Jumat, Juni 09, 2023

{7} KESADARAN


Sore, pukul 15 di depan kamar Melati 1 rumah sakit di kota, nampak bergerombol beberapa anak remaja berseragam abu-abu putih. Sebagian nampak murung, dan sebagian yang lain malah terlihat bercanda dengan kawannya. Di dalam kamar, nampak Ibu dan Bapak nampak murung duduk di sofa kamar, ditemani dua remaja perempuan berbaju putih abu-abu, teman sekolah Arundhati, yang nampak tak kalah murung. Di tengah ruangan nampak seorang dokter dengan beberapa perawat tengah memeriksa Arundhati yang tergeletak seperti tidur. Dua selang infus masuk melalui tangan kanan dan kirinya. Satu selang infus mensuplai cairan fisiologis sedang satu selang lainnya mensuplai cairan gizi yang konon dapat menggantikan makanan.

Setelah selesai memeriksa Arundhati, Bapak segera menghampiri dokter. Dia ingin segera tahu, hasil pemeriksaan dokter.

“Bagaimana, Dok?”

“Saya kurang yakin. Dari hasil pemeriksaan lab hari ini tidak ada satupun parameter yang menunjukkan adanya penyakit. Dan barusan, tekanan darah, suhu, serta saturasi oksigen juga normal. Hanya saja, dari pemeriksaan EEG (Electroensefalogram, pemeriksaan gelombang otak) kemarin memang tercatat ada aktifitas kelistrikan otak yang sangat tidak biasa, namun kami belum bisa menyimpulkan penyebab hilangnya memory Anak Arundhati. Kami akan terus berusaha untuk mendapatkan jawaban atas kasus ini. Saya tidak berani berspekulasi terhadap kemungkinan adanya gangguan pada sistem limbik, namun bila dalam 3 hari ini tidak ada kemajuan ada baiknya kita rujuk ke rumah sakit otak”

Dokter Pramono, seperti yang tertulis pada name tag, menerangkan dengan sangat detil. Bapak dan Ibu Arundhati yang kesehariannya mereka habiskan di sawah dan kebun cuma bisa mengiyakan. Hanya satu pertanyaan kedua orang tua itu; apapun penyakit anaknya, adalah apakah anaknya masih bisa sembuh. Pertanyaan ini dilontarkan oleh Ibu ke Dokter Pramono.   

“Apakah anak saya bisa sembuh, Dok?”

“Dengan informasi yang kita punyai sekarang, saya belum bisa memberikan jawaban apapun. Kami tidak berani memberikan harapan lebih kepada bapak dan Ibu, namun kami juga tidak ingin Bapak dan Ibu terus cemas. Mari kita berdo’a bersama-sama memohon kepada Allah SWT agar kita segera dapat memahami apa sebenarnya yang tengah diderita oleh Anak Arundhati sehingga kita dapat memberikan perlakuan yang tepat untuk kesembuhannya!”. Arundhati masih masuk kelompok anak-anak. Karena masih 16 tahun lebih saja.

“Baik Dok, terimakasih!”

Karena sudah tidak mungkin lagi mendapatkan jawaban yang lebih, Bapak pun mengucapkan terimakasih sebagai pertanda tidak ada lagi pertanyaan yang akan dia ajukan. Dokter Pramono segera pamit kepada Ibu dan Bapak.

“Baik Pak, Bu, kalau tidak ada pertanyaan lagi saya akan melanjutkan visite ke ruangan lain. Mari Sus…!”

Dokter Pramono beranjak keluar mengajak dua perawat yang menemaninya. Sambil berjalan keluar, salah seorang perawat menyebutkan ruangan berikutnya yang harus dikunjungi dokter Pramono.

“Selanjutnya paviliun Garuda 4, Dok!”

Ruangan Melati 1 kembali hening. Ibu dan Bapak kembali kepada kemurungan dan kecemasannya. Mereka berdua kembali duduk di sofa. Kedua teman Arundhati, Sophia dan Marwah, berdiri di sisi berseberangan tempat tidur Arundhati. Dengan wajah murung mereka mengamati temannya yang nampat tertidur. Wajah yang senatiasa nampak berbinar karena keceriaannya, saat ini terlihat pucat.

Kedua remaja teman Arundhati tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dengan tatapan mereka sama-sama tertuju kepada wajah Arundhati. Namun, tiba-tiba Sophia nampak mengucek-ucek matanya.

“Marwah…..!” dengan berbisik, Sophia memanggil Marwah. Marwah pun ternyata tengah mengucek-ucek matanya, dan setenga berbisik pula dia penggil temannya, “Sophia…..!”
Setelah saling pandang, keduanya membungkukan badannya ke arah muka Arundhati. Mereka berdua berusaha memastikan pandangannya dengan melihat muka Arundhati semakin dekat. Dalam pandangan mereka berdua, Arundhati yang sebelumnya pucat berangsur mulai normal. Ketika muka mereka berdua semakin dekat dengan muka Arundhati, dalam pandangan mereka terlihat kelopak mata Arundhati mulai bergerak-gerak. Dan, ketika wajah mereka hanya terpaut satu telapak tangan, mata Arundhati terbuka sempurna. Arundhati bingung, kenapa ketika bangun ada wajah temannya. Sangat dekat dengan mukanya. Nyengir lagi….

“Sophia…. Marwah…..! Apaan sih ini…?”

Sophia dan Marwah, bukannya minggir malah semakin mendekat dan memeluk Arundhati sambil menangis dan meneriakkan namanya.

“Ayun……!”

Ibu dan Bapak kaget mendengar teriakan Sophia dan Marwah yang dilanjutkan dengan tangisan mereka berdua. Jantung Ibu maupun Bapak sama-sama berdegub sangat kencang. Melihat tangisan  kedua teman anaknya, yang terlintas di benak kedua orang tua itu adalah bahwa Arundhati sudah selesai. Sambil mendekati tempat tidur anaknya, mereka mendengar suara yang sangat mereka kenal

“Ishh… Sophia! Marwah! Apa-apaan sih kalian berdua ini. Meluk-meluk saya, nangis pula…?”

Ibu dan Bapak berhenti sebentar saling berpandangan dan mengucapkan satu nama yang sama. Nama anaknya.  “Ayun..?”

Ibu dan Bapak segera mendekati tempat tidur Arundhati dan memegang bahu kedua kawan anaknya. Bapak memegang bahu Sophia sementara Ibu memegang bahu Marwah. Kedua teman Arundhati segera melepaskan pelukannya sambil masih tetap menangis. Keduanya mempersilahkan kedua orang tua Arundhati untuk semakin dekat dengan Arundhati.

Sambil membungkuk mendekat ke wajah anaknya di tempat tidur, Bapak menyebut naman anaknya, “Ayun….!”

Dan, demi mendengar namanya disebut bapaknya, Arundhat menyahut dengan memanggilnya , “Bapak…..!”

Mendengar anaknya telah mampu mengenali bapaknya, Ibu pun ikut membungkuk semakin dekat ke wajah anaknya dan memanggil nama anak kesayangannya itu, “Ayun…!” yang disambut oleh Arundhati sambil menoleh ke arah Ibunya, “Ibu…!”

Kedua orangtua itu senang luar biasa. Betapa tidak, meskipun anak semata wayang mereka tidak kemana-mana, namun sudah tiga minggu komunikasi mereka terhambat. Bahkan tujuh hari terakhir, mereka tidak dapat berinteraksi sama sekali.

Dekapan kedua orangtua yang sedang berbahagia itu seharusnya memang membahagiakan juga bagi Arundhati. Namun, karena kelamaan dan posisi dia yang justeru menjadi tertindih membuat Arundhati mulai merasa tidak nyaman, “Ih…. Bapak, Ibu…. Kalian kenapa sih pada ikut-ikutan si Sophia sama Marwah?”

Ibu dan Bapak segera melepaskan pelukan mereka. Dengan senyum yang tetap mengembang, mereka berdua mengelus-elus kepala anaknya.

Arundhati mengangkat kedua tangannya. Dia bingung kenapa ada dua selang infus di kedua tangannya.

“Bapak, Ibu…. Ini….?”

“Iya, ndhuk….. Itu selang infus. Sudah satu minggu ini kamu tidur.  Dua selang infus ini, buat membantu tubuh kamu!”

Kepala Arundhati menoleh ke kiri dan ke kanan memandangi kedua tangannya. Jarum infus yang menusuk punggung tangannya benar-benar membuat dia tidak nyaman. Belum lagi untaian selang yang menjulur dari botol infus ke kedua tangannya. Dia tidak suka ada selang infus menempel ke tangannya.

Ketika Arundhati tengah sibuk dengan kedua tangannya, tiba-tiba ruangan menjadi gelap. 15 teman Arundhati yang ada di luar kamar tiba-tiba masuk semuanya

“Ayun…! Ayun…! Kamu hidup kembali?”

“Wah… Ayun… kamu sudah bangun…?!”

“Ayun…. Syukurlah….!”

Semua merubung tempat tidur Arundhati. Semua ingin tahu keadaan Arundhati. Semua  Semua ingin bertanya dengan banyak pertanyaan. Tapi Arundhati justeru sibuk dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terlintas keinginan yang sangat kuat dari dalam diri Arundhati untuk melepas kedua selang infus itu. Bersamaan dengan itu, dari arah pintu terdengar suara laki-laki

“Ada apa ini ribut-ribut!?”

Semua menoleh ke arah suara itu.

“Eh… ini, Mas Tono. Anak-anak… mereka sepertinya sangat senang Arundhati sudah bangun!”

Mas Tono adalah perawat di kamar melati. Karena sudah lebih tiga hari di rumah sakit, baik Ibu dan Bapak sudah cukup akrab dengannya.

“Eh, Ibu, Bapak…!”

“Anak-anak… ayo keluar dulu…. Ini rumah sakit bukan rumah Ayun!” dengan lembut Ibu mengingatkan teman-teman Arundhati dan meminta mereka untuk keluar dulu.

“Inggih bu!”

Semua anak-anak sudah keluar kecuali Sphia dan Marwah. Aisyah yang terakhir mau keluar menyadari hal ini. Dia berhenti.

“Sophia sama Marwah lagi!”

Sophia dan Marwah nyengir. Mereka paham apa yang dimaksud Aisyah. Akhirnya mereka terpaksa harus ke luar.

“Ya sudah saya keluar!”

Di luar ruangan, teman-teman Arundhati duduk berjajar di bangku panjang di koridor. Yang tidak kebagian duduk, berdiri di masing-masing sisi. Semua saling bercerita tentang object yang sama. Tentang Arundhati.

Anak laki-laki yang berdiri paling ujung karena tidak kebagian duduk, melangkah ke depan teman-temannya sambil tangan kanan memegang dagu sementara tangan kiri terlipat memegang siku tangan kanannya. Dengan gaya yang serius dia memecahkan pembicaraan,

“Kita harus tunggu di sini sampai kita dapat informasi tentang Ayun. Ini ke tiga kali kita rame-rame ke sini, dan siang ini dia tersadar dan bangun dari tidur atau pingsannya”

“Yap setuju, aku juga penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada ayangku ini!” sahut seorang anak laki-laki yang duduk di tengah dengan nada yang tidak kalah serius. Sontak teman-temannya menyambut dengan tawa yang agak tertahan. Anak laki-laki yang berdiri di depan cekikan menahan tawa dan kembali ke posisinya semula. Sepertinya mereka sadar, bahwa saat ini mereka sedang ada di rumah sakit.

Sementara itu, di dalam kamar, Mas Tono tampak sedang memeriksa kondisi Arundhati yang sudah duduk di tempat tidurnya. Mas Tono bingung, melihat Arundhati yang nampak sangat segar, tidak kelihatan sedikitpun tanda-tanda sakit. Mas Tono kaget ketika memeriksa tangan kiri Arundhati.  Selang infus sudah tidak lagi menempel di tangan Arundhati. Tidak hanya itu, bekas infusan pun tidak nampak di tangan Arundhati. Tangan Arundhati nampak bersih, bahkan di area bekas jarum infus pun tidak nampak ada bekas tusukan sama sekali. Pun bekas plester yang dipakai untuk menjaga agar jarum infus tetap stabil. Tangan kiri Arundhati nampak biasa-biasa saja, tidak meninggalkan trauma akibat tusukan jarum infus selama tiga hari terakhir.

Tidak yakin dengan kondisi tangan kiri Arundhati, Mas Tono berpindah ke tangan kanan Arundhati. Namun hal yang sama dia dapati juga di tangan kanan Arundhati. Bersih, tanpa ada bekas apapun.

Mas Tono bingung. Dia berhenti sebentar, kemudian bertanya kepada Arundhati, “ini…, siapa yang melepas?”

Ibu dan Bapak kaget mendengar pertanyaan Mas Tono

“Apanya yang lepas?”

“Pak Bapak, ini…. apakah ada yang melepaskan kedua selang infus dari tangan Dhik Arundhati ini?”

“Enggak… Gak ada yang ngelepasin, Mas Tono! Memang ada apa?”

“Ini… ini… ah…! Ini selang infusnya sudah lepas. Rapi pula lepasnya. Bahkan tangan Dhik Arundhati ini tidak ada bekas infusannya sedikitpun!”

“Ah masa….!”

Ibu dibuat penasaran oleh penyataan Mas Tono tadi. Ibu mendekat dan mulai memeriksa tangan kanan dan tangan kiri Arundhati. Setelah memeriksa kedua tangan Arundhati dan mendapati hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh Mas Tono, pandangan Ibu Beralih ke gantungan infus yang ternyata sudah bersih juga dari botol infus.

“Lho infusannya mana?”

Mas Tono berhenti memegang-megang tangan Arundhati. Dia baru ingat tentang botol infusnya. Saat dia mendongakkan kepalanya, dia melihat dua botol Infus dan gulungan selangnya tergeletak rapi di atas kabinet kecil di samping tempat tidur Arundhati. “Ah… apalagi ini….?”

Mas Tono berjalan memutar menuju ke kabinet kecil yang ada di samping kiri tempat tidur Arundhati. Dia angkat kedua botol infus itu. Botol infus yang isinya tinggal setengah dan seperempat itu memang betul botol infus yang sebelumnya digunakan oleh Arundhati.

Mas Tono membawa kedua botol infus tersebut ke Ibu dan Bapak.

“Pak, Bu, terakhir tadi siapa yang nemenin Dhik Arundhati?”

Arundhati hanya tersenyum-senyum sendiri melihat kebingungan Mas Tono.

“Gak usah panggil Sophia sama Marwah. Itu saya sendiri yang melepas!”

Arundhati mencegah Mas Tono dan kedua orang tuanya memanggil Sophia dan Marwah yang memang tidak melakukan apapun untuk urusan lepasnya selang infus.

“Ah, gak mungkin! Mana bisa?”

Mas Tono berusaha membantah pengakuan Arundhati. Dalam pikirannya, mana bisa orang yang baru sadar dari koma selama dua minggu melakukan aktifitas layaknya orang sehat.

“Lha, kalau gak mungkin masa saya harus bilang kalau selang itu lepas sendiri. Terus kemudian botol nya terbang ke atas lemari kecil itu?”

Ketiga orang di hadapan Arundhati cuma bisa melongo. Arundhati tersenyum kecil.

“Ibu.., Bapak… Ayun mau pulang!”

Ibu dan Bapak Bingung. Mas Tono langsung bereaksi

“Nggak! Nggak boleh!”

Arundhati, Ibu, dan Bapak memandang ke arah Mas Tono. Mas Tono jadi salah tingkah….

“Ah… bukan…bukan, ini gak seperti yang kalian kira!”

“Lha memang yang kami kira apaan?”

Sambil tertawa renyah Arundhati malah bertanya maksud dari perkataan Mas Tono.

“Aduuh….” Kembali lagi Mas Tono salah tingkah. Kali ini karena tawa renyah Arundhati. Kesehatan Arundhati yang sudah sepenuhnya pulih telah membawa kembali aura kecantikannya. Tawa renyahnya tadi membuat jantung Mas Tono betul-betul berguncang.

“Ini… ini…. Aduh… Maksud saya… maksud saya….”

Mas Tono terlihat bingung.

“Baiklah saya lapor dulu ke dokter Pram. Mungkin beliau belum keluar dari rumah sakit ini. biar beliau saja yang memutuskan. Saya permisi dulu!”

Akhrnya Mas Tono memutuskan untuk melaporkan situanya kepada dokter Pramono.

“Nah, betul itu! Biar dokter saya yang memutuskan!” ceteltuk Arundhati sambil mengangkat tangan kanannya mengacungkan jempol dan tersenyum. Sangat manis.

Setelah Mas Tono keluar dari ruangan, Arundhati memanggil kedua orang tuanya dan menanyakan penyebab dirinya bisa sampai dirawat di Rumah Sakit.

"Bapak, Ibu... Kenapa Ayun bisa sampai ke rumah sakit?"

Kedua orang tua Arundhati saling berpandangan. Kemudian, keduannya berjalan mendekati Arundhati.

“Ayun apa kamu gak ingat sesuatu apapun?” dengan lembut Ibu bertanya kepada anak semata wayangnya itu.

“Ayun gak tahu Ibu. Ayun hanya ingat, waktu itu hari sabtu, saya bersama teman-teman sekelompok tugas pulang naik angkutan, mobilnya kang Dowi…”

Raut muka Bapak tiba-tiba berubah mendengar nama Dowi disebut. Dia memang gak suka sama Baedowi, anak tetangganya yang sudah menikahi Siti kemenakan Bapak. Sekilas memang orang ini tidak bermasalah, namun Bapak menilai Dowi sering kecentilan kalau ketemu anaknya.

“Setelah turun di ledheng, Ayun jalan. Nah pas lewat baladesa Ayun lihat ada kerumunan….” Kemudian Arundhati menceritakan semua yang dialaminya kepada orang tuanya. Arundhati tidak menceritakan pertemuannya dengan Ansuman dan Sitakara, karena saat ini Arundhati memang tidak memiliki ingatan tentang pertemuannya dengan kedua orang tersebut.

Kedua orang tua Arundhati mendengarkan dengan hati-hati semua yang dialami oleh Arundhati. Kedua orang tuanya tidak mendengar Arundhati bercerita tentang beberapa hari setelah dia pulang sebelum dibawa ke rumah sakit.

“Ayun…!”

“Iya Bu..”

Dengan lembut Ibu memanggil anaknya. ingin memastikan ingatan Arundhati tentang beberapa hari sebelum dia dibawa ke rumah sakit.

“Ndhuk, apa kamu bener-bener nggak ingat apa yang terjadi sebelum kamu dibawa ke-mari?”

Mendengar pertanyaan ibunya, Arundhati sejenak terdiam. Dia berusaha mengingat-ingat apapu yang bisa dia ingat pada waktu itu. Namun sayang, tidak ada satupun yang dapat dia ingat. Kemudian dia menggelengkan kepalanya

“Owalah nDhuk, Cah Ayu, kamu sama sekali gak ingat ketika kamu cuma bisa bilang ibu…. Bapak… cah ayu….?”

Kembali Arundhati menerawang. Berusaha mengingat apapun yang diceritakan ibunya. Namun sekali lagi dia gagal mengingat. Tiba-tiba air mata Arundhati menetes dari sudut matanya.

“Ibu…., apakah Ayun jadi nakal waktu itu…?”

“Oh… tidak…. Tidak cah Ayu! Kamu anak ibu sama bapak. Kamu gak akan pernah menjadi nakal. Tidak pernah Cah Ayu!”

Ibu merengkuh pundak Arundhati. Ia memeluknya erat-erat. Sangat erat seperti takut melepaskan lagi.

“Maafkan Ayun ya Bu, Pak!”

Sambil tersenyum, Bapak menjawab permintaan Arundhati

“Tidak Cah Ayu, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak salah. Tidak ada yang salah. Kita sama-sama gak tahu kenapa bisa begini”

Mereka bertiga terdiam dengan perasaan teraduk-aduk. Perasaan gembira, haru, dan cemas bercampur menjadi satu. Cemas, karena sampai saat ini tidak ada satupun yang tahu penyebab situasi ini.

“Pak, Bu, bolehkan temen-temen Ayun masuk ke mari. Sepertinya mereka masih menunggu di luar!”

Setelah beberapa saat tenggelam dalam keheningan, Arundhati memohon kepada orang tuanya agar teman-temannya dibolehkan masuk.

“Baiklah, biar Ibu saja yang memanggil mereka!”

Ibu melepaskan pelukannya, berjalan ke arah pintu, keluar menemui teman-teman Arundhati. Tidak berapa lama kemudian teman-teman Arundhati rame masuk ke dalam ruangan. Aisyah yang pertama kali lari memeluk Arundhati. Tidak mau kalah sama Sophia dan Marwah.

“Ayun…..!”

Aisyah berlari sambil mengulurkan kedua tangannya ingin memeluk Arundhati. Arundhati pun dengan senyum mengembang menyambut uluran tangan Aisyah. Mereka berpelukan.

Di belakang Aisyah, Sophia dan Marwah berlari. Tidak peduli dengan situasi sekeliling, mereka berdua langsung memeluk Arundhati yang masih berpelukan dengan Aisyah.

Sebenarnya anak-anak laki-laki teman Arundhati juga mau ikut berpelukan. Namun, kemauan mereka dihalangi oleh Dini. Pemilik nama lengkap Sweta Nandini ini badanya tinggi langsing dengan kulit putih dan hidung mancung yang tertancap menghiasai wajah imut dengan kombinasi mata bulat dan bibir yang mungil. Dengan definisi kecantikan yang hanya dimiliki model sebenarnya tidak membuat takut para lelaki ini. Namun ada definisi lain untuk menggambarkan anak perempuan yang bernama Sweta Nandini yang bikin anak-anak laki-laki pada takut; si Dini anak Juragan Badrun. Juragan Badrun adalah seorang preman insyaf yang menjadi tokoh di kampung mereka.  Sebelum insyaf juragan badrun dalah reman pasar paling terkenal di kampung mereka. Para anak laki-laki memilih mundur daripada harus berususan sama Juragan Badrun.

Dini cuma tersenyum dan langsung membalikkan badannya, bergabung dengan teman-teman perempuan lainnya. Mereka kemudian terlibat dalam pembicaraan yang, mmm…. Serius mungkin. Tapi sepertinya… ah.. anggap saja serius, meskipun sesekali terlihat mereka tertawa.

Anak-anak laki-laki cuma bisa melihat dari posisi yang agak jauh. Sesekali ada yang mencoba nimbrung, namun responnya justeru sangat ….

“Ayun….Ak…!”
Ana laki-laki yang berbadan tinggi, mencoba ikut nimbrung. Tapi belum selesai bicara, Sophia memalingkan mukanya ke arah mereka dengan tatapan tajam siap menerkam.

“..ku.. Ah… aisyh… heuh… sudah lah!” si anak laki-laki itu tak bisa melanjutkan ucapannya.

Ibu dan Bapak cuma bisa tertawa melihat kelakuan anak-anak itu. Setelah beberapa lama Arundhati dikuasai oleh anak-anak perempuan, anak-anak laki-laki akhirnya mendapatkan kesempatannya berkomunikasi dengan Arundhati.  Tidak sampai maghrib, mereka semua pamit pulang ke rumah.

“Pak, Bu, mumpung masih terang, kami mohon pamit kembali ke rumah!” mewakili teman-temannya Sophia pamit undur diri.

“E iya, iya…mumpung masih terang.  Perjalanan cukup jauh, jangan sampai malaman sampai rumah. Kalian naik angkutan umum atau bawa kendaraan masing-masing?” Ibu menyambut pamitnya anak-anak itu sambil mengingatkan perjalanan anak—anak itu.

“Enggak Bu, kan ada Sophia anaknya Pak Kyai. Kita make Hi-Ace Sophia. Ada sopirnya!”

“Oh… aman kalau begitu. Hati-hati di jalan ya…!”

“Baik bu, assalamu’alaikum!”

Semua teman-teman Arundhati sudah keluar dari ruangan, namun suasana keceriaan mereka masih terasa di dalam kamar perawatan Arundhati. Arundhati terlihat masih menyisakan senyumnya, dan samar-samar suara teman-temannya pun masih terdengar di kejauhan. Memang berisik mereka.

“Ayun mau mandi dulu, ah!”

Ibu dan Bapak kaget, karena tiba-tiba Arundhati sudah berdiri di samping kanan tempat tidurnya.

“Kapan kamu turun dari tempat tidur, Ayun?”

Penasaran, Ibu bertanya pada putrinya. Arundati. Tapi, Arundhati tersenyum sambil membenahi posisi sandalnya.

“Ibu sih…, dari tadi cuma merhatiin teman-teman Ayun. Ayun nya malah gak diliat!”

Ibu tersenyum berjalan ke sofa dan duduk, “Iya… Ibu seneng liat teman-teman Ayun. Lucu-lucu mereka. Apalagi siapa itu yang anaknya juragan Badrun?”

Sambil berjalan memutar ke kabinet kecil di samping kiri tempat tidurnya, Arundhati terus bercakap dengan kedua orang tuanya

“Dini?”

“Iya, itu!”

“Dini. Sweta Nandini, anak juragan Badrun. Bukan cuma karena anak juragan Badrun saja tuh anak-anak laki-laki pada takut sama Dini”

Arundhati membuka pintu kabinet kecil itu dan sepertinya dia tidak menemukan apapun, “baju Ayun di mana Bu?”

“Owalah, kamu nyari baju? Tuh…. di tas kamu di dalam lemari!” ucap Ibu menunjuk ke arah lemari

Arundhati menutup pintu kabinet kecil itu dan sambil membalik badannya dia berdiri. Matanya mengarah ke lemari yang ditunjukkin. Arundhati berjalan ke arah lemari sambil meneruskan ceritanya

“Si Dini ini jago silat lho Bu, Pak! Gak rugi bapaknya pernah jadi Jawara. Si Dini ini pernah bikin KO si Parman anak Yu Karti yang badannya gede kaya Hulk.”

“Oh….!”

Setelah mengambil baju ganti, Arundhati segera masuk ke kamar mandi. Ibu kembali duduk di Sofa menemani Bapak yang sudah terlebih dulu duduk.

“Anak kita, Pak!” Ibu  sepertinya senang sekali,. Bapak Cuma tersenyum.

Tak berselang lama setelah Arundhati masuk kamar mandi, datang Mas Tono

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam Mas Tono, silakan masuk!” Bapak mempersilakan Mas Tono masuk.

Sesampainya di dalam Mas Tono bingung. Dia tidak melihat Arundhati.

“Dhik Arundhati….?”

Mas Tono mengarahkan pandangannya ke arah Bapak dan Ibu. Ibu mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, Ayun udah turun dari tempat tidurnya. Sekarang lagi mandi, tuh ada suara di kamar mandi, kan? Noh!”

Bapak menjelaskan sambil mendongakkan kepalanya ke arah kamar mandi. Mas Tono cuma nyengir mendengar penjelasan Bapak.

“Owalah…! Gini Pak, Bu, tadi saya sudah konsultasi sama dokter Pramono. Insya Allah besok akan diperiksa lagi pada kesempatan pertama. Bila memang sudah memungkinkan, Insya Allah besok boleh pulang!”

“Emang gak bisa hari ini?” tanya Bapak untuk memastikan

“Gak bisa, Pak! Malam ini dokter kebetulan ada agenda dengan tamu dari pusat di Gubernuran!”

“Oh, Ok! Jadi kita harus menunggu dokter besok…. Pagi? Apa siang?”

“Pagi, Pak!”

“Baik, kita akan menunggu saja sambil observasi anak saya. Semoga dia gak kambuh lagi besok pagi!”

“Kalo begitu, saya permisi dulu, Pak!”

“Ok, terimakasi Mas Tono!”

“Sama-sama, Pak!”

Mas Tono, kemudian memutar badan kembali ruangan perawat.

Tak berapa lama setelah Mas Tono keluar dari ruangan, Arundhati keluar kamar mandi. Tidak seperti kebanyakan orang yang keluar kamar mandi dengan pakaian minimal, Arundhati keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Mengenakan jubah dan kerudung. Yang membuat heran orang tuanya, terutama Ibu, adalah bahwa jubah dan kerudung putih gading yang dikenakan Arundhati sepertinya bukan jubah dan kerudung yang pernah mereka belikan untuk Arundhati.

Kedua orang itu saling berpandangan, dan kemudian keduanya menganggukkan kepalanya untuk kemudian sama-sama mengarahkan pandangannya kepada putri mereka sambil tersenyum.

“Kenapa Pak, Bu, ada yang salah?”

“Nggak, kamu cantik sekali Ayun…. Percis seperti ibumu waktu bapak pertama kali ketemu ibumu di rumah kakekmu!”

“Terimkasih ya Pak, Bu, Ayun udah dibeliin jubah ini. Ayun sudah lama sekali punya jubah yang seperti ini. Ini percis seperti yang sering Ayun corat-coret di buku Ayun!”

Kembali kedua orang tua itu saling berpandangan. Keanehan seperti apa lagi yang bakal mereka temui nanti? Selama ini mereka belum pernah terbayang jubah seperti itu, dan apalagi membelikan untuk anak mereka.

Lama mereka saling berpandangan sampai kemudian Arundhati tiba-tiba duduk di anatara mereka. Arundhati merangkul kedua orang tuanya, dan mendaratkan kecupan ke pipi kedua orang tuanya. Arundhati terlihat sangat bahagia sekali hari ini. Begitu juga kedua orangtuanya. Mereka bertiga terlihat sangat berbahagia hari ini.

Sore ini keluarga Arundhati begitu berbahagia. Mereka bertiga bercengkarama sampai tengah malam. Bapak atau Ibu yang biasanya hanya menemani Arundhati secara bergantian, hari ini mereka sepakat untuk menemani Arundhati bersama sampai Arundhati tertidur.

Banyak sekali yang mereka percakapkan sampai malam ini. Termasuk ketika Arundhati terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit.  Menurut kedua orang tuanya, Arundhati saat itu tidur terlalu lama. Pada hari ke tujuh dari saat kejadian di balaidesa, malam harinya Arundhati tertidur sangat pulas namun hari berikutnya Arundhati tidak bangun-bangun sampai hari kedua. Pada hari kedua ini Arundhati menangis keras sambil tetap tertidur, kedua orangtua Arundhati mulai panik dan akhirnya memutuskan untuk membawa Arundhati ke  Rumah Sakit. Sampai di sini Arundhati mau menerima apapun yang diceritakan oleh kedua orangtuanya. Bila pada awal-awal kejadian dia masih terhubung dengan ingatan saat dia bersama Sitakara dan Ansuman, kali ini semua ingatan bersama mereka tidak tersisa sedikitpun.

Malam semakin larut, tiba-tiba terdengar suara khas dari perut Arundhati. Bapak dan ibunya tertawa. Arundhati cuma nyengir manja.

“Ha ha ha, baiklah. Tar bapak ambil HP dulu!”

Bapak ambil HP dan dengan lincah jempol dan telunjuknya memainkan layar HP nya.

