Pagi yang cerah. Anak-anak kecil berlarian menuju sekolah mereka di dekat sawah di pinggir kampung. Mereka nampak sangat bergembira. Bercanda satu sama lain. Ada yang tertawa, ada juga yang tiba-tiba menangis. Senang, sedih, dan aneka perasaan yang diperlihatkan oleh anak-anak itu semua Arundhati punya. Arundhati hanya tidak punya kemampuan untuk mengekspresikan. Arundhati hanya tidak punya kemampuan untuk menyampaikan, apalagi dalam kata-kata. Semua kosa kata yang telah pernah dikuasai oleh Arundhati telah hilang. Arundhati tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, kecuali ibu. --Saat ini hanya ibu yang dapat dia percaya. Bahkan bapak pun saat ini harus melalui rekognisi yang lama. Untuk kosa kata bapak ini, ada penerimaan dan penolakan yang cukup berimbang.--
Bukan hanya
kata-kata, pengenalan terhadap object dan fenomena yang mengikutinya pun dia
benar-benar nol. Arundhati bisa melihat, tapi dia tidak tahu benda apa yang
dilihatnya. Dia tidak tahu apakah benda itu berbahaya atau tidak. Kadang, dia
bisa ketakutan melihat bantal, tapi dia bisa berani memegang bara. Di tempat
yang banyak benda berbahaya, Arundhati benar-benar harus ditemani.
Embun masih
membasahi dedaunan. Lebah-lebah kecil berputaran
mengelilingi kembang-kembang teki yang menyeruak diantara lebatnya rerumputan
yang menghampar di halaman samping rumah.
Dengan rambut
hitam panjangnya yang terurai lepas, Arundhati duduk meringkuk di atas risban
di teras samping. Kedua kaki dilipat
untuk menyangga dagunya sementara kedua tangannya memegang pergelangan kaki.
Oh, bukan... kedua tangannya mendekap kakinya. Tatapan matanya tampak kosong.
Sangat kosong meskipun banyak hal yang sedang bergejolak memenuhi semesta di
kepalanya.
Halaman samping
yang hanya dibatasi dengan pagar bambu jepang yang dipangkas setinggi pinggang
orang dewasa memungkinkan Arundhati melihat lalu-lalang orang yang melintasi
jalan yang menghubungkan jalan desa ke kampung-kampung yang berada lebih di
dalam. Arundhati jadi ingat mimpinya semalam. Dia ingat semuanya. Dia ingat
interaksinya dengan lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik. Atau
interaksinya dengan perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam yang
diakhiri dengan dibangunkannya dia oleh ibu.
Arundhati ingat bahwa dia dapat berinteraksi secara
normal dengan mereka. Dia bisa mengerti yang mereka ucapkan, dan dia bisa
meresponse mereka melalui pengucapan kata-kata. Normal, dan sangat normal. Apalagi sama lelaki muda berbaju lurik dengan
udheng batik. Dia masih inget pesona lelaki muda itu. Pesona yang membuatnya
salah tingkah berkali-kali.
Cuma, meskipun
dia ingat semua detil kejadian dalam mimpinya, Arundhati tidak mampu
menceritakan kepada siapapun. Dia tidak dapat menterjemahkan cerita itu kepada
siapapun. Jangankan bercerita kepada siapapun, bahkan dirinya juga gagal mengenali siapapun. Dia cuma dapat menerima perempuan
setengah baya di rumah ini sebagai ibu. Dia tidak tahu apa itu ibu, tetapi
selalu merasa tenang bisa berada dekat dengan ibu. Dan itu cukup baginya saat ini.
“Ayun....!” terdengar suara perempuan setengah baya dari arah dalam
memanggil Arundhati. Arundhati tahu itu
suara ibu, tapi dia tidak tahu bagaimana harus merespons suara itu. Arundhati cuma
mengangkat kepalanya. Raut mukanya nampak tegang. Ekspresi dari kebingungan dia
tentang dia harus apa.
“Ayun..!” suara
perempuan setengah baya itu sekarang terdengar sangat dekat di sampingnya. Seorang Ibu, sekarang telah duduk di samping Arundhati sambil merengkuh punggung Arundhati, “kamu di sini, cah ayu?”
Arundhati tidak hanya
bisa menyandarkan kepalanya ke dada ibunya. Ibu tak henti-hentinya
mengelus-elus lengan Arundhati dengan tangan kirinya yang masih merengkuh
pundak anaknya.
Tiba-tiba Arundhati bergerak
melepaskan tubuhanya dari rengkuhan ibunya. Arundhati melihat ke depan, dan kemudian
menoleh dan menatap tajam ke
arah Ibu. Ada raut kebingungan dan kesedihan bersembunyi
dibalik nanar tatapan Arundhati. Ibu tersenyum.
Senyum yang membungkus kesedihan itu tertangkap mata Arundhati. Arundhati
tahu, ibu sedih melihat kondisinya yang sedari kemarin masih belum bisa diajak
berkomunikasi.
“Ayun..., kalau
dipanggil ‘Ayun’, kamu harusnya menyahut ‘saya’, atau ‘dalem’. Atau kamu dekati
orang yang manggil kamu itu..” ibu berusaha menerangkan kepada Arundhati
sambil tangannya bergerak-gerak mencoba memberikan peragaan agar dimengerti
oleh Arundhati.
Ada tetes hangat
menyelinap di ekor mata Arundhati. Air mata itu memaksa untuk keluar. “Arundhati
bukan orang tuli dan Arundhati bukan orang bisu ibu!” rintihan hati Arundhati.
Rintihan yang terperangkap tak dapat dikeluarkan sehingga memaksa keluar air
mata itu. “tapi terimakasih, bu. Ibu sudah berusaha mengajarkan lagi Arundhati untuk
bicara!”
“Ayun....!
Dalem....! Saya....!” ibu menggerakkan
tangannya ke telinga seperti sedang mendengarkan saat menyebut Ayun, menunjuk ke Arundhati dan berbailk ke mulutnya
saat bilang dalem dan saya.
“Dalem! Saya!” Arundhati
menirukan.
“Ayun....!” ibu mencoba memanggil Arundhati
“Dalem.....?! Saya......?!” ragu-ragu Arundhati merespons
panggilan itu. Ibu tersenyeum. Melihat ibu
tersenyum, Arundhati ikut tersenyum.
“Jangan dalem
saya!” sambil mengibas-kibaskan membuat isyarat jangan Ibu berusaha mengkoreksi. Arundhati tidak tahu maksud gerakan tangan Ibu. Arundhati berusaha memahami semua yang diajarkan oleh Ibu. Tapi Arundhati selalu gagal. Dan kali ini, Arundhati benar-benar gagal.
Arundhati tidak dapat mencerna apa yang barusan diberitahukan oleh ibu.
“Ayun...!” ibu mulai
mencoba lagi. Diusap-usapnya kepala Arundhati.
Direngkuhnya tubuh Arundhati dalam pelukannya. Ibu tidak menangis meskipun air
mata menetes deras. “Ya sudahlah cah ayu, ibu tidak
akan memaksa kamu. kita lakukan pelan-pelan. Bila memang harus mengajari kami
seperti saat kamu belajar bicara dulu, biarlah. Mungkin memang itu yang harus
terjadi”
Meskipun tak ada
satu katapun yang dapat dia mengerti dari semua yang ibu katakan selain cah
ayu, di dalam pelukan ibu, Arundhati merasa senang. Terasa begitu damai.
0 komentar:
Posting Komentar