Sore, pukul 15 di depan kamar Melati 1 rumah sakit di kota, nampak bergerombol beberapa anak remaja berseragam abu-abu putih. Sebagian nampak murung, dan sebagian yang lain malah terlihat bercanda dengan kawannya. Di dalam kamar, nampak Ibu dan Bapak nampak murung duduk di sofa kamar, ditemani dua remaja perempuan berbaju putih abu-abu, teman sekolah Arundhati, yang nampak tak kalah murung. Di tengah ruangan nampak seorang dokter dengan beberapa perawat tengah memeriksa Arundhati yang tergeletak seperti tidur. Dua selang infus masuk melalui tangan kanan dan kirinya. Satu selang infus mensuplai cairan fisiologis sedang satu selang lainnya mensuplai cairan gizi yang konon dapat menggantikan makanan.
Setelah selesai memeriksa Arundhati, Bapak segera menghampiri dokter.
Dia ingin segera tahu, hasil pemeriksaan dokter.
“Bagaimana, Dok?”
“Saya kurang yakin. Dari hasil pemeriksaan lab hari ini tidak ada
satupun parameter yang menunjukkan adanya penyakit. Dan barusan, tekanan darah,
suhu, serta saturasi oksigen juga normal. Hanya saja, dari pemeriksaan EEG (Electroensefalogram,
pemeriksaan gelombang otak) kemarin memang tercatat ada aktifitas kelistrikan
otak yang sangat tidak biasa, namun kami belum bisa menyimpulkan penyebab
hilangnya memory Anak Arundhati. Kami akan terus berusaha untuk mendapatkan
jawaban atas kasus ini. Saya tidak berani berspekulasi terhadap kemungkinan
adanya gangguan pada sistem limbik, namun bila dalam 3 hari ini tidak ada
kemajuan ada baiknya kita rujuk ke rumah sakit otak”
Dokter Pramono, seperti yang tertulis pada name tag, menerangkan dengan
sangat detil. Bapak dan Ibu Arundhati yang kesehariannya mereka habiskan di
sawah dan kebun cuma bisa mengiyakan. Hanya satu pertanyaan kedua orang tua
itu; apapun penyakit anaknya, adalah apakah anaknya masih bisa sembuh. Pertanyaan
ini dilontarkan oleh Ibu ke Dokter Pramono.
“Apakah anak saya bisa sembuh, Dok?”
“Dengan informasi yang kita punyai sekarang, saya belum bisa memberikan
jawaban apapun. Kami tidak berani memberikan harapan lebih kepada bapak dan
Ibu, namun kami juga tidak ingin Bapak dan Ibu terus cemas. Mari kita berdo’a
bersama-sama memohon kepada Allah SWT agar kita segera dapat memahami apa
sebenarnya yang tengah diderita oleh Anak Arundhati sehingga kita dapat
memberikan perlakuan yang tepat untuk kesembuhannya!”. Arundhati masih masuk
kelompok anak-anak. Karena masih 16 tahun lebih saja.
“Baik Dok, terimakasih!”
Karena sudah tidak mungkin lagi mendapatkan jawaban yang lebih, Bapak
pun mengucapkan terimakasih sebagai pertanda tidak ada lagi pertanyaan yang
akan dia ajukan. Dokter Pramono segera pamit kepada Ibu dan Bapak.
“Baik Pak, Bu, kalau tidak ada pertanyaan lagi saya akan melanjutkan
visite ke ruangan lain. Mari Sus…!”
Dokter Pramono beranjak keluar mengajak dua perawat yang menemaninya.
Sambil berjalan keluar, salah seorang perawat menyebutkan ruangan berikutnya
yang harus dikunjungi dokter Pramono.
“Selanjutnya paviliun Garuda 4, Dok!”
Ruangan Melati 1 kembali hening. Ibu dan Bapak kembali kepada kemurungan
dan kecemasannya. Mereka berdua kembali duduk di sofa. Kedua teman Arundhati,
Sophia dan Marwah, berdiri di sisi berseberangan tempat tidur Arundhati. Dengan
wajah murung mereka mengamati temannya yang nampat tertidur. Wajah yang
senatiasa nampak berbinar karena keceriaannya, saat ini terlihat pucat.
Kedua remaja teman Arundhati tenggelam dalam pikirannya masing-masing,
dengan tatapan mereka sama-sama tertuju kepada wajah Arundhati. Namun,
tiba-tiba Sophia nampak mengucek-ucek matanya.
“Marwah…..!” dengan berbisik, Sophia memanggil Marwah. Marwah pun
ternyata tengah mengucek-ucek matanya, dan setenga berbisik pula dia penggil
temannya, “Sophia…..!”
Setelah saling pandang, keduanya membungkukan badannya ke arah muka Arundhati.
Mereka berdua berusaha memastikan pandangannya dengan melihat muka Arundhati
semakin dekat. Dalam pandangan mereka berdua, Arundhati yang sebelumnya pucat
berangsur mulai normal. Ketika muka mereka berdua semakin dekat dengan muka
Arundhati, dalam pandangan mereka terlihat kelopak mata Arundhati mulai
bergerak-gerak. Dan, ketika wajah mereka hanya terpaut satu telapak tangan,
mata Arundhati terbuka sempurna. Arundhati bingung, kenapa ketika bangun ada
wajah temannya. Sangat dekat dengan mukanya. Nyengir lagi….
“Sophia…. Marwah…..! Apaan sih ini…?”
Sophia dan Marwah, bukannya minggir malah semakin mendekat dan memeluk
Arundhati sambil menangis dan meneriakkan namanya.
“Ayun……!”
Ibu dan Bapak kaget mendengar teriakan Sophia dan Marwah yang
dilanjutkan dengan tangisan mereka berdua. Jantung Ibu maupun Bapak sama-sama
berdegub sangat kencang. Melihat tangisan
kedua teman anaknya, yang terlintas di benak kedua orang tua itu adalah
bahwa Arundhati sudah selesai. Sambil mendekati tempat tidur anaknya, mereka
mendengar suara yang sangat mereka kenal
“Ishh… Sophia! Marwah! Apa-apaan sih kalian berdua ini. Meluk-meluk
saya, nangis pula…?”
Ibu dan Bapak berhenti sebentar saling berpandangan dan mengucapkan satu
nama yang sama. Nama anaknya. “Ayun..?”
Ibu dan Bapak segera mendekati tempat tidur Arundhati dan memegang bahu
kedua kawan anaknya. Bapak memegang bahu Sophia sementara Ibu memegang bahu Marwah.
Kedua teman Arundhati segera melepaskan pelukannya sambil masih tetap menangis.
Keduanya mempersilahkan kedua orang tua Arundhati untuk semakin dekat dengan
Arundhati.
Sambil membungkuk mendekat ke wajah anaknya di tempat tidur, Bapak
menyebut naman anaknya, “Ayun….!”
Dan, demi mendengar namanya disebut bapaknya, Arundhat menyahut dengan
memanggilnya , “Bapak…..!”
Mendengar anaknya telah mampu mengenali bapaknya, Ibu pun ikut
membungkuk semakin dekat ke wajah anaknya dan memanggil nama anak kesayangannya
itu, “Ayun…!” yang disambut oleh Arundhati sambil menoleh ke arah Ibunya, “Ibu…!”
Kedua orangtua itu senang luar biasa. Betapa tidak, meskipun anak semata
wayang mereka tidak kemana-mana, namun sudah tiga minggu komunikasi mereka
terhambat. Bahkan tujuh hari terakhir, mereka tidak dapat berinteraksi sama
sekali.
Dekapan kedua orangtua yang sedang berbahagia itu seharusnya memang
membahagiakan juga bagi Arundhati. Namun, karena kelamaan dan posisi dia yang justeru
menjadi tertindih membuat Arundhati mulai merasa tidak nyaman, “Ih…. Bapak,
Ibu…. Kalian kenapa sih pada ikut-ikutan si Sophia sama Marwah?”
Ibu dan Bapak segera melepaskan pelukan mereka. Dengan senyum yang tetap
mengembang, mereka berdua mengelus-elus kepala anaknya.
Arundhati mengangkat kedua tangannya. Dia bingung kenapa ada dua selang
infus di kedua tangannya.
“Bapak, Ibu…. Ini….?”
“Iya, ndhuk….. Itu selang infus. Sudah satu minggu ini kamu tidur. Dua selang infus ini, buat membantu tubuh
kamu!”
Kepala Arundhati menoleh ke kiri dan ke kanan memandangi kedua tangannya.
Jarum infus yang menusuk punggung tangannya benar-benar membuat dia tidak
nyaman. Belum lagi untaian selang yang menjulur dari botol infus ke kedua
tangannya. Dia tidak suka ada selang infus menempel ke tangannya.
Ketika Arundhati tengah sibuk dengan kedua tangannya, tiba-tiba ruangan
menjadi gelap. 15 teman Arundhati yang ada di luar kamar tiba-tiba masuk
semuanya
“Ayun…! Ayun…! Kamu hidup kembali?”
“Wah… Ayun… kamu sudah bangun…?!”
“Ayun…. Syukurlah….!”
Semua merubung tempat tidur Arundhati. Semua ingin tahu keadaan
Arundhati. Semua Semua ingin bertanya
dengan banyak pertanyaan. Tapi Arundhati justeru sibuk dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba terlintas keinginan yang sangat kuat dari dalam diri Arundhati untuk
melepas kedua selang infus itu. Bersamaan dengan itu, dari arah pintu terdengar
suara laki-laki
“Ada apa ini ribut-ribut!?”
Semua menoleh ke arah suara itu.
“Eh… ini, Mas Tono. Anak-anak… mereka sepertinya sangat senang Arundhati
sudah bangun!”
Mas Tono adalah perawat di kamar melati. Karena sudah lebih tiga hari di
rumah sakit, baik Ibu dan Bapak sudah cukup akrab dengannya.
“Eh, Ibu, Bapak…!”
“Anak-anak… ayo keluar dulu…. Ini rumah sakit bukan rumah Ayun!” dengan
lembut Ibu mengingatkan teman-teman Arundhati dan meminta mereka untuk keluar
dulu.
“Inggih bu!”
Semua anak-anak sudah keluar kecuali Sphia dan Marwah. Aisyah yang terakhir
mau keluar menyadari hal ini. Dia berhenti.
“Sophia sama Marwah lagi!”
Sophia dan Marwah nyengir. Mereka paham apa yang dimaksud Aisyah.
Akhirnya mereka terpaksa harus ke luar.
“Ya sudah saya keluar!”
Di luar ruangan, teman-teman Arundhati duduk berjajar di bangku panjang
di koridor. Yang tidak kebagian duduk, berdiri di masing-masing sisi. Semua
saling bercerita tentang object yang sama. Tentang Arundhati.
Anak laki-laki yang berdiri paling ujung karena tidak kebagian duduk, melangkah
ke depan teman-temannya sambil tangan kanan memegang dagu sementara tangan kiri
terlipat memegang siku tangan kanannya. Dengan gaya yang serius dia memecahkan pembicaraan,
“Kita harus tunggu di sini sampai kita dapat informasi tentang Ayun. Ini
ke tiga kali kita rame-rame ke sini, dan siang ini dia tersadar dan bangun dari
tidur atau pingsannya”
“Yap setuju, aku juga penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada ayangku
ini!” sahut seorang anak laki-laki yang duduk di tengah dengan nada yang tidak kalah
serius. Sontak teman-temannya menyambut dengan tawa yang agak tertahan. Anak
laki-laki yang berdiri di depan cekikan menahan tawa dan kembali ke posisinya
semula. Sepertinya mereka sadar, bahwa saat ini mereka sedang ada di rumah
sakit.
Sementara itu, di dalam kamar, Mas Tono tampak sedang memeriksa kondisi
Arundhati yang sudah duduk di tempat tidurnya. Mas Tono bingung, melihat
Arundhati yang nampak sangat segar, tidak kelihatan sedikitpun tanda-tanda
sakit. Mas Tono kaget ketika memeriksa tangan kiri Arundhati. Selang infus sudah tidak lagi menempel di
tangan Arundhati. Tidak hanya itu, bekas infusan pun tidak nampak di tangan
Arundhati. Tangan Arundhati nampak bersih, bahkan di area bekas jarum infus pun
tidak nampak ada bekas tusukan sama sekali. Pun bekas plester yang dipakai
untuk menjaga agar jarum infus tetap stabil. Tangan kiri Arundhati nampak
biasa-biasa saja, tidak meninggalkan trauma akibat tusukan jarum infus selama tiga
hari terakhir.
Tidak yakin dengan kondisi tangan kiri Arundhati, Mas Tono berpindah ke
tangan kanan Arundhati. Namun hal yang sama dia dapati juga di tangan kanan
Arundhati. Bersih, tanpa ada bekas apapun.
Mas Tono bingung. Dia berhenti sebentar, kemudian bertanya kepada
Arundhati, “ini…, siapa yang melepas?”
Ibu dan Bapak kaget mendengar pertanyaan Mas Tono
“Apanya yang lepas?”
“Pak Bapak, ini…. apakah ada yang melepaskan kedua selang infus dari tangan
Dhik Arundhati ini?”
“Enggak… Gak ada yang ngelepasin, Mas Tono! Memang ada apa?”
“Ini… ini… ah…! Ini selang infusnya sudah lepas. Rapi pula lepasnya.
Bahkan tangan Dhik Arundhati ini tidak ada bekas infusannya sedikitpun!”
“Ah masa….!”
Ibu dibuat penasaran oleh penyataan Mas Tono tadi. Ibu mendekat dan
mulai memeriksa tangan kanan dan tangan kiri Arundhati. Setelah memeriksa kedua
tangan Arundhati dan mendapati hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh Mas
Tono, pandangan Ibu Beralih ke gantungan infus yang ternyata sudah bersih juga
dari botol infus.
“Lho infusannya mana?”
Mas Tono berhenti memegang-megang tangan Arundhati. Dia baru ingat
tentang botol infusnya. Saat dia mendongakkan kepalanya, dia melihat dua botol
Infus dan gulungan selangnya tergeletak rapi di atas kabinet kecil di samping
tempat tidur Arundhati. “Ah… apalagi ini….?”
Mas Tono berjalan memutar menuju ke kabinet kecil yang ada di samping
kiri tempat tidur Arundhati. Dia angkat kedua botol infus itu. Botol infus yang
isinya tinggal setengah dan seperempat itu memang betul botol infus yang
sebelumnya digunakan oleh Arundhati.
Mas Tono membawa kedua botol infus tersebut ke Ibu dan Bapak.
“Pak, Bu, terakhir tadi siapa yang nemenin Dhik Arundhati?”
Arundhati hanya tersenyum-senyum sendiri melihat kebingungan Mas Tono.
“Gak usah panggil Sophia sama Marwah. Itu saya sendiri yang melepas!”
Arundhati mencegah Mas Tono dan kedua orang tuanya memanggil Sophia dan
Marwah yang memang tidak melakukan apapun untuk urusan lepasnya selang infus.
“Ah, gak mungkin! Mana bisa?”
Mas Tono berusaha membantah pengakuan Arundhati. Dalam pikirannya, mana
bisa orang yang baru sadar dari koma selama dua minggu melakukan aktifitas
layaknya orang sehat.
“Lha, kalau gak mungkin masa saya harus bilang kalau selang itu lepas
sendiri. Terus kemudian botol nya terbang ke atas lemari kecil itu?”
Ketiga orang di hadapan Arundhati cuma bisa melongo. Arundhati tersenyum
kecil.
“Ibu.., Bapak… Ayun mau pulang!”
Ibu dan Bapak Bingung. Mas Tono langsung bereaksi
“Nggak! Nggak boleh!”
Arundhati, Ibu, dan Bapak memandang ke arah Mas Tono. Mas Tono jadi
salah tingkah….
“Ah… bukan…bukan, ini gak seperti yang kalian kira!”
“Lha memang yang kami kira apaan?”
Sambil tertawa renyah Arundhati malah bertanya maksud dari perkataan Mas
Tono.
“Aduuh….” Kembali lagi Mas Tono salah tingkah. Kali ini karena tawa
renyah Arundhati. Kesehatan Arundhati yang sudah sepenuhnya pulih telah membawa
kembali aura kecantikannya. Tawa renyahnya tadi membuat jantung Mas Tono betul-betul
berguncang.
“Ini… ini…. Aduh… Maksud saya… maksud saya….”
Mas Tono terlihat bingung.
“Baiklah saya lapor dulu ke dokter Pram. Mungkin beliau belum keluar
dari rumah sakit ini. biar beliau saja yang memutuskan. Saya permisi dulu!”
Akhrnya Mas Tono memutuskan untuk melaporkan situanya kepada dokter
Pramono.
“Nah, betul itu! Biar dokter saya yang memutuskan!” ceteltuk Arundhati
sambil mengangkat tangan kanannya mengacungkan jempol dan tersenyum. Sangat
manis.
Setelah Mas Tono keluar dari ruangan, Arundhati memanggil kedua orang tuanya
dan menanyakan penyebab dirinya bisa sampai dirawat di Rumah Sakit.
"Bapak, Ibu... Kenapa Ayun bisa sampai ke rumah sakit?"
Kedua orang tua Arundhati saling berpandangan. Kemudian, keduannya
berjalan mendekati Arundhati.
“Ayun apa kamu gak ingat sesuatu apapun?” dengan lembut Ibu bertanya
kepada anak semata wayangnya itu.
“Ayun gak tahu Ibu. Ayun hanya ingat, waktu itu hari sabtu, saya bersama
teman-teman sekelompok tugas pulang naik angkutan, mobilnya kang Dowi…”
Raut muka Bapak tiba-tiba berubah mendengar nama Dowi disebut. Dia
memang gak suka sama Baedowi, anak tetangganya yang sudah menikahi Siti kemenakan
Bapak. Sekilas memang orang ini tidak bermasalah, namun Bapak menilai Dowi
sering kecentilan kalau ketemu anaknya.
“Setelah turun di ledheng, Ayun jalan. Nah pas lewat baladesa Ayun lihat
ada kerumunan….” Kemudian Arundhati menceritakan semua yang dialaminya kepada
orang tuanya. Arundhati tidak menceritakan pertemuannya dengan Ansuman dan
Sitakara, karena saat ini Arundhati memang tidak memiliki ingatan tentang
pertemuannya dengan kedua orang tersebut.
Kedua orang tua Arundhati mendengarkan dengan hati-hati semua yang
dialami oleh Arundhati. Kedua orang tuanya tidak mendengar Arundhati bercerita
tentang beberapa hari setelah dia pulang sebelum dibawa ke rumah sakit.
“Ayun…!”
“Iya Bu..”
Dengan lembut Ibu memanggil anaknya. ingin memastikan ingatan Arundhati
tentang beberapa hari sebelum dia dibawa ke rumah sakit.
“Ndhuk, apa kamu bener-bener nggak ingat apa yang terjadi sebelum kamu
dibawa ke-mari?”
Mendengar pertanyaan ibunya, Arundhati sejenak terdiam. Dia berusaha
mengingat-ingat apapu yang bisa dia ingat pada waktu itu. Namun sayang, tidak
ada satupun yang dapat dia ingat. Kemudian dia menggelengkan kepalanya
“Owalah nDhuk, Cah Ayu, kamu sama sekali gak ingat ketika kamu cuma bisa
bilang ibu…. Bapak… cah ayu….?”
Kembali Arundhati menerawang. Berusaha mengingat apapun yang diceritakan
ibunya. Namun sekali lagi dia gagal mengingat. Tiba-tiba air mata Arundhati
menetes dari sudut matanya.
“Ibu…., apakah Ayun jadi nakal waktu itu…?”
“Oh… tidak…. Tidak cah Ayu! Kamu anak ibu sama bapak. Kamu gak akan
pernah menjadi nakal. Tidak pernah Cah Ayu!”
Ibu merengkuh pundak Arundhati. Ia memeluknya erat-erat. Sangat erat
seperti takut melepaskan lagi.
“Maafkan Ayun ya Bu, Pak!”
Sambil tersenyum, Bapak menjawab permintaan Arundhati
“Tidak Cah Ayu, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak salah. Tidak
ada yang salah. Kita sama-sama gak tahu kenapa bisa begini”
Mereka bertiga terdiam dengan perasaan teraduk-aduk. Perasaan gembira,
haru, dan cemas bercampur menjadi satu. Cemas, karena sampai saat ini tidak ada
satupun yang tahu penyebab situasi ini.
“Pak, Bu, bolehkan temen-temen Ayun masuk ke mari. Sepertinya mereka
masih menunggu di luar!”
Setelah beberapa saat tenggelam dalam keheningan, Arundhati memohon
kepada orang tuanya agar teman-temannya dibolehkan masuk.
“Baiklah, biar Ibu saja yang memanggil mereka!”
Ibu melepaskan pelukannya, berjalan ke arah pintu, keluar menemui
teman-teman Arundhati. Tidak berapa lama kemudian teman-teman Arundhati rame
masuk ke dalam ruangan. Aisyah yang pertama kali lari memeluk Arundhati. Tidak
mau kalah sama Sophia dan Marwah.
“Ayun…..!”
Aisyah berlari sambil mengulurkan kedua tangannya ingin memeluk
Arundhati. Arundhati pun dengan senyum mengembang menyambut uluran tangan
Aisyah. Mereka berpelukan.
Di belakang Aisyah, Sophia dan Marwah berlari. Tidak peduli dengan
situasi sekeliling, mereka berdua langsung memeluk Arundhati yang masih
berpelukan dengan Aisyah.
Sebenarnya anak-anak laki-laki teman Arundhati juga mau ikut berpelukan.
Namun, kemauan mereka dihalangi oleh Dini. Pemilik nama lengkap Sweta Nandini
ini badanya tinggi langsing dengan kulit putih dan hidung mancung yang
tertancap menghiasai wajah imut dengan kombinasi mata bulat dan bibir yang
mungil. Dengan definisi kecantikan yang hanya dimiliki model sebenarnya tidak
membuat takut para lelaki ini. Namun ada definisi lain untuk menggambarkan anak
perempuan yang bernama Sweta Nandini yang bikin anak-anak laki-laki pada takut;
si Dini anak Juragan Badrun. Juragan Badrun adalah seorang preman insyaf yang
menjadi tokoh di kampung mereka. Sebelum
insyaf juragan badrun dalah reman pasar paling terkenal di kampung mereka. Para
anak laki-laki memilih mundur daripada harus berususan sama Juragan Badrun.
Dini cuma tersenyum dan langsung membalikkan badannya, bergabung dengan
teman-teman perempuan lainnya. Mereka kemudian terlibat dalam pembicaraan yang,
mmm…. Serius mungkin. Tapi sepertinya… ah.. anggap saja serius, meskipun sesekali
terlihat mereka tertawa.
Anak-anak laki-laki cuma bisa melihat dari posisi yang agak jauh. Sesekali
ada yang mencoba nimbrung, namun responnya justeru sangat ….
“Ayun….Ak…!”
Ana laki-laki yang berbadan tinggi, mencoba ikut nimbrung. Tapi belum selesai
bicara, Sophia memalingkan mukanya ke arah mereka dengan tatapan tajam siap
menerkam.
“..ku.. Ah… aisyh… heuh… sudah lah!” si anak laki-laki itu tak bisa
melanjutkan ucapannya.
Ibu dan Bapak cuma bisa tertawa melihat kelakuan anak-anak itu. Setelah
beberapa lama Arundhati dikuasai oleh anak-anak perempuan, anak-anak laki-laki
akhirnya mendapatkan kesempatannya berkomunikasi dengan Arundhati. Tidak sampai maghrib, mereka semua pamit
pulang ke rumah.
“Pak, Bu, mumpung masih terang, kami mohon pamit kembali ke rumah!” mewakili
teman-temannya Sophia pamit undur diri.
“E iya, iya…mumpung masih terang.
Perjalanan cukup jauh, jangan sampai malaman sampai rumah. Kalian naik
angkutan umum atau bawa kendaraan masing-masing?” Ibu menyambut pamitnya
anak-anak itu sambil mengingatkan perjalanan anak—anak itu.
“Enggak Bu, kan ada Sophia anaknya Pak Kyai. Kita make Hi-Ace Sophia.
Ada sopirnya!”
“Oh… aman kalau begitu. Hati-hati di jalan ya…!”
“Baik bu, assalamu’alaikum!”
Semua teman-teman Arundhati sudah keluar dari ruangan, namun suasana
keceriaan mereka masih terasa di dalam kamar perawatan Arundhati. Arundhati
terlihat masih menyisakan senyumnya, dan samar-samar suara teman-temannya pun
masih terdengar di kejauhan. Memang berisik mereka.
“Ayun mau mandi dulu, ah!”
Ibu dan Bapak kaget, karena tiba-tiba Arundhati sudah berdiri di samping
kanan tempat tidurnya.
“Kapan kamu turun dari tempat tidur, Ayun?”
Penasaran, Ibu bertanya pada putrinya. Arundati. Tapi, Arundhati
tersenyum sambil membenahi posisi sandalnya.
“Ibu sih…, dari tadi cuma merhatiin teman-teman Ayun. Ayun nya malah gak
diliat!”
Ibu tersenyum berjalan ke sofa dan duduk, “Iya… Ibu seneng liat
teman-teman Ayun. Lucu-lucu mereka. Apalagi siapa itu yang anaknya juragan
Badrun?”
Sambil berjalan memutar ke kabinet kecil di samping kiri tempat tidurnya,
Arundhati terus bercakap dengan kedua orang tuanya
“Dini?”
“Iya, itu!”
“Dini. Sweta Nandini, anak juragan Badrun. Bukan cuma karena anak
juragan Badrun saja tuh anak-anak laki-laki pada takut sama Dini”
Arundhati membuka pintu kabinet kecil itu dan sepertinya dia tidak
menemukan apapun, “baju Ayun di mana Bu?”
“Owalah, kamu nyari baju? Tuh…. di tas kamu di dalam lemari!” ucap Ibu
menunjuk ke arah lemari
Arundhati menutup pintu kabinet kecil itu dan sambil membalik badannya
dia berdiri. Matanya mengarah ke lemari yang ditunjukkin. Arundhati berjalan ke
arah lemari sambil meneruskan ceritanya
“Si Dini ini jago silat lho Bu, Pak! Gak rugi bapaknya pernah jadi
Jawara. Si Dini ini pernah bikin KO si Parman anak Yu Karti yang badannya gede
kaya Hulk.”
“Oh….!”
Setelah mengambil baju ganti, Arundhati segera masuk ke kamar mandi. Ibu
kembali duduk di Sofa menemani Bapak yang sudah terlebih dulu duduk.
“Anak kita, Pak!” Ibu sepertinya
senang sekali,. Bapak Cuma tersenyum.
Tak berselang lama setelah Arundhati masuk kamar mandi, datang Mas Tono
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam Mas Tono, silakan masuk!” Bapak mempersilakan Mas Tono
masuk.
Sesampainya di dalam Mas Tono bingung. Dia tidak melihat Arundhati.
“Dhik Arundhati….?”
Mas Tono mengarahkan pandangannya ke arah Bapak dan Ibu. Ibu mengangguk
sambil tersenyum.
“Iya, Ayun udah turun dari tempat tidurnya. Sekarang lagi mandi, tuh ada
suara di kamar mandi, kan? Noh!”
Bapak menjelaskan sambil mendongakkan kepalanya ke arah kamar mandi. Mas
Tono cuma nyengir mendengar penjelasan Bapak.
“Owalah…! Gini Pak, Bu, tadi saya sudah konsultasi sama dokter Pramono.
Insya Allah besok akan diperiksa lagi pada kesempatan pertama. Bila memang
sudah memungkinkan, Insya Allah besok boleh pulang!”
“Emang gak bisa hari ini?” tanya Bapak untuk memastikan
“Gak bisa, Pak! Malam ini dokter kebetulan ada agenda dengan tamu dari
pusat di Gubernuran!”
“Oh, Ok! Jadi kita harus menunggu dokter besok…. Pagi? Apa siang?”
“Pagi, Pak!”
“Baik, kita akan menunggu saja sambil observasi anak saya. Semoga dia
gak kambuh lagi besok pagi!”
“Kalo begitu, saya permisi dulu, Pak!”
“Ok, terimakasi Mas Tono!”
“Sama-sama, Pak!”
Mas Tono, kemudian memutar badan kembali ruangan perawat.
Tak berapa lama setelah Mas Tono keluar dari ruangan, Arundhati keluar kamar
mandi. Tidak seperti kebanyakan orang yang keluar kamar mandi dengan pakaian
minimal, Arundhati keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Mengenakan jubah
dan kerudung. Yang membuat heran orang tuanya, terutama Ibu, adalah bahwa jubah
dan kerudung putih gading yang dikenakan Arundhati sepertinya bukan jubah dan
kerudung yang pernah mereka belikan untuk Arundhati.
Kedua orang itu saling berpandangan, dan kemudian keduanya menganggukkan
kepalanya untuk kemudian sama-sama mengarahkan pandangannya kepada putri mereka
sambil tersenyum.
“Kenapa Pak, Bu, ada yang salah?”
“Nggak, kamu cantik sekali Ayun…. Percis seperti ibumu waktu bapak pertama
kali ketemu ibumu di rumah kakekmu!”
“Terimkasih ya Pak, Bu, Ayun udah dibeliin jubah ini. Ayun sudah lama
sekali punya jubah yang seperti ini. Ini percis seperti yang sering Ayun
corat-coret di buku Ayun!”
Kembali kedua orang tua itu saling berpandangan. Keanehan seperti apa
lagi yang bakal mereka temui nanti? Selama ini mereka belum pernah terbayang jubah
seperti itu, dan apalagi membelikan untuk anak mereka.
Lama mereka saling berpandangan sampai kemudian Arundhati tiba-tiba
duduk di anatara mereka. Arundhati merangkul kedua orang tuanya, dan mendaratkan
kecupan ke pipi kedua orang tuanya. Arundhati terlihat sangat bahagia sekali
hari ini. Begitu juga kedua orangtuanya. Mereka bertiga terlihat sangat berbahagia
hari ini.
Sore ini keluarga Arundhati begitu berbahagia. Mereka bertiga
bercengkarama sampai tengah malam. Bapak atau Ibu yang biasanya hanya menemani Arundhati
secara bergantian, hari ini mereka sepakat untuk menemani Arundhati bersama
sampai Arundhati tertidur.
Banyak sekali yang mereka percakapkan sampai malam ini. Termasuk ketika
Arundhati terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. Menurut kedua orang tuanya, Arundhati saat itu
tidur terlalu lama. Pada hari ke tujuh dari saat kejadian di balaidesa, malam
harinya Arundhati tertidur sangat pulas namun hari berikutnya Arundhati tidak
bangun-bangun sampai hari kedua. Pada hari kedua ini Arundhati menangis keras
sambil tetap tertidur, kedua orangtua Arundhati mulai panik dan akhirnya
memutuskan untuk membawa Arundhati ke
Rumah Sakit. Sampai di sini Arundhati mau menerima apapun yang
diceritakan oleh kedua orangtuanya. Bila pada awal-awal kejadian dia masih
terhubung dengan ingatan saat dia bersama Sitakara dan Ansuman, kali ini semua
ingatan bersama mereka tidak tersisa sedikitpun.
Malam semakin larut, tiba-tiba terdengar suara khas dari perut
Arundhati. Bapak dan ibunya tertawa. Arundhati cuma nyengir manja.
“Ha ha ha, baiklah. Tar bapak ambil HP dulu!”
Bapak ambil HP dan dengan lincah jempol dan telunjuknya memainkan layar
HP nya.
“Nah ini, Ayun mau makan apa?” tanya Bapak sambil menyoronkan HP nya ke Ayun.
“Hmmm…. Ini sepertinya enak, Pak!” seru Arundhati sambil menunjuk ke
salah satu item di list yang tampil di HP bapaknya.
“Boleh…. Nah.. sudah Bapak pilih!” Bapak memilih apa yang telah ditunjuk
anaknya, “Ibu.. pilih yang mana?”
“Samain aja sama Ayun, Pak!”
“Baik, kalo begitu Bapak Juga sama!” kemudian Bapak kembali sibuk tap
sana tap sini menyelesaikan pesanan.
“Nah, Ok, sudah Bapak pesan semua. Tinggal tunggu!”
“Berapa lama lagi, Pak? Ayun udah laper nih….!”
“Ya… kira-kira 3 jam lagi….!”
“Ewhottt…. 3 jam lagi? Emang di mana warungnya Pak? Ayun udah laper
nih!”
Ayun memasang tampang memelas. Ibu tersenyum melihat kelakuan anaknya.
Dia tahu, bapaknya cuma bercanda. Bapak tertawa kecil
“He he he…. Nggak, paling sebentar lagi juga nyampe!”
“Ih… Bapak gitu deh….! Ayun kesel nih!”
“Iya… Bapak minta maaf ya Cah Ayu..! Ya… ya.. ya!”
“Nggak!” Arundhati bergeser ke ibunya. Ibu tertawa, “hayo tuh Pak, Ayun
marah!”
“Iya deh… Bapak salah! Bapak minta maaf ya!”
Arundhati tersenyum. Perlahan dia mendekati bapaknya. Dan, dengan
tiba-tiba dia memeluk bapaknya, “Iya Bapak… Dimaafin… hi hi hi hi….!”
Lama Arundhati memeluk bapaknya dan hampir tertidur karenanya kalau hp
bapaknya tidak bunyi
Arundhati mengangkat tubuhnya dan duduk tegak sambil mengucek matanya. Ibu
tertawa kecil. Bapak segera mengangkat hp nya
“Ya… O ya.. Mas ada di mana? Di depan? Di pos satpam? Baik baik baik…
saya ke sana sekarang!”
Bapak menutup HP nya, “pesanan sudah sampai. Bapak keluar ambil dulu!”
Mata Arundhati tiba-tiba terlihat berbinar. Tidak ada tanda kantuk lagi
“Apa, udah sampai? Alhamdulillah!”
Sambil tersenyum melihat respon anaknya, Bapak segera keluar kamar.
Arundhati kembali terlibat percakapan dengan Ibunya dengan sesekali diselingi
tawa senang. Tak berselang lama, Bapak sudah kembali dengan 3 tas kresek.
“Assalamu’alaikum! Makanan datang…!” seru Bapak saat memasuki kamar.
“Alhamdulillah….!” Arundhati berseru senang.
Selanjutnya, keluarga kecil yang sangat berbahagia itu menyantap makan
malam mereka.
Setelah selesai menyantap makanan dan beberes bekas makanannya, Arundhati
nampak lemas. Bapak kaget. Ada semburat ketakutan yang tiba-tiba muncul
menyelimuti pikirannya. Tak kalah kagetnya, Ibu. Keduanya kembali saling
menatap.
Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya, “hi hi hi… bapak sama ibu itu
memang romantis sekali hari ini…! Sudah berapa kali coba bapak sama ibu saling
menatap begitu? Ini Ayun cuma ngantuk”
Bapak dan Ibu sontak menjadi sangat lega begitu mengetahui bahwa anaknya
ternyata cuma bercanda. Senyum kembali mengembang di bibir mereka. Ibu yang
sudah menangkap arah candaan ayahnya kemudian menyahut, “owalah… Kamu ndhuk…,
kalo udah ngantuk ya tidur… tapi tunggu dulu. Baru makan, jangan buru-buru
tidur!”
“Iya, tapi Ayun udah ngantuk banget!” timpal Arundhati sambil mendekati
tempat tidurnya untuk kemudian duduk di pinggir tempat tidur.
Seperti tidak percaya bahwa anaknya sudah ngantuk berat, Bapak pun
bertanya kepada anak tunggalnya itu, “padahal kamu sudah satu minggu tidur lho
ndhuk…. Kenapa masih ngantuk juga?”
Arundhati tidak menjawab, karena tanpa disadari kedua orang tua itu ,
Arundhati telah mengangkat kedua kakinya ke tempat tidur dan menjatuhkan
kepalanya ke bantal. Tidur. Pulas.
0 komentar:
Posting Komentar