Matahari mulai meninggalkan kedudukan tertingginya hari ini. Anak-anak kecil berlarian dari sekolahnya. Ada yang langsung lari menjauh dari sekolahan. Ada yang sengaja duduk-duduk bergerombol di bawah pohon, bercanda bersama kawannya. Jam 2 siang, pas bubaran anak SD.
Arundhati tiduran
di dalam kamarnya. Dia masih terus memikirkan kejadian demi kejadian yang telah
dia alami. Namun semua ingatannya buntu
hanya sampai dengan kejadian bangun tidur kemarin siang. Dia sama sekali tidak
mampu mengingat semua kejadian sebelum itu.
Ruang keluarga
rumah ini ada persis di sebelah kamar Arundhati. Arundhati mendengar suara ibu dan
suara seorang lelaki setengah baya. Arundhati
masih belum mampu mengenali bapaknya apalagi suaranya. Arundhati tidak tahu apa yang sedang mereka
bicarakan dan saat ini Arundhati sedang tidak ingin tahu apa-apa tentang yang
orang bicarakan. Lagian toh bukan sedang bicara dengannya. Dia cuma ingin
mendengarkan saja.
“Ibu, ini sudah
sangat serius. Sudah sehari semalam lho, ibu! Aku takutnya, Arundhati kesambet
apa begitu. Kita harus dapat membantu Arundhati” terdengar suara lelaki
setengah baya berbicara dengan ibu. Bapak sedang berdiskusi
dengan Ibu terkait nasib anaknya.
“Bener, Bapak!
Tapi kita harus bagaimana? Kuncen Depok, sudah meninggal. Kayim sepuh yang
biasa nolongin orang juga baru meninggal minggu kemaren” terdengar suara Ibu menjawab.
Suasana menjadi hening.
Sepertinya Bapak itu pun tengah memikirkan sesuatu.
Mereka terjebak dalam ketidaktahuan.
Arundhati tidak
tahu kenapa tiba-tiba diam. Dia tidak mampu membayangkan apa yang tengah
terjadi sama ibu dan laki-laki setengan baya yang dipanggil bapak itu. Sepi.
Hening. Arundhati tidak tahu, apakah kedua orang setengah baya itu masih ada di
tempatnya atau sudah berpindah ke tempat lain. Sepi. Sangat sepi. Meskipun
kadang terdengar bluluk jatuh di luar rumah, atau kucing yang berantem berebut
makanan, atau suara anak ayam yang sedang diasuh induknya; semua itu tidak
mampu memecah kesepian yang dirasakan oleh Arundhati sampai kemudian terdengar
suara orang tua uluk salam dari arah depan rumah, “Assalamu’alaikum!
Kulanuwun!”
“Mangga!”
terdengar suara Ibu dari sebelah kamar Arundhati, “Bapak,
coba lihat itu siapa yang datang, aku mau mau make kerudung dulu”
“Coba aku liat
dulu. Kaki Manten mungkin ini, barusan aku WA dia! Ya sudah, ganti baju saja
sekalian. Bau! dari kemarin belum ganti” suara Bapak berseloroh menyuruh isterinya ganti baju. Ibu segera bergegas ke kamar.
Samar terdengar
langkah selop kayu menapaki lantai ruangan. Setelah sepertinya agak jauh di
ruang depan, terdengar suara Bapak,
“Owalah bener,
kan, Kaki Manten! Mangga-mangga mlebet, Ki! Pinarak mangga. Ngriki wonten
ngriki! – ayo-ayo silakan masuk, Ki! silakan duduk. Sini sebelah sini!”
Setelah agak lama
kemudian terdengar suara berat sorang lelaki tua, “ini sebenarnya ada apa?
ndingaren kamu menggil saya buru-buru. Biasanya kan buat besok,
lusa, minggu depan. Malah kadang kamu manggil tapi buat bulan depan. Sepertinya
ada sesuatu yang benar-benar penting!”
Bapak mau langsung
menjawab, tapi sepertiya ia tunda untuk menawarkan sesuatu dulu, “Ntar dulu ya,
Ki! Ibu, kiye Kaki Manten sudah datang. Sekalian bawa..... Nuwun sewu, Ki, Bade
ngunjuk napa? – mau minum apa—“
“kopi saja!”
terdengar suara berat lelaki tua itu yang disambung dengan suara lirih,
“cess...!” suara korek api batangan digesek dan apinya membakar pentolnya.
Orang yang disebut Kaki Manten menyalakan rokoknya.
“Ibu, sekalian
bawa kopi dua ya.... Sama rokok aku yang ketinggalan di meja tengah tolong bawa
sekalian kemari!” suara Bapak melanjutkan pesannya ke Ibu.
“Jadi gini,
Ki....” selanjutnya percakapan dilakukan secara lirih dan kadang-kadang
terdengar suara mereka tertawa tergelak. Lirih.
“Niki Ki,
kopinya! Silakan dicicipi! Ini juga ada kacang rebus, kebetulan tadi sore habis ngrebus. Cuma, maaf sudah dingin!”
Sepertinya Mbok sudah bergabung di ruang tamu. Mereka bertiga. Kali ini tidak terdengar
ada gelak tawa. Sepertinya mereka tengah membahas sesuatu yang sangat serius.
Setelah sekian
lama mereka terlibat pembicaraan yang serius, suara lirih mereka berhenti.
Lelaki setengah baya yang mengaku bapak terdengar mengajak seseorang, “monggo!”
Entah siapa yang diajak atau dipersilakan, tapi kemungkinan bapak itu mengajak
atau mempersilakan lelaki tua yang disebut Kaki Manten. Sesaat setelah kemudian
terdengar langkah kaki yang semakin lama semakin dekat ke kamar Arundhati.
“Ini, Ki, kamar
anak saya Arundhati!” suara bapak menunjukkan kamar Arundhati, “monggo!” Bapak itu
terdengar mempersilakan seseorang untuk masuk dan setelah itu terlihat kain
gorden pintu kamar Arundhati sedikit tersibak dan muncul seorang lelaki tua
mengenakan sarung dan jas berwarna hitam dengan kain hem berwarna putih. Lelaki tua agak bungkuk itu menggunakan
kopiah haji sebagai hiasan kepalanya. Lelaki tua yang disebut Kaki Manten ini
tersenyum mellihat Arundhati.
Melihat
kedatangan dua orang lelaki ke kamarnya, Arundhati kebingungan dan takut. Dia bangun dan meringkuk di pojok ranjang.
Matanya memandang tajam ke arah bapak. Ada semacam kemarahan yang ditujukan
kepadanya. Bapak jadi gusar. Sementara itu, sambil komat-kamit membaca do’a,
lelaki tua yang disebut Kaki Manten terlihat memperhatikan Arundhati dengan
sangat hati-hati dan kemudian mendekat. Arundhati semakin menyurut ke belakang.
“Jangan takut Arundhati,
aku cuma mau menyapa” tanya lelaki tua yang disebut Kaki Samiran. Arundhati mengangkat kepalanya dan mengulang
kata lalaki tua yang disebut Kaki Manten, “Menyapa?”
“Iya, menyapa.
Menyapa kamu yang masih tertidur” Lelaki tua yang disebut Kaki Manten itu menegaskan
kata-katanya. Arundhati cuma diam dengan
matanya nanar menatap lebih tajam ke arah lelaki tua yang disebut Kaki Manten.
Kaki Manten tersenyum dan kemudian mundur. Kaki Manten kembali ke arah pintu
kamar dan keluar diikuti Bapak. Ibu tidak ikut
keluar. Dia berjalan ke arah ranjang Arundhati dan mulai menghibur Arundhati.
Sesampainya di
ruang tamu, Kaki Manten mengambil mencabut satu batang rokok sambil duduk ke
kursi. Dia nyalakan rokok itu dan dia hisap. Dia lepaskan asapnya sambil
menerawang. Dia hisap lagi dan dia lepaskan asapnya sambil tetap menerawang.
Dia sedang memikirkan apa yang terjadi pada Arundhati.
“Ini tidak
sederhana.... anakmu benar-benar tidak dapat mengenali kamu, dan apalagi aku.
Dan mungkin seperti yang sudah kalian ceritakan, dia cuma bisa mengenali ibunya
meskipun mungkin sebenarnya juga cuma perkenalan baru. Terus, mungkin dia juga
belum dapat mengenali ayahnya. Semua orang yang baru ditemuinya akan tampil
menakutkan baginya” suara lelaki tua yang disebut sebagai Kaki Manten
menjelaskan hasil pemeriksaanya
“Terus bagaimana,
Ki?” Bapak sudah tidak sabar mendengar kesimpulan Kaki Manten.
“Aku akan mencari
petunjuk untuk mengatasi masalah anakmu”
“Apakah Arundhati
kesambet, Ki?”
“Sejauh ini aku
tidak melihat kemungkinan itu, jadi tenang saja!” jawab lelaki tua yang disebut
Kaki Manten menenangkan.
“Alhamdulillah
kalo begitu. Monggo diunjuk kopinya, Ki!” terdengar Bapak menawarkan kopi kepada Ki Manten.
Selanjutnya,
pembicaraan akrab mereka berdua terdengar mulai melemah. Mereka berbicara agak ditahan. Setelah agak
lama, kemudian terdengar suara orang pamit.
“Ya sudah ya,
sudah malam! Nanti kalau ada apa-apa, tinggal WA saja. Aku mau pulang dulu. Bu
Manten di rumah sendirian. Assalamu’alaikum”
“Ok, baik Ki
Manten, terimakasih. Salam buat orang rumah! Wa’alaikum salam” Suara pintu ditutup dan kunci digerakkan
terdengar menyusul basalan salam dari Bapak. Tak lama kemudian, di ruang tengah terdengar
suarau Ibu, “Pak, apa bener Ki Manten bisa make WA?!”
Bapak tertawa
kecil, “memang kenapa, Bu? Gak boleh orang tua macam Ki Manten bisa make WA?”
“Ya.., boleh sih!
Tapi heran saja, kenapa orang sepuh macam Ki Manten bisa make WA. Mereka itu kan bisanya cuma bisa make
telpon!”
“Ibu ini...!
Jangan meremehkan Kaki Manten. Jangankan WA, Twitter dia main!
Sudah.....sudah...! Bagaimana si Ayun, sudah tidur?”
“Sudah, tadi aku
yang nemenin!”
“Ya, sudah kalau
begitu. Kita sudah berupaya. Kita tunggu beritanya dari Ki Manten. Ayo tidur!”
Suasana kembali
sepi. Kedua orangtua Arundhati sudah memasuki kamar mereka. Tertidur setelah
berdo’a untuk Arundhati.
Arundhati tidak
mendengarkannya lagi. Dan, Arundhati sepertinya sudah mulai ingin memejamkan
matanya. Dia tidak ingin untuk ingin tahu apa yang sedang dibicarakan oleh
orang-orand di ruang tamu itu. Ibu yang masih menemani Arundhati tersenyum
melihat anaknya seperti mau tidur, meski hari telah menjelang sore. Biarlah,
daripada anaknya terperangkap dalam kebingungan yang tiada habisnya.
0 komentar:
Posting Komentar