal yang sedang bergejolak memenuhi semesta di kepalanya.

Halaman samping yang hanya dibatasi dengan pagar bambu jepang yang dipangkas setinggi pinggang orang dewasa memungkinkan Arundhati melihat lalu-lalang orang yang melintasi jalan yang menghubungkan jalan desa ke kampung-kampung yang berada lebih di dalam. Arundhati jadi ingat mimpinya semalam. Dia ingat semuanya. Dia ingat interaksinya dengan lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik. Atau interaksinya dengan perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam yang diakhiri dengan dibangunkannya dia oleh ibu.

Arundhati  ingat bahwa dia dapat berinteraksi secara normal dengan mereka. Dia bisa mengerti yang mereka ucapkan, dan dia bisa meresponse mereka melalui pengucapan kata-kata. Normal, dan sangat normal.  Apalagi sama lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik. Dia masih inget pesona lelaki muda itu. Pesona yang membuatnya salah tingkah berkali-kali.

Cuma, meskipun dia ingat semua detil kejadian dalam mimpinya, Arundhati tidak mampu menceritakan kepada siapapun. Dia tidak dapat menterjemahkan cerita itu kepada siapapun. Jangankan bercerita kepada siapapun, bahkan dirinya juga gagal mengenali siapapun. Dia cuma dapat menerima perempuan setengah baya di rumah ini sebagai ibu. Dia tidak tahu apa itu ibu, tetapi selalu merasa tenang bisa berada dekat dengan ibu. Dan itu cukup baginya saat ini.

“Ayun....!” terdengar suara perempuan setengah baya dari arah dalam memanggil Arundhati.  Arundhati tahu itu suara ibu, tapi dia tidak tahu bagaimana harus merespons suara itu. Arundhati cuma mengangkat kepalanya. Raut mukanya nampak tegang. Ekspresi dari kebingungan dia tentang dia harus apa.

“Ayun..!” suara perempuan setengah baya itu sekarang terdengar sangat dekat di sampingnya. Seorang Ibu, sekarang telah duduk di samping Arundhati sambil merengkuh punggung Arundhati, “kamu di sini, cah ayu?”

Arundhati tidak hanya bisa menyandarkan kepalanya ke dada ibunya. Ibu tak henti-hentinya mengelus-elus lengan Arundhati dengan tangan kirinya yang masih merengkuh pundak anaknya.

Tiba-tiba Arundhati bergerak melepaskan tubuhanya dari rengkuhan ibunya. Arundhati melihat ke depan, dan kemudian menoleh dan menatap tajam ke arah Ibu. Ada raut kebingungan dan kesedihan bersembunyi dibalik nanar tatapan Arundhati. Ibu tersenyum.  Senyum yang membungkus kesedihan itu tertangkap mata Arundhati. Arundhati tahu, ibu sedih melihat kondisinya yang sedari kemarin masih belum bisa diajak berkomunikasi.

“Ayun..., kalau dipanggil ‘Ayun’, kamu harusnya menyahut ‘saya’, atau ‘dalem’. Atau kamu dekati orang yang manggil kamu itu..” ibu berusaha menerangkan kepada Arundhati sambil tangannya bergerak-gerak mencoba memberikan peragaan agar dimengerti oleh Arundhati.

Ada tetes hangat menyelinap di ekor mata Arundhati. Air mata itu memaksa untuk keluar. “Arundhati bukan orang tuli dan Arundhati bukan orang bisu ibu!” rintihan hati Arundhati. Rintihan yang terperangkap tak dapat dikeluarkan sehingga memaksa keluar air mata itu. “tapi terimakasih, bu. Ibu sudah berusaha mengajarkan lagi Arundhati untuk bicara!”

“Ayun....! Dalem....!  Saya....!” ibu menggerakkan tangannya ke telinga seperti sedang mendengarkan saat menyebut Ayun,  menunjuk ke Arundhati dan berbailk ke mulutnya saat bilang dalem dan saya.

“Dalem! Saya!” Arundhati menirukan.

Ayun....!” ibu mencoba memanggil Arundhati

“Dalem.....?!  Saya......?!” ragu-ragu Arundhati merespons panggilan itu. Ibu tersenyeum.  Melihat ibu tersenyum, Arundhati ikut tersenyum.

“Jangan dalem saya!” sambil mengibas-kibaskan membuat isyarat jangan Ibu berusaha mengkoreksi. Arundhati tidak tahu maksud gerakan tangan Ibu. Arundhati berusaha memahami semua yang diajarkan oleh Ibu. Tapi Arundhati selalu gagal. Dan kali ini, Arundhati benar-benar gagal. Arundhati tidak dapat mencerna apa yang barusan diberitahukan oleh ibu.

“Ayun...!” ibu mulai mencoba lagi. Diusap-usapnya kepala Arundhati. Direngkuhnya tubuh Arundhati dalam pelukannya. Ibu tidak menangis meskipun air mata menetes deras. “Ya sudahlah cah ayu, ibu tidak akan memaksa kamu. kita lakukan pelan-pelan. Bila memang harus mengajari kami seperti saat kamu belajar bicara dulu, biarlah. Mungkin memang itu yang harus terjadi”

Meskipun tak ada satu katapun yang dapat dia mengerti dari semua yang ibu katakan selain cah ayu, di dalam pelukan ibu, Arundhati merasa senang. Terasa begitu damai. 

0 komentar: