Hari semakin larut
malam dan kelihatannya Arundhati juga sudah mulai mengantuk. Ibu sudah dari tadi tertidur di sampingnya. Arundhati memejamkan mata dan berharap
setelah bangun nanti dia akan mendapatkan kembali semua memory miliknya. Setidaknya dia dapat dengan sepenuhnya
menyadari kehadiran seorang ibu untuknya, siapapun dia. Termasuk perempuan
setengah baya yang telah dia rasakan kasih sayangnya sepanjang hari ini.
Tak lama dia
tertidur, Arundhati sungguh sangat
kaget ketika tiba-tiba dia berada di trotoar sebuah jalan jembatan. Sebuah jembatan yang nampak seperti
jembatan biasa dengan pagar bata sebatas pinggang dengan trotoar di kiri kanannya namun nampak sangat panjang. Ujung jembatan itu
bahkan tak terlihat.
Sebuah kali yang
sangat lebar berada di bawah jembatan itu. Kabut menyelimuti sebagian badan
jalan jembatan itu.
Ah, kabut! Kali yang begitu
lebar pun tertutup kabut sehingga hamparan airnya tidak nampak sama sekali
sebagai kali. Lebih mirip sebuah danau. Beberapa puluh meter dari jembatan, kabut
terlihat pekat menutupi pandangan. Namun di kejauhan nampak samar-samar
gedung-gedung dan lampu-lampu yang redup terhalang kabut. Jembatan ini teramat
sangat panjang sekali. Namun, meskipun tertutup kabut, Arundhati masih mampu
mengenali adanya kota di ujung jembatan.
Selain jembatan dengan
kota di ujungnya, Arundhati juga menyadari bahwa bajunya bukan rok panjang dan
dan kaos seperti yang dia kenakan sehari-hari. Atau jubah seperti yang ia
kenakan saat ke luar rumah terutama saat ke sekolah. Saat ini Arundhati mengenakan
sebuah baju jubah panjang yang sobek dan dijahit di sana-sini namun sangat kering
dan hangat. Yang pasti jubah itu begitu harum baunya. Arundhati tidak sekedar mengenakan kerudung perempuan, namun sebuah turban mengikat kepalanya
yang telah tertutup kerudung menyembunyikan rambut panjangnya. Meskipun dia
menyadari bahwa ini adalah kali pertama dia mengenakan baju seperti itu, Arundhati
merasa seperti telah terbiasa dengan pakaian seperti itu.
Sejenak, Arundhati
tercenung. Semua serba aneh. Seluruh ingatannya seakan kembali. Dia ingat betul
kejadian di angkutan pedesaan, di balaidesa dan terakhir dia terjatuh saat dia
berjalan ke arah yang dia kira ke rumahnya. Keberadaannya di jembatan ini, dia
rasakan justeru seperti sebuah kenyataan. Kesadarannya kembali seperti
kembalinya saat bangun tidur.
Dengan hati-hati Arundhati
melanjutkan langkahnya berjalan ke arah kota di sebalik kabut. Jauh mestinya,
namun sekali lagi keanehan, Arundhati melakukannya dalam sekejap. Hal yang jadi
pertanyaan Arundhati, jembatan yang begitu panjangnya kenapa nampak sepi.
Bahkan sekelabatan dia menyusuri trotoar
sampai ke ujung jembatan, dia tidak pernah bertemu orang atau kendaraan yang
melaluinya. Namun, kembali, Arundhati tidak menghiraukannya. Ada pertanyaan
yang lebih penting, kenapa dia merasa harus menyeberangi jembatan tadi dan
kenapa dia ada di sini saat ini. Dan dia harus mendapatkan jawaban itu.
Sesampai di ujung
jembatan, Arundhati melihat ramainya kota itu. Meskipun hari sudah malam,
gemerlap lampu jalanan membuat semuanya tidak menjadi tidak bermakna. Pada
langkah terakhir, Arundhati dikagetkan dengan perubahan di belakangnya. Tidak
ada jembatan, tidak ada sungai. Arundhati berdiri di depan sebuah pintu sebuah
toko. Sebuah toko besar. Sangat besar. Banyak orang berlalu lalang di dalamnya
tengah berbelanja. Kembali lagi
Arundhati tidak ambil peduli, karena kepeduliannya hanya untuk dirinya.
Arundhati hanya peduli dengan yang tengah terjadi dengan dirinya. Bukan apa yang
dilihatnya. Semenjak di balaidesa tadi, dia sudah memutuskan bahwa apa yang
dilihatnya itu tidak riil.
Toko yang sangat besar
ini ada posisi yang tinggi dengan banyak anak tangga untuk mencapainya. Arundhati ada di anak
tangga terakhir.
“Nona Arundhati!”
Tiba-tiba dari arah
bawah terdengar suara memanggil Atundhati, ada sedikit kekagetan di benak Arundhati, dia dapat
mengerti suara di belakangnya. Suara itu diterimanya sebagai panggilan kepada
dirinya. Bukan Cah Ayu seperti yang baru
dia mengerti siang tadi, tapi sebuah sebutan yang sangat akrab di telinganya
tapi gagal dikenali siang tadi. Arundhati menoleh ke belakang. Seorang
laki-laki muda gagah mengenakan celana komprang dan baju lurik plus udheng
batik, berdiri tegap dan tersenyum. Sebagai perempuan muda Arundhati sangat
terpesona melihat penampilan laki-laki muda tersebut. Arundhati tidak langsung
menjawab, malah diam terpaku. Terpukau oleh ketampanan lelaki muda itu. Arundhati
tidak peduli bagaimana lelaki muda itu tahu namanya adalah Arundhati.
“Saya?” Arundhati
bertanya sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi kepada lelaki muda
di depannya itu.
“Betul,
kemarilah!” sambil tersenyum lelaki muda itu memanggil. Tanpa tunggu lama Arundhati
mendekati lelaki muda itu. Pada jarak satu depa di depan lelaki itu, Arundhati berhenti
dan menunduk tersipu dengan tangan ngapurancang. Wajah tirus kuning langsat, hidung kecil tidak pesek, mata kecil bulat
dengan alis melengkung, saat itu kompak menampilkan ekspresi sumringah dan malu
secara bersamaan. Lelaki muda itu tersenyum melihat tingkah Arundhati.
“Ada apa tuan?”
tanya Arundhati yang semakin malu dan entah kenapa juga senang ketika melihat
lelaki muda itu tersenyum. “Ikuti saya!” ajak lelaki itu. Sekali lagi, Arundhati tidak berdaya untuk
menolak. Dia mengikuti lelaki itu dari belakang.
“Tuan...., mohon
maaf, kita mau kemana?” Arundhati memberanikan diri untuk bertanya. Yang
ditanya berhenti berjalan dan berbalik ke arah Arundhati. Arundhati yang
menunduk terus tidak tahu bahwa lelaki muda itu telah berhenti. Arundhati menabraknya dan “e’ .. e’ ma’af...
ma’af....!” Arundhati mundur lagi dan minta maaf. Lelaki muda itu tersenyum
dan, “Apakah kamu tahu saat ini ada di mana?” bukannya menjawab, lelaki muda
itu malah balik bertanya. Satu hal yang pasti Arundhati tak punya jawabannya.
“Tidak tahu,
tuan!” jawab Arundhati. Dan, lelaki muda yang murah senyum itu pun kembali
tersenyum dan mengajak Arundhati untuk melanjutkan perjalanan, “Baiklah, mari
kita lanjutkan saja perjalanan ini. Kamu berjalan di samping saya saja!”
Meskipun agak
dongkol karena tidak mendapatkan jawaban, Arundhati tetap mengikuti ajakan
lelaki muda itu. Arundhati dan lelaki muda itu kembali melanjutkan perjalanan. Arundhati
berjalan di samping kanan lelaki muda itu. Arundhati masih berjalan sambil
menunduk. Di kepalanya berkecamuk banyak pertanyaan dan kegondokan. Arundhati tidak memperhatikan keanehan-keanehan
yang terjadi sepanjang jalan. Keanehan matahari yang bersinar dalam persepsi
tengah malam dengan langit hitam. Keanehan ketika awan-awan di langit
berkejaran dengan penuh ekspresi. Keanehan bayi yang mendorong kereta dorong
yang diisi orang tua yang tengah tertidur lelap. Dan keanehan lain yang tidak
sempat dilirik oleh Arundhati karena terlalu banyaknya pertanyaan yang bergulat
di kepalanya.
“Tuan! Apakah
saat ini aku tengah bermimpi?” kembali Arundhati berusaha untuk bertanya dengan
kepala tetap menunduk. Lelaki muda berbaju lurik itu berhenti dan terdiam sebentar. Menunduk, seperti merenungkan sesuatu, berbalik ke arah
posisi Arundhati berjalan. Saat mengangkat kepalanya dia kaget dan tersenyum.
Tidak ada Arundhati. Dia masih berjalan dan saat ini sudah berada di depan.
“Nona Arundhati!
Apakah nona hendak pergi sendiri?” Agak keras suara lelaki muda itu memanggil
agar dapat didengar oleh Arundhati. Arundhati kaget ketika menyadari orang yang
dia ikuti ternyata sudah tertinggal di belakang. Ketika dia hendak melangkah
kembali, lelaki itu mencegahnya, memintanya agar tetap di tempat, “Sudahlah,
gak usah kemari. Nona tetap di situ saja. Saya yang ke
situ.”
Lelaki muda
berbaju lurik dengan udheng batik itu berjalan mendekati Arundhati. “Sepertinya
kita berhenti di sini dulu. Silakan.....!” lelaki muda berbaju lurik dengan
udheng batik itu menunjuk sebuah batu besar di kiri jalan. Dari bentuk
permukaannya yang relatif rata dan cenderung mengkilat, batu itu sepertinya
memang sering diduduki. Dan karena letaknya ada di taman pedestrian, ini mungkin
batu ini adalah suatu kebetulan yang menjadi hadiah bagi yang bikin. Atau,
kemungkinan lain, batu itu diangkut dari suatu tempat dan diletakkan di taman pedestrian
ini sebagai pemanis taman sekaligus dapat dipergunakan untuk duduk-duduk buat
pejalan kaki yang capek. Yang pasti batu ini tampak sangat istimewa. Arundhati duduk
di ujung agak ke tengah. Kakinya diselonjorkan di atas permukaan miring
batu. Sementara itu, lelaki muda berbaju
lurik dengan udheng batik duduk di sisi lain. Sama-sama menghadap jalan. Sama-sama
menghadap ke laut. Arundhati baru
menyadari ada laut di dekatnya. Dia baru tahu bahwa saat ini di sedang berada
di tepi laut. Padahal sebelumnya dia
telah menyeberangi jembatan berkabut tebal yang sangat mungkin seharusnya
adalah di ketinggian. Arundhati tidak begitu peduli. Dia merasa bahwa dia hanya
perlu untuk menikmati apa yang ada di depannya. Arundhati memejamkan mata
sambil tersenyum. Semilir angin pantai membelai mukanya, menyusup kedalam
rambutnya melalui juntaian kain turbannya. Arundhati tersenyum menikmati yang
dia rasakan. Sepertinya Arundhati lupa bahwa pertanyaanya belum dijawab.
Arundhati membuka
matanya ketika dia rasakan bahwa tempat duduknya tiba-tiba seperti
menghentak-hentak. Sejenak Arundhati bingung. Saat ini dia tidak lagi di pantai
tepi laut. Saat ini dia tengah berada di atas sebuah delman yang sedang
berjalan di jalan yang berbatu-batu. Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng
batik itu tengah asyik memegang tali kekang kuda yang menarik delman mereka.
“Saat ini kita
berada di tempat yang kamu tanyakan tadi!” jawab lelaki muda berbaju lurik
dengan udheng batik sambil tersenyum. Arundhati cuma tersenyum kecut. Lelaki
berbaju lurik dengan udheng batik itu tersenyum juga dan kembali dia sibuk
mengendali kuda-kudanya.
Arundhati melihat-lihat
ke kiri dan ke kanan. Tempat yang sangat asing buatnya. Saat ini mereka tengah
menelusuri jalan di punggung bukit tandus. Matahari terik menyinari, namun
tidak ada sedikitpun panas yang terasa.
“Tempat ini masih sama seperti tempat tadi” tiba-tiba lelaki berbaju
lurik dengan udheng batik itu bicara. Arundhati memandangi lelaki muda berbaju
lurik dengan udeng batik itu dan bertanya, “apakah saat ini aku tengah
bermimpi?” Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu cuma menoleh
sebentar sambil tersenyum dan kembali sibuk dengan tali kekang kudanya. Merasa
tidak mendapatkan jawaban, Arundhati mengulangi pertanyaannya, “Tuan, apakah
saat ini aku tengah bermimpi?” Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik
itu masih diam. Arundhati masih terus
menatap kepada Lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu. Sejurus
kemudian, lelaki muda berbaju lurik dengna udheng batik itu bicara, “Mimpimu
tak dapat kau bawa ke dalam hidupmu secara sempurna, hidupmu tak dapat kau bawa
ke dalam mimpi Ayun secara sempurna. Apakah penting bila ini adalah mimpi Ayun atau
bukan?” Arundhati diam. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan oleh
lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu. Arundhati menarik kakinya,
melipatnya untuk menyandarkan dagunya. Arundhati
meringkuk. Angin sejuk membuat matanya terpejam.
Arundhati membuka
matanya ketika merasa angin kencang meniup mukanya. Arundhati tampak tidak
terkejut meskipun dia saat ini tengah berada di atas sebuah kapal kayu di
tengah laut. Dia tidak lagi melihat lelaki muda berbaju lurik dengan udheng
batik. Dia liat sekeliling, sepi tidak
ada seseorang pun. Arundhati mulai takut. Di tengah laut dan sendirian. Arundhati
ingat, dua kali dia memejamkan mata, dua kali pula dia berpindah tempat. Arundhati mencoba untuk memejamkan mata.
Ketika dia buka, dia masih berada di kapal itu. Masih sendirian. Dia pejamkan lagi.
Dia buka, dan dia masih berada di kapal itu. Terus begitu dia coba. Masih belum
berpindah tempat. Arundhati mulai ketakutan dan menangis. Ketika dia mencoba
memejamkan matanya ke sekian kalinya, dia dengar suara perempuan memanggil
namanya, “Arundhati...!” Arundhati justeru tidak berani membuka matanya. Dari
awal dia ditemani seorang lelaki, saat ini dia mendengar suara perempuan.
Jangan-jangan ini hantu laut macam nyi blorong karena dia ingat saat terakhir tadi, dia berada di
kapal. Arundhati
makin ketakutan dan tubuhnya mulai gemetar.
“Arundhati...!”
suara itu terdengar lagi. Kali ini
disertai dengan belaian halus di kepalanya. “Arundhati, jangan takut, bukalah
matamu!”
Ragu-ragu, Arundhati
membuka matanya. Ternyata saat ini dia sedang duduk bersimpuh di sebuat pendopo
rumah. Di sampingnya nampak wajah seorang perempuan cantik berbaju beskap dan
bercelana komprang, berkulit putih
berwajah tirus dengan mata agak-agak sipit dan
rambut dikuncir ekor kuda. Perempuan cantik berbaju beskap dan
celana komprang hitam itu berdiri dengan lututnya di samping Arundhati sambil mengelus-elus kepala Arundhati. Arundhati bangun dan berdiri. Perempuan
cantik berbeskap dan celana komprang hitam itu pun berdiri.
“Arundhati, ayo”
perempuan cantik berbeskap dan celana komprang hitam itu meraih lengan Arundhati
dan berjalan membimbing Arundhati ke arah sebuah meja besar di tengah ruangan.
Sebuah meja besar yang penuh sajian makanan berat maupun buah-buahan. Perempuan
cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam itu menarik salah satu kursi dan
mempersilakan Arundhati duduk, “Silakan duduk!”
Arundhati duduk.
Perempuan berbeskap dan bercalana komprang hitam itu agak membungkuk di pinggir
meja untuk mengambil piring dan sendok yang tertumpuk di tengah meja. Piring
dan sendok itu dia letakkan di depan Arundhati.
Perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam itu meninggalkan
Arundhati, berpindah ke sisi lain meja. Dia tarik kursi di seberang Arundhati untuk
kemudian duduk. Dia taruh kedua tangannya melipat di atas meja sambil tersenyum
dan menatap ke Arundhati, “Makanlah Arundhati! Tidak usah malu-malu!”
Arundhati merasa
dia tidak boleh makan makanan berat yang
tersaji di atas meja. Arundhati cuma
duduk tak bergeming sambil melihat makanan yang terserak di atas meja itu.
Sangat menggiurkan, tapi Arundhati tidak berani mengambil. Namun, ketika melihat ke tumpukan
buah-buahan, matanya tertumbuk kepada tumpukan kedondong matang pohon. Buah
sebesar bola kasti berwarna kuning coklat itu sangat harum baunya. Ini tentunya
sangat sulit untuk diabaikan. Arundhati bangkit berdiri untuk mengambil
kedondong itu. Arundhati mengupas dan memakan kedondong itu. Perempuan cantik
berbeskap dan celana komprang hitam itu tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Melihat perempuan cantik berbeskap dan
bercelana komprang hitam itu tersenyum, Arundhati merasa malu.
“Arundhati!”
perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam memanggilnya, “kau tahu
apa yang barusan kau makan?”
Arundhati sejenak
berhenti memakan kedondongnya untuk tersenyum dan bilang, “kedondong!”
Perempuan cantik
berbeskap dan celana komprang hitam itu tersenyum, “buah itu begitu wangi dengan kulit mulus namun
tidak dengan bijinya.”
Arundhati mulai
tidak peduli dengan apa yang dia alami dan omongan apa yang dia dengar, Dia tidak peduli dengan ulasan perempuan berbeskap dan celana komprang
hitam itu. Buah yang begitu harum dan manis itu membuatnya tidak peduli. Bahkan
bila ada serat dari bijinya yang terselip di antara giginya, tanpa peduli dia
korek dengan tangannya. Dia tidak peduli, sebagaimana tidak pedulinya bahwa sekarang dia tak mengenakan turban di
kepala, Tidak peduli bahwa saat ini tinggal kerudung yang menggantung di
lehernya dengan membiarkan rambutnya lepas terurai. Semuanya sulit dia mengerti. Dan dia
belajar untuk tak perlu mengerti. Dia sudah frustrasi. Arundhati terus memakan
kedondong itu sampai samar-samar tedengar suara, “Ayun.... Cah Ayu... Bangun!
Sudah siang!” semua yang tampak di depan Arundhati tiba-tiba hilang dan hanya
ada gelap, “Ayun.... Cah Ayu...., ayo bangun! Sudah siang!” Suara itu semakin
jelas. Arundhati membuka matanya, dan nampak ibu tersenyum sambil tangan
kanannya memegang lengan kiri Arundhati.
Arundhati bangun.
Dia clingukan melihat ke kiri dan ke kanan. Kemudian menatap tajam pada Ibu. Arundhati tersenyum, karena dia masih mengingat perempuan di hadapannya
sebagai ibu. Namun,
Arundhati kembali kehilangan semua memorynya. Hanya memory mulai dari hari
pertama dia terbangun saja yang dia ingat.
0 komentar:
Posting Komentar