Malam kembali hadir menggantikan terang yang telah pergi bersama matahari menuju ke suatu tempat yang justru tengah menjemput pagi. Bulan mulai terlihat sempurna di malam kedua Arundhati tidak mampu memanfaatkan memorinya. Bahkan seluruh kosa kata yang pernah ia ingat pun tidak mampu dia keluarkan untuk dapat berkomunikasi yang lain.
Sinar rembulan yang menerjang sela-sela jemari daun kelapa dan menerobos
daun nangka untuk kemudian jatuh percis di depan teras rumah Arundhati. Di
teras, di atas risban, Bapak tengah sendirian tegang menerawang entah
kemana. Bapak memikirkan anak semata-wayangnya yang tiba-tiba menjadi
seperti itu. Masuk ke dalam, di ruang tengah seorang perempuan muda, sepupu Ibu, tengah asyik
memindah-mindah channel tivi. Ke dalam lagi, ke kamar Arundhati, Ibu masih
duduk di pinggir ranjang menemani Arundhati.
Arundhati terlihat pulas sekali malam ini. Dia tidur sangat tenang. Arundhati
yang kebiasaan tidurnya menghabiskan seluruh ranjang, saat ini terlihat sangat
tenang. Saking tenangnya, Ibu sampai merasa harus memperhatikan dada Arundhati. Kalau dilihatnya dada Arundhati naik turun
meskipun sangat halus, Ibu langsung tersenyum. Ibu berdiri sambil
melihat Arundhati untuk kemudian berjalan ke luar kamar Arundhati. Ibu ikut tenang, melihat Arundhati tidur
dengan sangat tenang.
Semilir angin pantai berhembus meniup tubuh Arundhati yang tertidur di atas
batu besar. Arundhati perlahan membuka matanya. Seingat dia, saat ini masih
malam dan dia baru beranjak tidur di ranjangnya ditemani Ibunya yang duduk di
pinggir ranjang. Arundhati duduk dan mengucek-ucek matanya. Ini tempat yang
waktu itu dia datangi dalam mimpinya.
Apakah ini mimpi? Arundati berusaha memahami situasinya. Bila ini mimpi,
kenapa semilir angin pantai berasa begitu sejuk mengipasi tubuhnya? Bila ini
mimpi, kenapa meskipun tidak sepanas matahari pantai yang ia kenal?
Bila ini bukan mimpi, kenapa dia merasa lebih segar. Tidak ada terasa
letih dan mengangtuk meskipun dia baru tertidur.
Ah, terjadi lagi.
Arundhati melihat ke kanan dan kirinya. Tidak ada orang. Arundhati
sendirian di taman di pinggir pantai itu. Ketika dia berpikir bahwa dia
sendirian di pantai ini, dari arah belakang ada yang memanggil dengan suara
yang begitu dia kenal,
“Nona Arundhati”
Arundhati menoleh ke belakang. Benar suara itu milik lelaki muda berbaju
lurik dengan udheng batik. Arundhati tersenyum. Arundhati senang tak jadi
merasa sendirian. Ada lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik. Arundhati senang karena
ditemani lelaki muda itu.
Bersama lelaki muda berbaju lurik dengan udheng batik itu terlihat
perempuan cantik berbeskap dan bercelana komprang hitam. Perempuan itu
tersenyum kepada Arundhati sambil menyapa, “Arundhati!”
Arundhati senang sekali. Ia merasa senang bahwa saat ini semua terasa
normal. Tidak ada ketakutan yang menyelubungi perasaannya. Bahkan dia dapat
mengerti apa yang diucapkan oleh mereka berdua dengan seperti seharusnya.
Sungguh sangat biasa yang istimewa.
Arundati turun dari batu tempat dia terbangun. Arundhati berdiri, sambil
membereskan turban yang menutupi kerudung yang dia kenakan. Arundhati berjalan mendekati kedua orang
lelaki dan perempuan itu. Tepat satu tombak di hadapan kedua orang itu,
Arundhati berhenti. Arundhati berdiri dengan sikap ngapurancang di depan kedua
orang itu.
“Tuan, bolehkah aku tahu nama kalian berdua?” Arundhati menanyakan nama
kedua orang itu. Kedua orang itu, sekali lagi, tersenyum.
“Saya Ansuman, dan dia adalah Sitakara”
Lelaki muda berbaju lurik dan dengan udheng batik itu memperkenalkan diri
sebagai Ansuman dan sekaligus memperkenalkan perempuan cantik berbeskap dan
bercelana komprang hitam sebagai Sitakara. Perempuan cantik yang ternyata
bernama Sitakara itu tersenyum. Arundhati juga tersenyum, “Ansuman.... Sitakara!”
Ansuman tersenyum, “Betul nona Arundhati. Begitu saja kamu memanggil kami. Tidak usah menggunakan
sebutan tuan!”
Ansuman memohon kepada Arundhati untuk tidak memanggilnya dengan sebutan
tuan. Sitakara tersenyum, “betul.... akupun memintamu juga, jangan nanti kamu
memanggilkan Nona apalagi Nyonya”
Sambil tetap berdiri ngapurancang dan kepala menunduk, Arundhati menjawab,
“baiklah, Yu Ara, Sitakara! Bolehkan, kalu saya memanggilmu Yu Ara? Mestinya mbakyu
ini memang sedikit lebih tua dari saya, namun yang pasti tidak setua ibuku”
Arundhati menegakkan kepalanya sambil tersenyum lebar memandang ke arah
Sitakara ketika mengajukan permintaan itu. Sitakara tersenyum sambil
mengangguk.
“kamu juga!” sambil mengarahkan pandangannya kepada Ansuman, arundati
kemudian mengajukan satu permintaan, “kamu kan lebih tua…., tapi gak setua man
Sardi sih! Sepertinya cocok kalo aku panggil Kang. Kang Ansuman!”. Man Sardi adalah tukang kebon di rumah
Arundhati. Umurnya sekitar limapuluh tahunan.
Kali ini gaya Arundhati sangat berbeda. Lebih manja. Tangan tidak lagi
ngapurancang, tapi dia tangkupkan ke belakang, badan agak miring membungkuk
kepala ke arah Ansuman, sambil tersenyum. Sangat menggoda sebenarnya. Tapi,
itulah Arundhati yang sebenarnya. Gadis yang sangat ceria yang sering tanpa dia
sadari tingkah manjanya menjadi seperti menggoda.
“Itu keputusanmu, Ayun!” Ansuman hanya tersenyum, tidak membantah usul
Arundhati. Arundhati tersenyum, “baiklah!”
“Kalau begitu, mari ikut kami!” Sitakara tiba-tiba menggandeng tangan Arundhati dan
mengajaknya pergi. Sitakara berlari sambil menggandeng Arundati, dan Arundhati
hanya bisa mengikuti.
Meskipun Sitakara berlari dengan sangat cepat, Arundhati sama sekali tidak
kesulitan untuk mengikuti. “Yu Ara, mau ke mana kita?” tanya Arundhati yang
dijawab Sitakara, “ke tempat yang kita tuju!”
“Ah Yu Ara, sama saja sama Kang Suman! Ha ha ha.... baiklah!”
“ha ha ha..., betulkah Ansuman bilang begitu?”
Arundhati tidak menjawab dan hanya tertawa yang diikuti oleh Sitakara.
Mereka berdua berlari bergandengan tangan sambil tertawa.
Ansuman mengikuti kedua perempuan cantik itu dari belakang. Dia hanya
tersenyum melihat tingkah mereka berdua.
Berbeda dengan pertemuan pertama dengan kedua orang ini yang penuh dengan
keanehan, pada pertemuan kali ini semuanya nampak normal. Hanya terik matahari yang terasa hangat
dan baju yang dikenakan oleh kedua orang teman barunya itu yang merupakan
keanehan. Arundhati sangat menikmati
perjalanannya melintasi bukit dan savana. Kadang melintasi hamparan tanaman
bunga seruni (krisan), kadang menembus hutan lebat, dan berbagai tempat ekstrim
lain. Semua terjadi dengan begitu cepat. Ah, Arundhati, bukankah itu seharusnya
juga suatu keanehan bagimu!!
Tiba di pintu gerbang sebuah kota, mereka bertiga berhenti.
“Kita berhenti di sini, kita masuk kota berjalan kaki saja!” teriak Sitakara
memberikan komando. Arundhati yang masih bergandengan tangan dengan Sitakara
berhenti. Ansuman juga berhenti. Arundati berpikir, kenapa mereka berhenti di
sini,
“Kenapa kita berhenti di sini, Yu Ara?”
“Bukankah, kamu ingin tahu kita mau pergi kemana?”
“Apakah memang kita mau ke sini?”
“Untuk pertanyaanmu sebelum berangkat tadi, iya!”
Arundhati tersenyum kecut. Senyum kecut yang membuat Arundhati nampak
semakin imut. Ansuman yang melirik ke arah Arundhati tersenyum.
Setelah melewati gerbang, Arundhati melihat banyak sekali orang berlalu
lalang. Baju yang mereka kenakan nampak aneh bagi Arundhati. Rata-rata para
lelaki bertelanjang dada dengan celana komprang atau kain yang diikat membentuk
celana pendek hitam atau abu-abu kotor. Beberapa dari mereka mengenakan sarung
dengan baju lurik atau baju hitam lengan panjang. Dan, hampir semua dari mereka
mengenakan ikat pinggang lebar mirip kopelrim.
Para perempuan semuanya mengenakan kain sebatas pinggang yang disambung
dengan kemben sampai menutupi dada mereka. Sebagian dari mereka melengkapi
penampilannya dengan sejenis kebaya lengan panjang dari kain abu-abu kotor.
Semua perempuan menggelung rambutnya. Ada satu dua dari mereka menutupi
rambutnya dengan kerudung. Ini seperti penampilan di sinetron silat yang sering
dia tonton di televisi yang menggambarkan masa lalu. Arundhati berpikir,
jangan-jangan dia telah dibawa ke masa lalu.
“Yu Ara, apakah saat ini kita tengah berada di masa lalu?” Arundhati
bertanya kepada Sitakara,
“Apakah kau pikir ini adalah masa lalu?”
“Iya!”
“Lalu yang masa kini yang seperti apa?”
Arundhati diam tidak bisa menjawab pertanyaan Sitakara karena saat ini dia
merasakan sebagai masa kini dengan pemandangan yang ada di depan mereka.
Tiba di depan sebuah kedai, Sitakara mengajak mereka bertiga untuk mampir
beristirahat.
“Ah sepertinya kita perlu beristirahat sambil mengisi perut!”
Arundhati dengan sigap mengiyakan ajakan itu, “usul yang bagus, ayo Yu Ara,
Kang Suman!”
Mereka bertiga langsung berbelok ke kedai itu. Mereka mencari tempat duduk
untuk bertiga. Setelah mendapatkan tempat duduk, Ansuman teriak, “Pelayan! Kami
minta yang paling enak di kedai ini!”
“Ya Tuan!” sahut salah seorang pelayan kedai.
Selagi menunggu datangnya pesanan, Arundhati merasa ada yang harus dia
tanyakan.
“Kang Suman! Apakah Kang Suman masih ingat ketika pertama kita bertemu?”
Ansuman tersenyum, “kapan itu, ya?”
Arundhati menampakkan wajah marah. Dia kesal, Ansuman justeru bertanya
seperti ngeledek. Sitakara tertawa
kecil melihat perubahan roman muka Arundhati.
“Hhh... baiklah, Ayun.... saat kita ketemu di kota itu bukan?”
Masih dengan menampakkan kekesealannya, Arundhati menjawab pertanyaan Ansuman,
“Iya!”
“Memang kenapa, Ayun?”
“Apakah ini mimpi?”
“Bergantung pada persepsimu, Ayun!”
Arundhati kemudian menggerenyitkan dahi sambil berbisik, “Apakah kejadian
di balaidesa itu adalah bagian dari ini?”
Ansuman yang mendengar bisikan Arundhati tersenyum dan bertanya, “ada apa
lagi Ayun?”
“Saat itu, sebelum aku ketemu Kang Suman dan kemudian Yu Ara, aku mengalami
sesuatu di balaidesa. Setelah itu, kejadian demi kejadian berjalan begitu cepat
seperti cerita dalam sebuah ingatan. Bahkan sebelum aku memasuki kota itu, aku
melewati sebuah jembatan yang sangat panjang sampai ke ujungnya, yang kemudian
tiba-tiba hilang dan aku berada di depan sebuah mall. Kalau tidak keburu
dipanggil sama Kang Suman, waktu itu, mungkin aku sudah belanja banyak!”
Sekali lagi, untuk sekian kalinya, Ansuman tersenyum, “Ayun, terus terang.
Kami, aku dan Yu Ara pun tidak tahu”
Arundhati menengadah sambil mengangkat bahu dan meregangkan tangannya ke
depan di atas meja. Dia menarik nafas dalam-dalam menahan dan menghempaskannya,
“Jadi... Kang Suman dan Yu Ara orang mana?”
Ansuman, tersenyum sambil memandang ke arah Sitakara.
“Ayun, apakah kamu kesulitan berbicara dengan kami, dengan orang-orang di
sekitar ini? Apakah kamu sulit mengerti apa yang kami bicarakan?”
Sitakara, mencoba menjelaskan kepada Arundhati dengan menanyakan satu hal
yang memang sangat mendasar. Arundhati tidak bisa menjawab, karena pada
dasarnya dia merasa asing di sini, tapi justeru di sinilah dia dapat
berkomunikasi dengan lancar. Bila mengikuti pertanyaan Sitakara, mestinya dia
bukan tamu di sini, dan justeru di dunia di mana Bapak dan Ibu tinggal dia
adalah tamu. Arundhati diam. Dia ingin mengingkari sesuatu yang membuatnya
senang saat ini karena dia ingat sama Bapak dan Ibu. Di saat yang sama dia
ingin mengingkari sesuatu yang membuatnya kebingungan di dunia Bapak dan Ibu.
Suasana menjadi hening. Ansuman dan Sitakara sepertinya sengaja membiarkan
Arundhati berpikir sendiri. Di tengah keheningan tiba-tiba tiga orang datang
membawa nampan.
“Tuan, Nona-nona! Makanan sudah siap, silakan!”
Ketiga pelayan itu meletakan berbagai makanan di atas meja. Ada ayam, ikan
dan berbagai sayuran serta buah.
“Silakan tuan, nona-nona!”
“Baik, terimakasih!” Sitakara menyambut tawaran itu dan kemudian, “Ayo, Kang
Suman, Ayun....! Ayo dimakan!”
Mereka bertiga kemudian menyantap hidangan pesanan mereka. Arundhati tampak menikmati
sekali hidangan itu.
“Enak, Kang Suman!”
Meskipun terlihat senang, Arundhati bingung kenapa dia dapat merasakan
makanan ini. Semestinya dia tamu di sini, tapi kenapa justeru dia dapat
menikmati apapun di sini? Di dunia yang semuanya begitu asing buatnya.
0 komentar:
Posting Komentar