Jumat, Juni 09, 2023

[5} TAMU


Malam kembali hadir menggantikan terang yang telah pergi bersama matahari menuju ke suatu tempat yang justru tengah menjemput pagi. Bulan mulai terlihat sempurna di malam kedua Arundhati tidak mampu memanfaatkan memorinya. Bahkan seluruh kosa kata yang pernah ia ingat pun tidak mampu dia keluarkan untuk dapat berkomunikasi yang lain.

Sinar rembulan yang menerjang sela-sela jemari daun kelapa dan menerobos daun nangka untuk kemudian jatuh percis di depan teras rumah Arundhati. Di teras, di atas risban, Bapak tengah sendirian tegang menerawang entah kemana. Bapak memikirkan anak semata-wayangnya yang tiba-tiba menjadi seperti itu. Masuk ke dalam, di ruang tengah seorang perempuan muda, sepupu Ibu, tengah asyik memindah-mindah channel tivi. Ke dalam lagi, ke kamar Arundhati, Ibu masih duduk di pinggir ranjang menemani Arundhati.

Arundhati terlihat pulas sekali malam ini. Dia tidur sangat tenang. Arundhati yang kebiasaan tidurnya menghabiskan seluruh ranjang, saat ini terlihat sangat tenang. Saking tenangnya, Ibu sampai merasa harus memperhatikan dada Arundhati.  Kalau dilihatnya dada Arundhati naik turun meskipun sangat halus, Ibu langsung tersenyum. Ibu berdiri sambil melihat Arundhati untuk kemudian berjalan ke luar kamar Arundhati. Ibu ikut tenang, melihat Arundhati tidur dengan sangat tenang.

Semilir angin pantai berhembus meniup tubuh Arundhati yang tertidur di atas batu besar. Arundhati perlahan membuka matanya. Seingat dia, saat ini masih malam dan dia baru beranjak tidur di ranjangnya ditemani Ibunya yang duduk di pinggir ranjang. Arundhati duduk dan mengucek-ucek matanya. Ini tempat yang waktu itu dia datangi dalam mimpinya.  Apakah ini mimpi? Arundati berusaha memahami situasinya. Bila ini mimpi, kenapa semilir angin pantai berasa begitu sejuk mengipasi tubuhnya? Bila ini mimpi, kenapa meskipun tidak sepanas matahari pantai yang ia kenal?

Bila ini bukan mimpi, kenapa dia merasa lebih segar. Tidak ada terasa letih dan mengangtuk meskipun dia baru tertidur.

Ah, terjadi lagi.

Arundhati melihat ke kanan dan kirinya. Tidak ada orang. Arundhati sendirian di taman di pinggir pantai itu. Ketika dia berpikir bahwa dia sendirian di pantai ini, dari arah belakang ada yang memanggil dengan suara yang begitu dia kenal,

“Nona Arundhati”

Arundhati menoleh ke belakang. Benar suara itu milik lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik. Arundhati tersenyum. Arundhati senang tak jadi merasa sendirian. Ada lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik. Arundhati senang karena ditemani lelaki muda itu.

Bersama lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu terlihat perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam. Perempuan itu tersenyum kepada Arundhati sambil menyapa, “Arundhati!”

Arundhati senang sekali. Ia merasa senang bahwa saat ini semua terasa normal. Tidak ada ketakutan yang menyelubungi perasaannya. Bahkan dia dapat mengerti apa yang diucapkan oleh mereka berdua dengan seperti seharusnya. Sungguh sangat biasa yang istimewa.

Arundati turun dari batu tempat dia terbangun. Arundhati berdiri, sambil membereskan turban yang menutupi kerudung yang dia kenakan.  Arundhati berjalan mendekati kedua orang lelaki dan perempuan itu. Tepat satu tombak di hadapan kedua orang itu, Arundhati berhenti. Arundhati berdiri dengan sikap ngapurancang di depan kedua orang itu.

“Tuan, bolehkah aku tahu nama kalian berdua?” Arundhati menanyakan nama kedua orang itu. Kedua orang itu, sekali lagi, tersenyum.

“Saya Ansuman, dan dia adalah Sitakara”

Lelaki muda berbaju lurik dan dengan udheng batik itu memperkenalkan diri sebagai Ansuman dan sekaligus memperkenalkan perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam sebagai Sitakara. Perempuan cantik yang ternyata bernama Sitakara itu tersenyum. Arundhati juga tersenyum, “Ansuman.... Sitakara!”

Ansuman tersenyum, “Betul nona Arundhati. Begitu saja kamu memanggil kami. Tidak usah menggunakan sebutan tuan!”

Ansuman memohon kepada Arundhati untuk tidak memanggilnya dengan sebutan tuan. Sitakara tersenyum, “betul.... akupun memintamu juga, jangan nanti kamu memanggilkan Nona apalagi Nyonya”

Sambil tetap berdiri ngapurancang dan kepala menunduk, Arundhati menjawab, “baiklah, Yu Ara, Sitakara! Bolehkan, kalu saya memanggilmu Yu Ara? Mestinya mbakyu ini memang sedikit lebih tua dari saya, namun yang pasti tidak setua ibuku

Arundhati menegakkan kepalanya sambil tersenyum lebar memandang ke arah Sitakara ketika mengajukan permintaan itu. Sitakara tersenyum sambil mengangguk.

“kamu juga!” sambil mengarahkan pandangannya kepada Ansuman, arundati kemudian mengajukan satu permintaan, “kamu kan lebih tua…., tapi gak setua man Sardi sih! Sepertinya cocok kalo aku panggil Kang. Kang Ansuman!”.  Man Sardi adalah tukang kebon di rumah Arundhati. Umurnya sekitar limapuluh tahunan.

Kali ini gaya Arundhati sangat berbeda. Lebih manja. Tangan tidak lagi ngapurancang, tapi dia tangkupkan ke belakang, badan agak miring membungkuk kepala ke arah Ansuman, sambil tersenyum. Sangat menggoda sebenarnya. Tapi, itulah Arundhati yang sebenarnya. Gadis yang sangat ceria yang sering tanpa dia sadari tingkah manjanya menjadi seperti menggoda.

“Itu keputusanmu, Ayun!” Ansuman hanya tersenyum, tidak membantah usul Arundhati. Arundhati tersenyum, “baiklah!”

“Kalau begitu, mari ikut kami!” Sitakara tiba-tiba menggandeng tangan Arundhati dan mengajaknya pergi. Sitakara berlari sambil menggandeng Arundati, dan Arundhati hanya bisa mengikuti.

Meskipun Sitakara berlari dengan sangat cepat, Arundhati sama sekali tidak kesulitan untuk mengikuti. “Yu Ara, mau ke mana kita?” tanya Arundhati yang dijawab Sitakara, “ke tempat yang kita tuju!”

“Ah Yu Ara, sama saja sama Kang Suman! Ha ha ha.... baiklah!”

“ha ha ha..., betulkah Ansuman bilang begitu?”

Arundhati tidak menjawab dan hanya tertawa yang diikuti oleh Sitakara. Mereka berdua berlari bergandengan tangan sambil tertawa.

Ansuman mengikuti kedua perempuan cantik itu dari belakang. Dia hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua.

Berbeda dengan pertemuan pertama dengan kedua orang ini yang penuh dengan keanehan, pada pertemuan kali ini semuanya nampak normal. Hanya terik matahari yang terasa hangat dan baju yang dikenakan oleh kedua orang teman barunya itu yang merupakan keanehan.  Arundhati sangat menikmati perjalanannya melintasi bukit dan savana. Kadang melintasi hamparan tanaman bunga seruni (krisan), kadang menembus hutan lebat, dan berbagai tempat ekstrim lain. Semua terjadi dengan begitu cepat. Ah, Arundhati, bukankah itu seharusnya juga suatu keanehan bagimu!!

Tiba di pintu gerbang sebuah kota, mereka bertiga berhenti.

“Kita berhenti di sini, kita masuk kota berjalan kaki saja!” teriak Sitakara memberikan komando. Arundhati yang masih bergandengan tangan dengan Sitakara berhenti. Ansuman juga berhenti. Arundati berpikir, kenapa mereka berhenti di sini,

“Kenapa kita berhenti di sini, Yu Ara?”

“Bukankah, kamu ingin tahu kita mau pergi kemana?”

“Apakah memang kita mau ke sini?”

“Untuk pertanyaanmu sebelum berangkat tadi, iya!”

Arundhati tersenyum kecut. Senyum kecut yang membuat Arundhati nampak semakin imut. Ansuman yang melirik ke arah Arundhati tersenyum.

Setelah melewati gerbang, Arundhati melihat banyak sekali orang berlalu lalang. Baju yang mereka kenakan nampak aneh bagi Arundhati. Rata-rata para lelaki bertelanjang dada dengan celana komprang atau kain yang diikat membentuk celana pendek hitam atau abu-abu kotor. Beberapa dari mereka mengenakan sarung dengan baju lurik atau baju hitam lengan panjang. Dan, hampir semua dari mereka mengenakan ikat pinggang lebar mirip kopelrim.

Para perempuan semuanya mengenakan kain sebatas pinggang yang disambung dengan kemben sampai menutupi dada mereka. Sebagian dari mereka melengkapi penampilannya dengan sejenis kebaya lengan panjang dari kain abu-abu kotor. Semua perempuan menggelung rambutnya. Ada satu dua dari mereka menutupi rambutnya dengan kerudung. Ini seperti penampilan di sinetron silat yang sering dia tonton di televisi yang menggambarkan masa lalu. Arundhati berpikir, jangan-jangan dia telah dibawa ke masa lalu.

“Yu Ara, apakah saat ini kita tengah berada di masa lalu?” Arundhati bertanya kepada Sitakara,

“Apakah kau pikir ini adalah masa lalu?”

“Iya!”

“Lalu yang masa kini yang seperti apa?”

Arundhati diam tidak bisa menjawab pertanyaan Sitakara karena saat ini dia merasakan sebagai masa kini dengan pemandangan yang ada di depan mereka.

Tiba di depan sebuah kedai, Sitakara mengajak mereka bertiga untuk mampir beristirahat.

“Ah sepertinya kita perlu beristirahat sambil mengisi perut!”

Arundhati dengan sigap mengiyakan ajakan itu, “usul yang bagus, ayo Yu Ara, Kang Suman!”

Mereka bertiga langsung berbelok ke kedai itu. Mereka mencari tempat duduk untuk bertiga. Setelah mendapatkan tempat duduk, Ansuman teriak, “Pelayan! Kami minta yang paling enak di kedai ini!”

“Ya Tuan!” sahut salah seorang pelayan kedai.

Selagi menunggu datangnya pesanan, Arundhati merasa ada yang harus dia tanyakan.

“Kang Suman! Apakah Kang Suman masih ingat ketika pertama kita bertemu?”

Ansuman tersenyum, “kapan itu, ya?”

Arundhati menampakkan wajah marah. Dia kesal, Ansuman justeru bertanya seperti ngeledek.  Sitakara tertawa kecil melihat perubahan roman muka Arundhati.

“Hhh... baiklah, Ayun.... saat kita ketemu di kota itu bukan?”

Masih dengan menampakkan kekesealannya, Arundhati menjawab pertanyaan Ansuman, “Iya!”

“Memang kenapa, Ayun?”

“Apakah ini mimpi?”

“Bergantung pada persepsimu, Ayun!”

Arundhati kemudian menggerenyitkan dahi sambil berbisik, “Apakah kejadian di balaidesa itu adalah bagian dari ini?”

Ansuman yang mendengar bisikan Arundhati tersenyum dan bertanya, “ada apa lagi Ayun?”

“Saat itu, sebelum aku ketemu Kang Suman dan kemudian Yu Ara, aku mengalami sesuatu di balaidesa. Setelah itu, kejadian demi kejadian berjalan begitu cepat seperti cerita dalam sebuah ingatan. Bahkan sebelum aku memasuki kota itu, aku melewati sebuah jembatan yang sangat panjang sampai ke ujungnya, yang kemudian tiba-tiba hilang dan aku berada di depan sebuah mall. Kalau tidak keburu dipanggil sama Kang Suman, waktu itu, mungkin aku sudah belanja banyak!”

Sekali lagi, untuk sekian kalinya, Ansuman tersenyum, “Ayun, terus terang. Kami, aku dan Yu Ara pun tidak tahu

Arundhati menengadah sambil mengangkat bahu dan meregangkan tangannya ke depan di atas meja. Dia menarik nafas dalam-dalam menahan dan menghempaskannya, “Jadi... Kang Suman dan Yu Ara orang mana?”

Ansuman, tersenyum sambil memandang ke arah Sitakara.

“Ayun, apakah kamu kesulitan berbicara dengan kami, dengan orang-orang di sekitar ini? Apakah kamu sulit mengerti apa yang kami bicarakan?”

Sitakara, mencoba menjelaskan kepada Arundhati dengan menanyakan satu hal yang memang sangat mendasar. Arundhati tidak bisa menjawab, karena pada dasarnya dia merasa asing di sini, tapi justeru di sinilah dia dapat berkomunikasi dengan lancar. Bila mengikuti pertanyaan Sitakara, mestinya dia bukan tamu di sini, dan justeru di dunia di mana Bapak dan Ibu tinggal dia adalah tamu. Arundhati diam. Dia ingin mengingkari sesuatu yang membuatnya senang saat ini karena dia ingat sama Bapak dan Ibu. Di saat yang sama dia ingin mengingkari sesuatu yang membuatnya kebingungan di dunia Bapak dan Ibu.

Suasana menjadi hening. Ansuman dan Sitakara sepertinya sengaja membiarkan Arundhati berpikir sendiri. Di tengah keheningan tiba-tiba tiga orang datang membawa nampan.

“Tuan, Nona-nona! Makanan sudah siap, silakan!”

Ketiga pelayan itu meletakan berbagai makanan di atas meja. Ada ayam, ikan dan berbagai sayuran serta buah.  “Silakan tuan, nona-nona!”

“Baik, terimakasih!” Sitakara menyambut tawaran itu dan kemudian, “Ayo, Kang Suman, Ayun....! Ayo dimakan!”

Mereka bertiga kemudian menyantap hidangan pesanan mereka. Arundhati tampak menikmati sekali hidangan itu.

“Enak, Kang Suman!”

Meskipun terlihat senang, Arundhati bingung kenapa dia dapat merasakan makanan ini. Semestinya dia tamu di sini, tapi kenapa justeru dia dapat menikmati apapun di sini? Di dunia yang semuanya begitu asing buatnya. 

0 komentar: