“Pelayan!”
Ansuman memanggil pelayan kedai. Sepertinya mereka bertiga telah selesai
istirahatnya.
“Ya, Tuan!”
“Sini!”
Seorang pelayan kedai mendekati meja Ansuman, Sitakara, dan Arundhati.
“Dihitung, berapa?” Ansuman minta pelayan untuk menghitung makanan mereka.
Sembari menunggu pelayan menghitung makanan, Ansuman mengeluarkan kantung uang
dari balik baju luriknya.
“Berapa?”
“Semua jadi seratus tujuh puluh enam ribu rupiah Tuan!”
“Baiklah...” Ansuman mengambil uang 2 lembar ratusan ribu, “ini, ambil, sisanya buat kalian!”
“Terimakasih, Tuan!”
Pelayan kedai sangat senang dengan tips yang ia dapat dari Ansuman. Ansuman,
Sitakara, dan Arundhati bergegas keluar dari kedai. Ansuman berjalan paling
depan diikuti Arundhati dan Sitakara di belakang Arundhati. Mereka menuju keluar kedai. Sitakara terlihat
senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia memperhatikan Arundhati yang terlihat
serius seperti memikirkan sesuatu. Ketika seharusnya mereka berbelok keluar,
Arundhati justeru lurus menuju ke tempat lain di dalam kedai. Sitakara berhenti
sambil menahan tawa. Ansuman yang asyik dengan langkahnya sendiri sudah sampai
di luar.
“Ayun....!” teriak Sitakara memanggil. Yang dipanggil belum mendengar. Sitakara
mengulangi panggilannya, “Ayun....!”
“Ya...! Ab... a... apa Yu Ara?” Arundhati nampak bingung ketika menyadari dia jalan sendiri dan masih di
dalam kedai.
“Kamu mau ke mana? ha ha ha....!”
“E.. iya.. iya Yu Ara! Keluar. Keluar... Ayuk keluar!” Arundhati kebingungan sambil berbalik
arah ke Sitakara.
“Ha ha ha ha.....!” Sitakara tertawa dan segera menyambar lengan Arundhati.
Mereka segera keluar kedai menyusul Ansuman.
Sebelum sampai ke luar, pelayan kedai berteriak, “nona, sepertinya ini
kebanyakan, sepertinya tuan tadi memberikan 3 lembar uang. Bukan dua lembar!”
Pelayan kedai ini sepertinya cukup jujur, dia memberitahukan adanya
kelebihan bayar. Arundhati segera memahami situasi, “Sini yang selembar buat
saya saja. Biar aja Kang Suman yang pusing nanti!”
Sitakara cuma tersenyum melihat kelakuan Arundhati. Dalam hatinya dia
yakin kalau kelakuan Arundhati bukan didasari sikap culas, tapi lebih karena
manja.
Arundhati segera melangkah ke luar. Namun, ketika mendekati pintu Arundhati
sempat berhenti sejenak. Ada dua orang baru masuk, dan salah satu di antaranya
dia kenal. Ki Manten, betul dia Ki Manten, orang yang pintar yang diundang
Bapak. Arundhati sangat mengenali orang itu, namun sepertinya orang itu tidak
sempat melihat arundhati. Dia berjalan tanpa melihat-lihat, mencari tempat
duduk. Sitakara yang paham kondisi
segera menegur Arundhati, “biarkan Ayun, dia tidak akan mengenalimu di sini!”.
Arundhati mengangguk, dan kemudian mereka berdua meneruskan langkahnya keluar.
Sambl berjalan Sitakara meneruskan perkataannya, “orang itu sekampung sama
Ayun, tapi dia tidak memiliki kesadaran yang mencukupi untuk pergi ke tempat
lain. Hanya kedai ini sajalah yang dapat
dia kunjungi!”. Sekali lagi Arundhati
mengangguk, sambil melihat ke arah kedua orang itu yang saat ini sudah duduk
sambil tertawa-tawa. Arundhati segera memalingkan pandangannya kembali ke depan
saat Ki Manten menoleh ke belakang hendak memanggil pelasan.
Sesampainya di luar kedai, mereka tidak menemukan Ansuman. Sitakara
terlihat kesal, “Kebiasaan orang satu itu. Cocok sepertinya ketemu Ayun”
“Iya Yu Ara, Ayun ada apa?” mendengar namanya disebut Arundhati bertanya ke
Sitakara. Sambil nyengir Sitakara menjawab, “Ah.. nggak... itu Suman, ayo kita
susul dia!”
Sitakara melihat Ansuman tengah berdiri di depan sebuah toko bertuliskan
huruf China. Mereka berdua segera bergegas ke Ansuman.
“Kang Suman! Kenapa buru-buru sih?” protes Sitakara.
“Bukan aku yang buru-buru. Ada apa?”
“Itu si Ayun, tiba-tiba ngalamun gak jelas. Nyasar dia ke tempat lain di
kedai tadi!”
Arundhati memerah pipinya. Jangan tanya bagaimana wajah dengan kulit kuning
langsat itu memerah pipinya, yang pasti Arundhati merasa malu
“Anu... Kang Suman Yu Ara! Ayun bingung, tadi kita makan bayarnya make
rupiah”
Ansuman dan Sitakara tertawa. Seperti paduan suara, mereka balik bertanya,
“Memangnya harus make apa?”
Arundhati tersipu. Meskipun masih ingin melanjutkan pertanyaannya,
Arundhati memaksa otaknya untuk menerima apa adanya. Jangan bertanya lagi.
“Baiklah Ayun... nanti pasti akan ada jawabannya!” dengan gaya seperti pada
pertemuan pertamanya, Ansuman berusaha menenangkan Arundhati.
“Ayo semua kita percepat perjalanan kita!” Sitakara kembali meraih tangan
Arundhati. Mereka kembali berlari. Ansuman berlari di belakang mereka.
Pengalaman unik kembali dialami oleh Arundhati. Menjelajah dengan kecepatan yang
sangat luar biasa. Dengan kecepatan yang dapat dikatakan supersonik, Arundhati
tidak merasakan tabarakan udara sedikitpun. Bahkan terpaan angin akibat
kecepatannya itu juga tidak terasa. Sesuatu yang seharusnya memastikan dia
tengah berada dalam dunia mimpi. Tapi, ah di tempat yang sama ini, tadi Arundhati pun bisa
merasakan nikmatnya makanan dan minuman di kedai.
Tidak seperti larinya mereka yang pertama, yang penuh dengan keindahan.
Penjelajahan kali ini, Arundhati sering merasa mereka tengah berlari di atas
danau lahar panas, padang pasir, dan saat ini Arundhati merasa mereka tengah
berlari di atas padang bebatuan yang luas. Penjelajahan kali ini semuanya diam.
Sesampainya di tepi sebuah jurang, mereka berhenti. Dasarnya teramat gelap dan
tertutup kabut. Sitakara dan Arundhati berhenti, Ansuman juga berhenti.
Tak jauh dari tempat mereka berhenti nampak sebuah jembatan. Jembatan yang sama seperti yang dijumpa
Arundhati saat mengawali pengalaman-pengalaman aneh ini.
“Kang Suman....?” Arundhati menyebut nama Ansuman. Arundhati ingin
menanyakan sesuatu.
“Iya Ayun, ini adalah jembatan yang sama dengan jembatan yang pernah kamu
lewati. Tapi ini bukan jembatan itu. Ini jembatan yang berbeda” sebelum
Arundhati bertanya, Ansuman menjelaskan jembatan apa yang ada di depan mereka
saat ini. Tapi Arundhati tetap bingung, terutama pada jembatan yang sama tapi
jembatan yang berbeda
“Jembatan ini menghubungan kesadaran kita. Sama seperti jembatan yang kamu
lewati sebelum ini, Ayun. Dia menghubungkan dimensi utama dengan dimensi mimpi. Sebenarnya ketika Ayun berjalan di atas
jembatan itu, Ayun tengah membangun kesadaran untuk menyusun kesejajaran antar dimensi. Dalam
perjalanan Ayun, seharusnya banyak sekali gangguan yang mengalang-halangi jalan Ayun. Tapi Ayun justeru
berkelebat bahkan tanpa ada gangguan yang mampu tampil di hadapan Ayun!”
“Gangguan? Gangguan seperti apakah?”
ketika disebut dia tidak mempan godaan, Arundhati memotong penjelasan Ansuman
dan menanyakan godaan seperti apa sebenarnya yang dimaksud.
“Ayun, kamu perempuan bukan?” sebelum dijawab oleh Ansuman, Sitakara
menyela percakapan antara Arundhati dan Ansuman.
“Yo jelas perempuan to Yu Ara!” jawab Arundhati
“Ketika di ujung jembatan, kamu ada di mana?”
“Mall, Yu Ara!”
“Nah, itu....! Itulah salah satu gangguan. Bahkan gangguan final!”
“Halah…. Ngeledek….!” Arundhati tertawa mendengar jawaban Sitakara. Sitakara
pun tertawa. Kedua perempuan itu tertawa.
Alis Arundhati berkerut. Dia berpikir keras, apa sebenarnya yang
dimaksudkan oleh Sitakara. Ansuman memahami kebingungan Arundhati.
“Ayun, pada banyak orang-orang sebelum kamu, mereka tidak dapat begitu saja
melewati jembatan itu. Kamu adalah keluarbiasaan yang kami temui!”
“Ntar... tar tar....! Orang-orang sebelum aku? Jadi banyak yang telah
mengalami ini? Banyak yang jadi bego, nggak ngerti apa-apa di kehidupannya”
Arundhati memotong penjelasan Ansuman. Ansuman tersenyum dan lanjut
menjelaskan, “Tidak Ayun...! Banyak dari mereka yang terjebak di tengah godaan. Namun
ada juga yang berhasil mendapatkan kesadarannya. dan menjalani kehidupan
seperti orang pada umumnya. Kenapa mall itu adalah godaan final? Godaan-godaan
di tengah jembatan itu benar-benar bikin lelah, Ayun. Banyak orang kemudian
melampiaskan kelelahannya dengan masuk ke dalam Mall itu Ayun. Mereka tidak
sadar bahwa Mall itu pun godaan. Mereka tak peduli, bahkan ketika saya panggil. Mereka gagal mendapatkan
kesadarannya”
Arundhati terdiam agak lama menyelami cerita dari Ansuman. Tiba-tiba dia
terbayang orang-orang yang gagal menyebrangi jembatan.
“Kang Suman, bagaimana nasib orang-orang yang gagal menyebrangi jembatan?”
“Mereka gila”
“Jadi aku.... bakal....?!”
Ansuman memahami arah pertanyaan Arundhati.
“Tidak, Ayun. Mereka yang gila itu
datang ke sini dengan sengaja. Sementara kamu datang kemari bukan karena
kesengajaan. Saya tidak akan mengatakan kamu orang terpilih, ntar kepala kamu
meletus.” Air muka Ansuman nampak cemas karena terlanjur bicara apa adanya. Dia
berusaha mengkoreksi. Namun, ketika menyebut ‘kepalamu
meletus’ Ansuman berusaha tersenyum, dan Arundhati kembang-kempis hidungnya. Sitakara
tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan Ansuman.
“Kamu tidak akan gila, tapi sebelum urusan di sini selesai, kamu tidak akan mampu
mengakses seluruh memory milikmu!”
Sampai di sini Arundhati mulai mengerti semuanya. Ia mulai mengerti mengapa
dia tidak dapat berkomunikasi sama sekali setiap kali dia bangun dari tidurnya.
“Jadi, aku... termasuk yang gagal?”
Arundhati mulai menangis. Dan ini membuat Sitakara tertawa. Ansuman cuma
tersenyum.
“Ayun..., kamu tidak gagal. Kamu cuma belum selesai dengan apa yang telah
kamu mulai!” Sitakara mencoba menenangkan.
“Tapi bukan Ayun yang mau! Ayun mau pulang saja!”
“Tidak bisa Ayun. Ini tidak baik buatmu!” Sitakara mencoba membujuk
Arundhati agar mau meneruskan perjalanannya, “kamu harus menyelesaikan
perjalananmu!”
“Ayun tidak mau!”
Arundhati jongkok, meringkuk agak jauh dari tepi jurang. Arundhati menangis
semakin keras. Dalam kondisi normal, saat menangis keras dalam mimpi,
seharusnya Arundhati terbangun. Untuk kali ini sepertinya itu tidak terjadi.
Sekeras apapun dia menangis, tetap dia tidak terbangun. Ansuman mulai memahami
tangisan Arundhati.
“Ayun! Tangisanmu ini menunjukkan bahwa kamulah orangnya. Bila kamu ingin tahu apa yang sebenarnya
terjadi denganmu, maka berhentilah menangis”
Ansuman membujuk Arundhati untuk berhenti menangis dan memulai
perjalanannya menyeberangi jembatan. Sitakara mendekati Arundhati dan
berjongkok di depan Arundhati.
“Ayo, adik cantik. Jangan menangis karena keceriaan itu milikmu. Jangan
kau sia-siakan hanya karena ketidaktahuanmu. Ayo…! Berhentilah menangis!”
Arundhati mulai berhenti menangis. Kedua tangan Sitakara memegang
pundhak Arundhati dan membimbingnya untuk berdiri. Arundhati berdiri dengan
kedua telapak tangannya mengatup. Kepalanya menunduk dengan raut marah dan
sedih.
“Yu Ara, apakah memang Ayun harus melewati jembatan itu?”
Arundhati mengangkat mukanya sambil bertanya. Raut marah dan sedih telah
tergantikan oleh raut cemas dan takut. Sitakara menatap tajam ke arah Arundhati
sambil tangan kirinya memegang pipi kanan Arundhati dan mengusap aliran air
mata yang mengalir membentuk jalur di pipi Arundhati, “Kuatkan keinginanmu,
buang keraguanmu Ayun. Susurilah jembatan itu, kami akan menunggumu di ujung
sana! Ini jalan satu-satunya untuk mengembalikan memorymu. Meskipun ada
kemungkinan gagal, itu tidak seberapa daripada kamu harus kehilangan memorymu
di dimensi utama. Kemampuanmu memastikan keberhasilanmu, Ayun!”
“Yu Ara juga mau melewati jembatan ini?”
“Tidak Ayun. Kami tidak boleh melewati jembatan itu!”
Kembali muncul pertanyaan di benak Arundhati. Tapi sebelum pertanyaan
itu terucap, Sitakra malah berpamitan, “Sudah ya Ayun, saya bersama Suman akan
menunggumu di seberang sana!”
Tanpa menunggu lama, Sitakara langsung terbang diikuti oleh Ansuman.
Arundhati hanya bisa melongo. Terbang….?
“Ya…. Betul Ayun, kamu pun bisa seperti kami bila kamu berhasil melewati
jembatan itu” Ansuman berteriak dari ketinggian terbangnya. Arundhati
tersenyum. Hilang sudah rasa marah, sedih, takut, dan ragunya. Arundhati
kembali menjadi Arundhati yang seharusnya. Tiba-tiba Arundhati punya keinginan
untuk bisa terbang seperti Ansuman dan Sitakara.
Arundhati melangkah mendekati jembatan.
Dia pandangi sekeliling jembatan. Memang sama seperti jembatan yang
sebelumnya. Tidak ada yang berbeda dari tampilan fisik, bahkan lingkungannya.
Ada kabut, dan ada genangan air yang entah sungai atau danau. Arundhati tidak
mau memikirkan itu, dia hanya perlu melangkah menapaki jembatan itu. Dan, bila
pada penyeberangan sebelumnya dia tidak tahu kenapa dia harus menyeberang, saat
ini Arundhati tahu pasti alasan kenapa dia harus menyeberang. Dia harus tahu kenapa
dia harus mengalami semua keanehan ini.
Jembatan itu sepi sekali ketika Arundhati belum sepenuhnya masuk ke
badan jembatan. Namun, ketika dia sudah sepenuhnya berada di atas badan
jembatan, tiba-tiba pemandangannya berubah. Jembatan ini menjadi sebuah
jembatan modern dengan konstruksi besi dan dihiasi lampu warna-warni. Suasana
yang dia rasakan benar-benar menjadi suasana malam. Di kejauhan memang
kelihatan sebuah kota, namun tidak nampak kabut menutupinya. Lampu-lampu kota
terlihat menghiasi bayang-bayang gedung-gedung tinggi. Disamping orang yang
lalu lalang berjalan kaki di trotorar jembatan, mobil dan kendaraan lainnya
juga terlihat lalu-lalang di jalan jembatan.
Memang sangat berbeda dengan jembatan sebelumnya. Setelah memahami
situasi jembatan, Arundhati menjadi tidak takut lagi. Dia bahkan senang, karena
kostumnya pun ternyata telah berubah, tidak lagi menggunaan jubah
tambal-tambal, tapi sebuah jubah cantik dengan kain yang lembut dia pakai
sekarang. Semuanya berwarna putih gading. Termasuk kerudungnya.
Arundhati terus melangkah menyusuri jembatan panjang itu. Tidak ada
sesuatu apapun yang terjadi bila memang di jembatan itu banyak sekali ujian.
Pada seribu lengkah pertama, seorang lelaki muda gagah dengan sepeda
motor keren, lebih keren dari yang terkeren yang pernah dia lihat di jalan atau
iklan TV, tiba tiba berjalan pelan mengikuti Arundhati. Lelaki muda gagah bermotor keren ini dengan
ramah menyapa Arundhati, “Selamat malam nona manis!”
Arundhati berhenti, dan menatap lelaki muda gagah bermotor keren itu.
Sebuah tatapan tajam penuh kecurigaan, “hmmm siapa ini…. Tukang ojek kah? Kalau
Ojek kenapa gak make jaket ijo?”
“Maaf nona, perkenalkan nama saya Alen!”
Dalam hati Arundhati mulai menilai lelaki itu, “bener-bener ini orang.
Pede abis!”
“Kalo boleh tahu, siapa nama nona yang manis ini?”
Masih dalam hati, “Mak… kepedean abis ni orang ya….?!”
Akhirnya Arundhati bersuara untuk menolak tawaran lelaki muda itu, “maaf
ya, Mas…, saya mau jalan kaki aja….! Saya lagi gak mau cepet-cepet!”
Lelaki muda gagah bermotor keren bingung. Arundhati sudah tidak
mempedulikan lelaki itu.
Arundhati terus berjalan. Tanpa disadarinya, lelaki muda itu telah
menghilang. Pada langkah Arundhati yang keduaribu, tiba-tiba ada mobil sport
merah keren yang berjalan pelan di sampingnya. Pengemudinya adalah seorang
perempuan muda yang sangat cantik dibalut jubah hijau pare anom dengan kerudung
hijau daun muda. Dari mobil yang terbuka kap nya itu, si perempuan
pengemudinya, memanggil Arundhati
“Nona! Apakah nona yang bernama Arundhati?”
Arundhati kaget tak menyangka ada orang tak dikenal menyebut namanya.
Arundhati berdiri dan mendekati mobil sport itu. Perempuan yang ada di dalam mobil tersenyum,
“Silakan masuk!”
Perempuan itu mempersilakan masuk kepada Arundhati sambil menekan satu
tombol sehingga terdengar bunyi “klek”.
Perempuan itu membuka kunci pintunya.
Arundhati berhenti di samping pintu mobil, tapi dia hanya berdiri dengan
sikap ngapurancang,
“Siapa anda, kok tahu nama saya!?”
“Suatu hal yang tak perlu dipertanyakan, nona! Saya hanya tahu bahwa
nama anda Arundhati, tidak lebih. Dan saya bertugas untuk mengantar nona
Arundhati sampai ke ujung jembatan!”
Arundhati berfikir keras. Enak juga sebenarnya kalau naik kendaraan. Tapi
dia ingat ketika dengan cepat melintasi jembatan, banyak kejadian aneh yang dia
temui.
“Tidak!”
Meskipun berbagai pertimbangan menari-nari memenuhi benaknya, Arundhati
akhirnya memutuskan untuk menolak. Arundhati langsung berbalik meneruskan perjalanannya
tanpa mempedulikan response perempuan di dalam mobil yang berubah dari ramah menjadi
marah dengan gaya imut. Sebenarnya perempuan ini makin cantik ketika marah,
namun sayang tiba-tiba dia menghilang bersama mobilnya. Dan, Arundhati tidak
tahu dan tidak peduli hati itu.
Arundhati meneruskan perjalannya menyusuri jembatan. Beribu langkah dari
perempuan cantik bermobil tadi, Arundhati berjalan tanpa ada yang mengganggu. Arundhati asik menikmati pemandangan di
sepanjang jembatan itu. Sebenarnya banyak sekali gangguan yang dia temui, namun
semua bisa dia hindari. Arundhati memang pada dasarnya sering tidak peduli, sampai
akhirnya dia melihat seorang perempuan tua dengan baju compang-camping percis
kostum partai pengemis pada cerita wuxia. Perempuan tua itu terlihat
betul-betul susah. Bahkan untuk sekedar duduk diam menunggu orang memberikan
sedekah pun sepertinya susah. Mangkuk yang ada di depan perempuan tua itu lebih
menyedihkan lagi. Masih kosong.
Arundhati berdiri tertegun di depan perempuan itu. Dia ingin membantu,
tapi dia tidak membawa uang dari rumah tadi. Lama Arundhati tertegun tanpa
berbuat suatu apapun, tapi, wajah Arundhati tiba-tiba terlihat cerah. Dia ingat
satu lembar seratusan ribu yang dia ambil dari pelayan jujur tadi. Arundhati merogoh
salah satu kantung dari bajunya. Ternyata Arundhati cuma berganti kostum.
Barang bawaannya masih tetap ada dalam kostum barunya itu! Dengan wajah ceria, Arundhati memberikan uang
seratus ribu miliknya kepada perempuan tua itu, “Nek, ini ada sedikit uang.
Diterima ya Nek!”
Perempuan tua itu sangat gembira, dan rangkaian ucapan terimakasih serta
do’a meluncur deras dari mulut perempuan tua itu.
“Aduh… terimakasih nona…. Terimakasih! Sudah seharian sampai malam ini, saya
duduk di sini tanpa ada seorang pun yang memberikan belas kasihnya kepada
perempuan tua seperti saya ini!”
“Iya, gak apa Nek…! Ini adalah uang saudara saya yang dia berikan ke saya. Saya yakin nenek
lebih membutuhkan daripada saya maupun saudara saya itu, nek!”
“Iya, nona! Semoga nona selalu diberikan keselamatan, rizky yang baik
ya..!”
“Aamiin, terimakasih Nek! Do’ain saudara saya juga ya nek!”
“Iya, nona! Semoga saudara nona juga diberikan keselamatan dan rizky
yang baik!”
“Terimakasih nenek! Maaf, saya masih harus jalan ya!”
“Iya… Iya iya iya! Iya! Silakan, silakan silakan nona!”
Arundhati berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, dan masih dengan
perasaan senang perempuan tua itu mempersilakan Arundhati.
Arundhati melanjutkan perjalanannya dengan senyum menghiasi bibirnya.
Dia tersenyum karena telah membantu seorang perempuan tua. Dan, dia tersenyum
karena dia sangat menyukai pemandangan di jembatan. Dan sebenarnya, tak kalah
serunya adalah di kolong jembatan. Setidaknya sudah ada 2 kalo dari selintas
terlihat ada kapal yang melalui bawah jembatan.
Kembali, tanpa disadari oleh Arundhati, perempuan tua pengemis tadi
menghilang dari posisi duduknya tadi.
Semakin mendekati ujung jembatan, kegembiraan Arundhati semakin tidak
dapat disembunyikan. Wajahnya semakin cerah, dan senyumnya….., ehem…. semakin
manis dia!
Namun, seribu langkah sebelum ujung jembatan, Arundhati melihat ada
seorang anak perempuan seumurannya tengah dikelilingi beberapa pemuda kasar
yang berangasan. Dari ekspresi anak perempuan itu, sepertinya para pemuda berangasan
yang mengelilinginya punya maksud yang tidak baik. Ditambah lagi kata-kata
kasar dan tawa para pemuda itu. Arundhati marah. Darahnya mendidih. Dia paling
benci dengan kelakuan laki-laki yang mempermainkan perempuan. Apalagi
keroyokan. Gak tahu malu.
“Hey, kalian para pecundang tanpa urat malu! Kalau berani, sini hadapi
saya!”
Entah mendapatkan kekuatan darimana, tiba-tiba Arundhati berteriak
menantang para pemuda yang tengah mengganggu dan mempermainkan anak perempuan
itu tiba-tiba berhenti tertawa-tawa dan berkata-kata kotor. Mereka segara
berbalik ke arah sumber suara. Setelah saling berpandang-pandangan, serentak
mereka tertawa-tawa dan melanjutkan bericara kasar demi melihat orang yang
teriak menantang adalah seorang perempuan mungil yang bahkan lebih mungil
dibanding anak perempuan yang sedang mereka ganggu.
“Jah… kirain wonder women, cat women, atau Wanda…. Ternyata….! Ha ha ha…
cuma kutu kecil…..!”
Seseorang dari mereka yang mempunyai tampang cukup lumayan maju dan
berteriak meremehkan Arundhati. Arundhati, segera siaga pasang kuda-kuda!
Namun, para pemuda itu juteru mentertawakannya. Tanpa mempedulikan Arundhati,
mereka berbalik dan mengejar anak perempuan yang tadi mereka ganggu. Anak
perempuan itu ternyata sudah menjauh, namun belum sampai ke ujung jembatan.
Dalam kemarahannya, Arundhati ingat, ini adalah dunia yang berbeda
dengan dunianya. Bahkan tadi sebelum mampir makan dia mampu berlari sangat
cepat. Seharusnya ada kehebatan lain yang dia punya. Tanpa pikir panjang, Arundhati
langsung lari mengejar para pemuda itu. Semakin dekat dengan para pemuda itu,
Arundhati melompat dan dengan memanfaatkan pundak pemuda paling belakang
sebagai tumpuan kedua tangannya,
Arundhati bersalto di udara dan melampau gerombolan pemuda itu.
Arundhati kini telah berdiri membelakangi gerombolan pemuda itu.
“Saya Arundhati, penduduk aseli dunia ini. Saya memiliki kesadaran yang
lebih daripada kalian semua. Saya bisa melakukan apapun di luar apa yang
sanggup kalian bayangkan!”
Arundati bicara dengan tangan kanan mengepal dan dengan membelakangi
gerombolan pemuda itu. Dan sejatinya, dia sendiri tidak tahu, apa yang barusan
dia ucapkan. Tapi tak apalah, semoga bisa bikin ciut gerombolan pemuda
berangasan itu.
Para pemuda kasar itu tertegun. Hebat juga perempuan mungil yang mereka
remehkan tadi. Namun tiba-tiba, salah seorang pemuda yang bertubuh kurus maju
melancarkan serangan dengan gerakan capuiera. Dia melancarkan tendangan kaki
kiri dari sebelah kiri Arundhati. Dia berharap dapat melancarkan serangan
berikut dengan berputar mengayunkan kaki kanannya. Tanpa dinyana, Arundhati
menghindar dengan gerakan kayang sambil kedua tangannya menangkap kaki yang
bergerak di atasnya untuk kemudian memanfaatkannya melawan grafitasi dengan
menarik kaki lawan ke kiri dan mengangkat tubuhnya. Serangan kaki berikutnya
dari si pemain capuiera gagal dilancarkan bahkan tanpa di duga pula, justeru
Arundhati memberikan serangan balik dengan bertumpu pada berat badan
penyerangnya yang telah terjengkang untuk memutar tubuhnya sambil melepaskan
tendangan kepala semua pemuda berangasan yang mengelilinginya. Sepuluh pemuda
brangasan termasuk pemain capuiera tadi dapat dilumpuhkan dalam waktu sekejap.
Pemuda berangasan yang terakhir kali mendapatkan serangan dari Arundhati
tidak ikut pingsan karena memang dia hanya dimanfaatkan oleh Arundhati untuk
berputar dan bersalto kembali ke tempat semula.
“Bagaimana, masih mau mencoba?”
Arundhati menantang dengan posisi siap tempur.Pemuda berangasan yang
tersisa clingak-clinguk melihat teman-temannya pingsan semua. Melihat kuda-kuda
Arundhati, pemuda berangasan yang tersisa nampak ketakutan. Dia segera ambil
langkah seribu ke arah datangnya Arundhati.
Arundhati lemas, “heauh…..!”.
Arundhati bingung, kenapa dia tiba-tiba bisa menjadi begitu lincah dan
mematikan. Arundhati gemetar. Ada rasa takut yang tiba-tiba menjalari tubuhnya.
Padahal dia cuma membayangkan Xiao Wu, kelinci siluman yang menjadi pasangan
Tang San dalam kisah fiksi Douluo Dalu. Sejenak Arundhati terdiam sambil
memejamkan mata. Arundhati mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya secara
teratur. Lima kali dia melakukan itu. Kondisinya semakin stabil. Arundhati membuka matanya. Alangkah
terkejutnya, bahwa ternyata para pemuda berangasan yang barusan dia kalahkan
sudah tidak ada lagi di depannya. Begitu juga ketika dia membalikkan badannya. Anak perempuan yang menjadi korbang gangguan
para pemuda berangasan itu pun sudah tidak ada di tempat.
Arundhati tersenyum, “hhh…. Sebuah ujian……!” Dia baru menyadari bahwa apa yang
dia alami barusan hanyalah sebuah ujian melewati jembatan ini.
Perjalanan Arundhati menyusuri jembatan tadi akhirnya sampai ke ujung
jembatan. Sitakaran dan Ansuman telah menunggu Arundhati. Arundhati tak sabar
untuk menemui mereka dan segera berlari sambil membuka tangangnya. Jantung Ansuman
berdegub kencang, antara rasa takut dan berharap melihat gadis cantik berlari
ke arahnya sambil membuka kedua tangannya. Takut bahwa gadis itu berlari ke arahnya,
dan berharap gadis itu memilihnya untuk dipeluk. Dan, akhirnya ketakutannya tidak
menjadi kenyataan. Begitu pula harapannya, tak terkabulkan. Arundhati menubruk
Sitakara dan memeluknya dengan erat,
“Yu Ara….! Lihat aku nggak jadi gila! Aku berhasil lewat!”
Sitakara tersenyum membiarkan dirinya dipeluk Arundhati. Ansuman cuma
senyum-senyum kecut. Melihat reaksi Ansuman, Sitakara tersenyum semakin lebar.
Setelah puas memeluk Sitakara, Arundhati secara perlahan melepaskan
pelukannya, sambil memutar ke arah Ansuman dengan tangan terbuka. Ansuman
tersenyum lebar sambil membuka tangannya hendak menyambut pelukan Arundhati. Tapi,
Arundhati malah berputar lagi, tangannya dia turunkan sambil berkata, “Lihat
nih, Yu Ara! Gak ada yang berkurang dari saya kan? Saya gak jadi gila, kan?”
Ansuman jadi salah tingkah. Sitakara tertawa terpingkal-pingkal. Namun,
Arundhati sama sekali tidak menyadari hal itu. Ingat, Arundhati adalah anak
manja.
Setelah puas tertawa, Sitakara menjawab pertanyaan Arundhati, “Iya,
Ayun….! Seperti yang aku bilang tadi, kamu pasti berhasil. Dan sekarang,
lihatlah bahkan kamu berhasil melalui seluruh ujian dalam 1 langkah!”
“Memang ujiannya apa saja sih Yu Ara?”
Belum sampai Sitakara menjawab, Ansuman sudah menyela, “Sudah sudah…
mari kita ke kota dulu.. Cari penginapan!”
“E, ada Kang Suman….! Boleh boleh, Kang! Ayo!”
Ansuman tersenyum. Dan senyumannya itu masih terlihat kecut. Masih belum
bisa menerima bahwa harapannya tak terkabulnya rupanya. Dia melirik ke
Sitakara. Sitakara terkikik menahan tawa, “Fpff…. Ayun, kita bahas di jalan ya
sambil cari penginapan!”
“Baik, baik Yu Ara, Ayo!’
Arundhati segera meraih tangan kanan Sitakara dengan tangan kirinya
sementara tangan kananya mengayun agak tinggi. Ansuman yang salah mengira mau
digandeng sama Arundhati segera mengangkat tangan kirinya. Tapi karena memang
tidak ada niat menggandeng Ansuman, tangan kanan Arundhati justeru mengayun
bebas. Ansuman melotot, Sitakara yang memperhatikan Ansuman menahan senyum dan
ketawanya. Arundhati yang tidak menyadari situasi yang terjadi tetap nerocos.
“jadi gimana, Yu Ara? Tadi ujiannya ada berapa?”
“Oh… itu.. tadi ujian pertama adalah ketika kamu ragu untuk menentukan
mau melewati jembatan atau tidak. Di situ kami masih bisa membantu, karena
masih ada di luar jembatan. Sementara di dalam jembatan, kami tidak tahu ada
berapa dan ujiannya apa saja”
Arundhati mendengarkan dengan seksama. Dia tidak menyangka bahwa kedua
orang ini pun tidak tahu apa ujiannya.
“Tapi Yu Ara, yang terakhir tadi aku bertarung. Betul-betul bertarung.
Melawan sepuluh pemuda berangasan gegara mereka mengganggu seorang anak
perempuan. Aku heran, padahal aku tidak pernah bertarung, kenapa tiba-tiba aku
jadi begitu lincah dan penuh tenaga ketika mengalahkan mereka! Apakah ini
ujian?”
Sitakara mengangguk, “Iya, tapi itu adalah ujian paling ringan setahu
saya!”
Arundhati bingung, “Paling ringan?” Dia tidak menyangka bahwa sesuatu yang dia
anggap paling berat karena telah menghabiskan emosi dan tenaganya justeru
dianggap ujian paling ringan.
“Betul!”
“Kalau itu paling ringan, kenapa ditaruh di paling akhir ya?”
“Ayun masih ingat kedondong?”
“Masih… masih, Yu Ara!”
“Kamu makan kedondong, dan ketika ketemu bijinya kamu mendapati bentuk
yang tidak teratur. Kamu sangat mudah mengenali bentuknya. Kamu pasti akan
membuangnya. Namun ketika kamu memakan dagingnya, kadang kamu menemui seratnya.
Itu hanya bisa dirasakan untuk kemudian kamu singkirkan atau kamu telan!
Intinya, kadang kamu merasa perlu untuk membuangnya sehingga kamu berhadi-hati
saat mengunyahnya”
“hmmm….!” Arundhati mengangguk-angguk. Mungkin dia memang telah
mengerti. Tapi ya, mungkin tidak. Arundhati memang tidak peduli dengan
simbol-simbol. Yang penting ketika dia suka dan itu baik maka dia lakukan.
Meskipun kadang bila dia gak suka namun itu harus, maka dia akan menerimanya.
Percakapan berhenti sebentar. Sitakara seperti memberikan waktu pada
Arundhati untuk mencerna ucapannya.
“Dan kadang kamu tidak peduli dan hanya menganggap itu sebagai sebuah
keniscayaan!”
Seperti menebak pikiran Arundhati, Sitakara memberikan penekanan yang kebetulan
memang sangat pas dengan gaya Arundhati. Atau… hmmm mungkin Sitakara memang
satu tipe sama dengan Arundhati.
“Oh… begitu ya Yu Ara!?”
Sitakara menoleh ke arah Arundhati sambil mengangguk mengiyakan.
Kemudian mereka saling bercerita dengan semakin akrab. Ansuman berjalan di
samping mereka berdua dengan menggendong tangan. Kadang tatapannya mengarah ke
atas. Kadang ke samping kiri, kanan atas, kiri atas. Kadang mulutnya terlihat
ingin mengucap sesuatu, tapi gagal.
“Obat nyamuk… obat nyamuk….!”
Tiba-tiba Ansuman berteriak-teriak seperti sedang menawarkan obat nyamuk.
Arundati melirik ke Sitakara sambil mengedipkan sebelah matanya. Sitakara
membalas dengan kedipan sebelah matanya juga. Kemudian mereka berdua tertawa. Ansuman
cuma bisa bersungut-sungut ditertawakan oleh dua perempuan itu.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menyusuri jalan dari jembatan ke
tengah kota. Kali ini semuanya nampak normal tidak seperti saat pertama kali
Arundhati terdampar ke dimensi mimpi ini.
Karena hari sudah mendekati tengah malam, suasana kota sudah nampak
sepi. Jalanan mulai nampak lengang. Toko-toko juga sudah tutup tutup. Hanya
terlihat beberapa kedai kopi dan mie rebus. Terdengar sayup-sayup orang-orang
yang bercanda di dalam warung. Selain itu juga terdengar alunan musik
menyeruak. Tidak terlalu keras, namun cukup untuk terdengar sampai jarak seratus
meteran, tempat di mana Arundati, Sitakara, dan Ansuman berdiri mengamati
sebuah papan nama di seberang jalan.
“Penginapan Merpati…” Sitakara membaca tulisan di papan nama itu yang
diikuti oleh Arundhati, “Penginapan Merpati…”
Ansuman sewot, “iya …, itu penginapan… namanya penginapan Merpati.
Sudah, ayo kita kesana!”
Ansuman segera menyeberang jalan menuju ke penginapan. Sitakara dan
Arundhati yang masih bergandengan tangan, sambil tersenyum melihat tingkah Ansuman
yang sedari tepi jembatan sewot terus, berjalan mengikuti Ansuman. Singkat
kata, mereka telah menyewa 2 kamar yang bedekatan. Arundhati dan Sitakara satu
kamar berdua, sementara Ansuman sendirian.
Memasuki kamar, Arundhati langsung lompat ke tempat tidur.
“Alhamdulillah, akhirnya ada tempat buat tidur. Capek!”
“Kamu nggak mandi?” tanya Sitakara, namun tidak ada jawaban dari
Arundhati. Dia telah pulas tertidur. Sitakara geleng-geleng. Setelah mengunci
pintu kamar, Sitakara langsung menuju ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Sitakara mengambil mukena dan sajadah nya.
Shalat, dia belum shalat Isya. Arundhati masih terlelap dalam tidurnya.
0 komentar:
Posting Komentar