“Nah ini, Ayun mau makan apa?” tanya Bapak sambil menyoronkan HP nya ke Ayun.

“Hmmm…. Ini sepertinya enak, Pak!” seru Arundhati sambil menunjuk ke salah satu item di list yang tampil di HP bapaknya.

“Boleh…. Nah.. sudah Bapak pilih!” Bapak memilih apa yang telah ditunjuk anaknya, “Ibu.. pilih yang mana?”

“Samain aja sama Ayun, Pak!”

“Baik, kalo begitu Bapak Juga sama!” kemudian Bapak kembali sibuk tap sana tap sini menyelesaikan pesanan.

“Nah, Ok, sudah Bapak pesan semua. Tinggal tunggu!”

“Berapa lama lagi, Pak? Ayun udah laper nih….!”

“Ya… kira-kira 3 jam lagi….!”

“Ewhottt…. 3 jam lagi? Emang di mana warungnya Pak? Ayun udah laper nih!”

Ayun memasang tampang memelas. Ibu tersenyum melihat kelakuan anaknya. Dia tahu, bapaknya cuma bercanda. Bapak tertawa kecil

“He he he…. Nggak, paling sebentar lagi juga nyampe!”

“Ih… Bapak gitu deh….! Ayun kesel nih!”

“Iya… Bapak minta maaf ya Cah Ayu..!  Ya… ya.. ya!”

“Nggak!” Arundhati bergeser ke ibunya. Ibu tertawa, “hayo tuh Pak, Ayun marah!”

“Iya deh… Bapak salah! Bapak minta maaf ya!”

Arundhati tersenyum. Perlahan dia mendekati bapaknya. Dan, dengan tiba-tiba dia memeluk bapaknya, “Iya Bapak… Dimaafin… hi hi hi hi….!”

Lama Arundhati memeluk bapaknya dan hampir tertidur karenanya kalau hp bapaknya tidak bunyi

Arundhati mengangkat tubuhnya dan duduk tegak sambil mengucek matanya. Ibu tertawa kecil. Bapak segera mengangkat hp nya

“Ya… O ya.. Mas ada di mana? Di depan? Di pos satpam? Baik baik baik… saya ke sana sekarang!”

Bapak menutup HP nya, “pesanan sudah sampai. Bapak keluar ambil dulu!”

Mata Arundhati tiba-tiba terlihat berbinar. Tidak ada tanda kantuk lagi

“Apa, udah sampai? Alhamdulillah!”

Sambil tersenyum melihat respon anaknya, Bapak segera keluar kamar.

Arundhati kembali terlibat percakapan dengan Ibunya dengan sesekali diselingi tawa senang. Tak berselang lama, Bapak sudah kembali dengan 3 tas kresek.

“Assalamu’alaikum! Makanan datang…!” seru Bapak saat memasuki kamar.

“Alhamdulillah….!” Arundhati berseru senang.

Selanjutnya, keluarga kecil yang sangat berbahagia itu menyantap makan malam mereka.

Setelah selesai menyantap makanan dan beberes bekas makanannya, Arundhati nampak lemas. Bapak kaget. Ada semburat ketakutan yang tiba-tiba muncul menyelimuti pikirannya. Tak kalah kagetnya, Ibu. Keduanya kembali saling menatap.

Arundhati tertawa sambil menutup mulutnya, “hi hi hi… bapak sama ibu itu memang romantis sekali hari ini…! Sudah berapa kali coba bapak sama ibu saling menatap begitu? Ini Ayun cuma ngantuk”

Bapak dan Ibu sontak menjadi sangat lega begitu mengetahui bahwa anaknya ternyata cuma bercanda. Senyum kembali mengembang di bibir mereka. Ibu yang sudah menangkap arah candaan ayahnya kemudian menyahut, “owalah… Kamu ndhuk…, kalo udah ngantuk ya tidur… tapi tunggu dulu. Baru makan, jangan buru-buru tidur!”

“Iya, tapi Ayun udah ngantuk banget!” timpal Arundhati sambil mendekati tempat tidurnya untuk kemudian duduk di pinggir tempat tidur.

Seperti tidak percaya bahwa anaknya sudah ngantuk berat, Bapak pun bertanya kepada anak tunggalnya itu, “padahal kamu sudah satu minggu tidur lho ndhuk…. Kenapa masih ngantuk juga?”

Arundhati tidak menjawab, karena tanpa disadari kedua orang tua itu , Arundhati telah mengangkat kedua kakinya ke tempat tidur dan menjatuhkan kepalanya ke bantal. Tidur. Pulas.

0 komentar: