Jumat, Juni 09, 2023

{2} MIMPI

Malam ini, meskipun belum sempurna bentuknya, sang rembulan cukup ramah menerangi suasana di kampung. Langit begitu bersahabat dengan rembulan dengan membiarkan sinarnya menghampiri bumi tanpa diganggu awan dan apa lagi mendung.  Pohon-pohon kelapa hanya nampak seperti siluet yang menyempurnakan bentuk gerumbul pepohonan dengan cakar-cakar seperti hendak menggaruk langit. Bunyi cengkerik yang terdengar samar-samar di kejauhan sesekali disela dengung nyamuk yang terdengar mendekati kuping. Ibu masih menemani Arundhati yang seharian hanya rebah di ranjangnya.  Arundhati masih takut sama laki-laki yang dipanggil Bapak oleh orang bernama Ibu. Ibu. Arundhati tidak mampu mengenali laki-laki itu. Dia cuma bisa percaya sama ibu. Dan “Ibu” adalah satu-satunya kosa kata yang tertinggal di kepalanya. Ibu dengan sepenuh kasih sayangnya telah mampu menghadirkan suasana seperti yang Arundhati harapkan dari sebuah kata itu.  Ibu yang direpresentasikan sebagai seorang perempuan setengah baya yang lembut dan dia tenang berada di dekatnya. Dan dia menikmati pemaknaan ibu pada diri perempuan Itu, dan Arundhati memutuskan untuk tetap memanggil perempuan itu sebagai ibu. Dan memang itu yang dia tahu.

Hari semakin larut malam dan kelihatannya Arundhati juga sudah mulai mengantuk.  Ibu sudah dari tadi tertidur di sampingnya.  Arundhati memejamkan mata dan berharap setelah bangun nanti dia akan mendapatkan kembali semua memory miliknya.  Setidaknya dia dapat dengan sepenuhnya menyadari kehadiran seorang ibu untuknya, siapapun dia. Termasuk perempuan setengah baya yang telah dia rasakan kasih sayangnya sepanjang hari ini.

Tak lama dia tertidur, Arundhati sungguh sangat kaget ketika tiba-tiba dia berada di trotoar sebuah jalan jembatan. Sebuah jembatan yang nampak seperti jembatan biasa dengan pagar bata sebatas pinggang dengan trotoar di kiri kanannya namun nampak sangat panjang. Ujung jembatan itu bahkan tak terlihat.

Sebuah kali yang sangat lebar berada di bawah jembatan itu. Kabut menyelimuti sebagian badan jalan jembatan itu.

Ah, kabut! Kali yang begitu lebar pun tertutup kabut sehingga hamparan airnya tidak nampak sama sekali sebagai kali. Lebih mirip sebuah danau.  Beberapa puluh meter dari jembatan, kabut terlihat pekat menutupi pandangan. Namun di kejauhan nampak samar-samar gedung-gedung dan lampu-lampu yang redup terhalang kabut. Jembatan ini teramat sangat panjang sekali. Namun, meskipun tertutup kabut, Arundhati masih mampu mengenali adanya kota di ujung jembatan.

Selain jembatan dengan kota di ujungnya, Arundhati juga menyadari bahwa bajunya bukan rok panjang dan dan kaos seperti yang dia kenakan sehari-hari. Atau jubah seperti yang ia kenakan saat ke luar rumah terutama saat ke sekolah. Saat ini Arundhati mengenakan sebuah baju jubah panjang yang sobek dan dijahit di sana-sini namun sangat kering dan hangat. Yang pasti jubah itu begitu harum baunya. Arundhati tidak sekedar mengenakan kerudung perempuan, namun sebuah turban mengikat kepalanya yang telah tertutup kerudung menyembunyikan rambut panjangnya. Meskipun dia menyadari bahwa ini adalah kali pertama dia mengenakan baju seperti itu, Arundhati merasa seperti telah terbiasa dengan pakaian seperti itu.

Sejenak, Arundhati tercenung. Semua serba aneh. Seluruh ingatannya seakan kembali. Dia ingat betul kejadian di angkutan pedesaan, di balaidesa dan terakhir dia terjatuh saat dia berjalan ke arah yang dia kira ke rumahnya. Keberadaannya di jembatan ini, dia rasakan justeru seperti sebuah kenyataan. Kesadarannya kembali seperti kembalinya saat bangun tidur.

Dengan hati-hati Arundhati melanjutkan langkahnya berjalan ke arah kota di sebalik kabut. Jauh mestinya, namun sekali lagi keanehan, Arundhati melakukannya dalam sekejap. Hal yang jadi pertanyaan Arundhati, jembatan yang begitu panjangnya kenapa nampak sepi. Bahkan sekelabatan dia menyusuri  trotoar sampai ke ujung jembatan, dia tidak pernah bertemu orang atau kendaraan yang melaluinya. Namun, kembali, Arundhati tidak menghiraukannya. Ada pertanyaan yang lebih penting, kenapa dia merasa harus menyeberangi jembatan tadi dan kenapa dia ada di sini saat ini. Dan dia harus mendapatkan jawaban itu.

Sesampai di ujung jembatan, Arundhati melihat ramainya kota itu. Meskipun hari sudah malam, gemerlap lampu jalanan membuat semuanya tidak menjadi tidak bermakna. Pada langkah terakhir, Arundhati dikagetkan dengan perubahan di belakangnya. Tidak ada jembatan, tidak ada sungai. Arundhati berdiri di depan sebuah pintu sebuah toko. Sebuah toko besar. Sangat besar. Banyak orang berlalu lalang di dalamnya tengah berbelanja. Kembali lagi Arundhati tidak ambil peduli, karena kepeduliannya hanya untuk dirinya. Arundhati hanya peduli dengan yang tengah terjadi dengan dirinya. Bukan apa yang dilihatnya. Semenjak di balaidesa tadi, dia sudah memutuskan bahwa apa yang dilihatnya itu tidak riil.

Toko yang sangat besar ini ada posisi yang tinggi dengan banyak anak tangga  untuk mencapainya. Arundhati ada di anak tangga terakhir.

“Nona Arundhati!”

Tiba-tiba dari arah bawah terdengar suara memanggil Atundhati, ada sedikit kekagetan di benak Arundhati, dia dapat mengerti suara di belakangnya. Suara itu diterimanya sebagai panggilan kepada dirinya.  Bukan Cah Ayu seperti yang baru dia mengerti siang tadi, tapi sebuah sebutan yang sangat akrab di telinganya tapi gagal dikenali siang tadi. Arundhati menoleh ke belakang. Seorang laki-laki muda gagah mengenakan celana komprang dan baju lurik plus udheng batik, berdiri tegap dan tersenyum. Sebagai perempuan muda Arundhati sangat terpesona melihat penampilan laki-laki muda tersebut. Arundhati tidak langsung menjawab, malah diam terpaku. Terpukau oleh ketampanan lelaki muda itu. Arundhati tidak peduli bagaimana lelaki muda itu tahu namanya adalah Arundhati.

“Saya?” Arundhati bertanya sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi kepada lelaki muda di depannya itu.

“Betul, kemarilah!” sambil tersenyum lelaki muda itu memanggil. Tanpa tunggu lama Arundhati mendekati lelaki muda itu. Pada jarak satu depa di depan lelaki itu, Arundhati berhenti dan menunduk tersipu dengan tangan ngapurancang. Wajah tirus kuning langsat, hidung kecil tidak pesek, mata kecil bulat dengan alis melengkung, saat itu kompak menampilkan ekspresi sumringah dan malu secara bersamaan. Lelaki muda itu tersenyum melihat tingkah Arundhati.

“Ada apa tuan?” tanya Arundhati yang semakin malu dan entah kenapa juga senang ketika melihat lelaki muda itu tersenyum. “Ikuti saya!” ajak lelaki itu.  Sekali lagi, Arundhati tidak berdaya untuk menolak. Dia mengikuti lelaki itu dari belakang.

“Tuan...., mohon maaf, kita mau kemana?” Arundhati memberanikan diri untuk bertanya. Yang ditanya berhenti berjalan dan berbalik ke arah Arundhati. Arundhati yang menunduk terus tidak tahu bahwa lelaki muda itu telah berhenti.  Arundhati menabraknya dan “e’ .. e’ ma’af... ma’af....!” Arundhati mundur lagi dan minta maaf. Lelaki muda itu tersenyum dan, “Apakah kamu tahu saat ini ada di mana?” bukannya menjawab, lelaki muda itu malah balik bertanya. Satu hal yang pasti Arundhati tak punya jawabannya.

“Tidak tahu, tuan!” jawab Arundhati. Dan, lelaki muda yang murah senyum itu pun kembali tersenyum dan mengajak Arundhati untuk melanjutkan perjalanan, “Baiklah, mari kita lanjutkan saja perjalanan ini. Kamu berjalan di samping saya saja!”

Meskipun agak dongkol karena tidak mendapatkan jawaban, Arundhati tetap mengikuti ajakan lelaki muda itu. Arundhati dan lelaki muda itu kembali melanjutkan perjalanan. Arundhati berjalan di samping kanan lelaki muda itu. Arundhati masih berjalan sambil menunduk. Di kepalanya berkecamuk banyak pertanyaan dan kegondokan.  Arundhati tidak memperhatikan keanehan-keanehan yang terjadi sepanjang jalan. Keanehan matahari yang bersinar dalam persepsi tengah malam dengan langit hitam. Keanehan ketika awan-awan di langit berkejaran dengan penuh ekspresi. Keanehan bayi yang mendorong kereta dorong yang diisi orang tua yang tengah tertidur lelap. Dan keanehan lain yang tidak sempat dilirik oleh Arundhati karena terlalu banyaknya pertanyaan yang bergulat di kepalanya.

“Tuan! Apakah saat ini aku tengah bermimpi?” kembali Arundhati berusaha untuk bertanya dengan kepala tetap menunduk. Lelaki muda berbaju lurik itu berhenti dan terdiam sebentar. Menunduk, seperti merenungkan sesuatu, berbalik ke arah posisi Arundhati berjalan. Saat mengangkat kepalanya dia kaget dan tersenyum. Tidak ada Arundhati. Dia masih berjalan dan saat ini sudah berada di depan.

“Nona Arundhati! Apakah nona hendak pergi sendiri?” Agak keras suara lelaki muda itu memanggil agar dapat didengar oleh Arundhati. Arundhati kaget ketika menyadari orang yang dia ikuti ternyata sudah tertinggal di belakang. Ketika dia hendak melangkah kembali, lelaki itu mencegahnya, memintanya agar tetap di tempat, “Sudahlah, gak usah kemari. Nona tetap di situ saja. Saya yang ke situ.”

Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu berjalan mendekati Arundhati. “Sepertinya kita berhenti di sini dulu. Silakan.....!” lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu menunjuk sebuah batu besar di kiri jalan. Dari bentuk permukaannya yang relatif rata dan cenderung mengkilat, batu itu sepertinya memang sering diduduki. Dan karena letaknya ada di taman pedestrian, ini mungkin batu ini adalah suatu kebetulan yang menjadi hadiah bagi yang bikin. Atau, kemungkinan lain, batu itu diangkut dari suatu tempat dan diletakkan di taman pedestrian ini sebagai pemanis taman sekaligus dapat dipergunakan untuk duduk-duduk buat pejalan kaki yang capek. Yang pasti batu ini tampak sangat istimewa. Arundhati duduk di ujung agak ke tengah. Kakinya diselonjorkan di atas permukaan miring batu.  Sementara itu, lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik duduk di sisi lain. Sama-sama menghadap jalan. Sama-sama menghadap ke laut.  Arundhati baru menyadari ada laut di dekatnya. Dia baru tahu bahwa saat ini di sedang berada di tepi laut.  Padahal sebelumnya dia telah menyeberangi jembatan berkabut tebal yang sangat mungkin seharusnya adalah di ketinggian. Arundhati tidak begitu peduli. Dia merasa bahwa dia hanya perlu untuk menikmati apa yang ada di depannya. Arundhati memejamkan mata sambil tersenyum. Semilir angin pantai membelai mukanya, menyusup kedalam rambutnya melalui juntaian kain turbannya. Arundhati tersenyum menikmati yang dia rasakan. Sepertinya Arundhati lupa bahwa pertanyaanya belum dijawab.

Arundhati membuka matanya ketika dia rasakan bahwa tempat duduknya tiba-tiba seperti menghentak-hentak. Sejenak Arundhati bingung. Saat ini dia tidak lagi di pantai tepi laut. Saat ini dia tengah berada di atas sebuah delman yang sedang berjalan di jalan yang berbatu-batu. Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu tengah asyik memegang tali kekang kuda yang menarik delman mereka.

“Tuan, di mana kita sekarang?” tanya Arundhati.

“Saat ini kita berada di tempat yang kamu tanyakan tadi!” jawab lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik sambil tersenyum. Arundhati cuma tersenyum kecut. Lelaki berbaju lurik dengan udheng batik itu tersenyum juga dan kembali dia sibuk mengendali kuda-kudanya.

Arundhati melihat-lihat ke kiri dan ke kanan. Tempat yang sangat asing buatnya. Saat ini mereka tengah menelusuri jalan di punggung bukit tandus. Matahari terik menyinari, namun tidak ada sedikitpun panas yang terasa.  “Tempat ini masih sama seperti tempat tadi” tiba-tiba lelaki berbaju lurik dengan udheng batik itu bicara. Arundhati memandangi lelaki muda berbaju lurik dengan udeng batik itu dan bertanya, “apakah saat ini aku tengah bermimpi?” Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu cuma menoleh sebentar sambil tersenyum dan kembali sibuk dengan tali kekang kudanya. Merasa tidak mendapatkan jawaban, Arundhati mengulangi pertanyaannya, “Tuan, apakah saat ini aku tengah bermimpi?” Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu masih diam.  Arundhati masih terus menatap kepada Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu. Sejurus kemudian, lelaki muda berbaju lurik dengna udheng batik itu bicara, “Mimpimu tak dapat kau bawa ke dalam hidupmu secara sempurna, hidupmu tak dapat kau bawa ke dalam mimpi Ayun secara sempurna. Apakah penting bila ini adalah mimpi Ayun atau bukan?” Arundhati diam. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan oleh lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu. Arundhati menarik kakinya, melipatnya untuk menyandarkan dagunya.  Arundhati meringkuk. Angin sejuk membuat matanya terpejam.

Arundhati membuka matanya ketika merasa angin kencang meniup mukanya. Arundhati tampak tidak terkejut meskipun dia saat ini tengah berada di atas sebuah kapal kayu di tengah laut. Dia tidak lagi melihat lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik.  Dia liat sekeliling, sepi tidak ada seseorang pun. Arundhati mulai takut. Di tengah laut dan sendirian. Arundhati ingat, dua kali dia memejamkan mata, dua kali pula dia berpindah tempat.  Arundhati mencoba untuk memejamkan mata. Ketika dia buka, dia masih berada di kapal itu. Masih sendirian. Dia pejamkan lagi. Dia buka, dan dia masih berada di kapal itu. Terus begitu dia coba. Masih belum berpindah tempat. Arundhati mulai ketakutan dan menangis. Ketika dia mencoba memejamkan matanya ke sekian kalinya, dia dengar suara perempuan memanggil namanya, “Arundhati...!” Arundhati justeru tidak berani membuka matanya. Dari awal dia ditemani seorang lelaki, saat ini dia mendengar suara perempuan. Jangan-jangan ini hantu laut macam nyi blorong karena dia ingat saat terakhir tadi, dia berada di kapal.  Arundhati makin ketakutan dan tubuhnya mulai gemetar.

“Arundhati...!” suara itu terdengar lagi.  Kali ini disertai dengan belaian halus di kepalanya. “Arundhati, jangan takut, bukalah matamu!”

Ragu-ragu, Arundhati membuka matanya. Ternyata saat ini dia sedang duduk bersimpuh di sebuat pendopo rumah. Di sampingnya nampak wajah seorang perempuan cantik berbaju beskap dan bercelana komprang, berkulit putih  berwajah tirus dengan mata agak-agak sipit dan rambut dikuncir ekor kuda. Perempuan cantik berbaju beskap dan celana komprang hitam itu berdiri dengan lututnya di samping Arundhati sambil mengelus-elus kepala Arundhati.  Arundhati bangun dan berdiri. Perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam itu pun berdiri.

“Arundhati, ayo” perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam itu meraih lengan Arundhati dan berjalan membimbing Arundhati ke arah sebuah meja besar di tengah ruangan. Sebuah meja besar yang penuh sajian makanan berat maupun buah-buahan. Perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam itu menarik salah satu kursi dan mempersilakan Arundhati duduk, “Silakan duduk!”

Arundhati duduk. Perempuan berbeskap dan bercalana komprang hitam itu agak membungkuk di pinggir meja untuk mengambil piring dan sendok yang tertumpuk di tengah meja. Piring dan sendok itu dia letakkan di depan Arundhati.  Perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam itu meninggalkan Arundhati, berpindah ke sisi lain meja. Dia tarik kursi di seberang Arundhati untuk kemudian duduk. Dia taruh kedua tangannya melipat di atas meja sambil tersenyum dan menatap ke Arundhati, “Makanlah Arundhati! Tidak usah malu-malu!”

Arundhati merasa dia tidak boleh makan makanan berat  yang tersaji di atas meja.  Arundhati cuma duduk tak bergeming sambil melihat makanan yang terserak di atas meja itu. Sangat menggiurkan, tapi Arundhati tidak berani mengambil.  Namun, ketika melihat ke tumpukan buah-buahan, matanya tertumbuk kepada tumpukan kedondong matang pohon. Buah sebesar bola kasti berwarna kuning coklat itu sangat harum baunya. Ini tentunya sangat sulit untuk diabaikan. Arundhati bangkit berdiri untuk mengambil kedondong itu. Arundhati mengupas dan memakan kedondong itu. Perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam itu tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Melihat perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam itu tersenyum, Arundhati merasa malu.

“Arundhati!” perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam memanggilnya, “kau tahu apa yang barusan kau makan?”

Arundhati sejenak berhenti memakan kedondongnya untuk tersenyum dan bilang, “kedondong!”

Perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam itu tersenyum, “buah itu begitu wangi dengan kulit mulus namun tidak dengan bijinya.

Arundhati mulai tidak peduli dengan apa yang dia alami dan omongan apa yang dia dengar,  Dia tidak peduli dengan ulasan perempuan berbeskap dan celana komprang hitam itu. Buah yang begitu harum dan manis itu membuatnya tidak peduli. Bahkan bila ada serat dari bijinya yang terselip di antara giginya, tanpa peduli dia korek dengan tangannya. Dia tidak peduli, sebagaimana tidak pedulinya bahwa sekarang dia tak mengenakan turban di kepala, Tidak peduli bahwa saat ini tinggal kerudung yang menggantung di lehernya dengan membiarkan rambutnya lepas terurai.  Semuanya sulit dia mengerti. Dan dia belajar untuk tak perlu mengerti. Dia sudah frustrasi. Arundhati terus memakan kedondong itu sampai samar-samar tedengar suara, “Ayun.... Cah Ayu... Bangun! Sudah siang!” semua yang tampak di depan Arundhati tiba-tiba hilang dan hanya ada gelap, “Ayun.... Cah Ayu...., ayo bangun! Sudah siang!” Suara itu semakin jelas. Arundhati membuka matanya, dan nampak ibu tersenyum sambil tangan kanannya memegang lengan kiri Arundhati.

Arundhati bangun. Dia clingukan melihat ke kiri dan ke kanan. Kemudian menatap tajam pada Ibu. Arundhati tersenyum, karena dia masih mengingat perempuan di hadapannya sebagai ibu.  Namun, Arundhati kembali kehilangan semua memorynya. Hanya memory mulai dari hari pertama dia terbangun saja yang dia ingat.

0 komentar: