Di penginapan Merpati pagi ini, suasana masih sangat hening. Para tamu belum ada yang terbangun. Sitakara yang tertidur di ranjang di sebelah Arundhati masih nampak terlelap. Sementara Arundhati yang tidurnya bisa dibilang seperti orang mati nampak mulai bergerak-gerak meregangkan kedua tangannya. Hmmm dia terbangun.
Arundhati duduk di tepi ranjang sambil menundukkan kepalanya. Dia merasa
sangat sedih, dia telah melewatkan sholat isya malam ini. Setelah mengucap doa
bangun tidur, Arundhati segera menuju ke kamar mandi. Dia cuci muka dan ambil
wudhu. Ketika keluar kamar mandi, dia lihat Sitakara telah terbangun dan sedang
duduk di pinggir ranjang.
“Yu Ara sudah bangun?”
“Sudah Ayun!”
“Yu Ara! Yu Ara tahu gak arah kiblat di sini?”
Sitakara yang masih terlihat mengantuk hanya menunjuk ke suatu arah
sambil tetap menunduk.
Sambil mengucapkan terimakasih kepada Sitakara, Arundhati menganggukan
kepala karena tidak mau mengganggu Sitakara yang masih belum seratus persen. Satu
hal yang dicatat di benak Arundhati, ternyata Sitakara tahu posisi kiblat di penginapan
ini. Artinya, Sitakara juga sudah terbiasa menggunakan arah itu. Ini satu hal
yang membuatnya tenang. Arundhati tersenyum.
Arundhati melangkah mencari lantai yang cukup luas sambil tengok kanan
dan kiri mencari sesuatu buat alas dia Sholat. Sampai dekat meja di sudut
ruangan sejajar dengan ranjang Sitakara, Arundhati memutuskan untuk
melaksanakan shalat di situ. Tapi, satu hal yang masih dia inginkan. Sajadah.
Atau apapun yang bisa dia gunakan untuk alas shalat. Arundhati menghayal, andai
Sajadah yang ada di rumahnya dia bawa. Ketika asyik menghayal, tanpa dia sadari
saat ini dia telah berdiri di atas sajaddah yang dia hayalkan. Ketika dia
mengucap niat shalat sambil menunduk dia baru nyadar dia sedang berdiri di atas
karpet yang dia hayalkan. Reflek Arundhati melompat mundur sambil menyebut,
“Masya Allah!”
Mendengar teriakan Arundhati, Sitakara pun kaget. Rasa kantuk yang masih
tersisa tiba-tiba menghilang seketika. Pandangannya dia alihkan ke arah Arundhati.
“Ada apa Ayun?”
“Ini…..? Ini…? Ini….!?” Arundhati berteriak ini ini sambil menunjuk ke
arah sajaddah yang ada di depannya. Sitakara segera paham apa yang dimaksud ini
ini oleh Arundhati.
“Ini bukan dunia kamu Nona Arundhati!” Sitakara mengingatkan Arundhati tentang
posisinya sekaligus dengan menyebutkan panggilannya saat pertama kali mereka
bertemu dengan suatu penekanan.
Demi mendengar Sitakara menyebutnya dengan panggilan Nona Arundhati, Arundhati
langsung memasang tampang kesal. Sitakara tertawa renyah,
“Ha ha ha… sudah sudah sudah! Pasti Ayun tadi memikirkan dengan sangat
sajaddah yang sekarang ada di depan Ayun, kan?”
“Iya, karena gak ada sajaddah, Ayun langsung ingat sajaddah yang ada di
rumah!”
“Nah itu, sudah shalat saja. Itu sajadah Ayun!”
Arundhati kembali berdiri di atas sejadah sambil mengangkat tangan
kanannya menyilang dan mengacungkan jempolnya.
“Sipp, Yu Ara! Terimakasih!”
Arundhati merapikan posisinya, dan mulai melaksanakan shalatnya.
Sitakara yang sudah hilang rasa kantuknya kemudian berdiri, melangkah,
menaiki ranjang Arundhati, merangkak dan turun di sisi sebelah lain ranjang
Arundhati. Sitakara segera masuk kamar mandi, dan tak lama kemudian terdengar
suara shower mengucur. Sitakara mandi. Dan, Arundhati Shalat.
Setelah beberapa belas menit berlalu, Sitakara keluar dari kamar mandi.
Perempuan yang biasanya berbaju beskap hitam dan bercelana komprang saat ini
tampak mengenakan jubah lembut warna hijau muda. Kerudung memang masih belum
dia kenakan. Rambut hitamnya tergerai rapi. Jatuh sempurna di pundaknya.
Sitakara mengayunkan tangannya ke atas seperti hendak mengambil sesuatu, dan
ketika dia menarik tanganya terlihat sebuah kerudung parenanom telah dia
pegang. Tak sampai lama, Sitakara segera mengenakan kerudung itu.
Sitakara melihat Arundati masih belum selesai melaksanakan Sholat. Dalam
perhitungannya, seharusnya sementara dia mandi tadi, Arundhati sudah selesai
melaksanakan sholat. Sitakara menunggu Arundhati selesai melaksanakan
shalatnya. Setelah selesai melaksanakan shalatnya, Sitakara menanyai Arundhati
“Ayun, Shalat Isya juga tadi?”
“He he he… iya, Yu Ara!” Arundhati malu karena ketahuan semalem gak
sholat Isya.
“Ya sudah sini, saya mau Shalat shubuh dulu… sudah kelamaan nih!”
“He he he iya… iya iya Yu Ara.
Sebentar!” Arundhati mundur masih sambil menunduk. Ketika dia mengangkat
kepalanya dan melihat tampilan Sitakara, Arundhati kaget luar biasa.
“Masya Allah! Yu… Ara….! Can…tik seka…li!!!”
Arundhati memuji kecantikan Sitakara dengan gaya kaget, Mata melotot, kedua
tangan terkatup di depan dada. Kartun sekali!
“Udah, udah udah minggir dulu! saya mau sholat dulu!”
Sitakara berdiri di sajaddah milik Arundhati dan segera melaksanakan
shalat Shubuh.
Suasana hening ketika Sitakara melaksanakan shalatnya. Tapi… hmmmm
sepertinya tidak bagi Arundhati. Dia tiduran di ranjang Sitakara. Posisinya
terbalik, kakinya pada posisi mendekati bantal ditekuk ke atas. Dengan kedua tangan
memangku dagu, mata Arundhati fokus tertuju ke arah Sitakara. Wajahnya terlihat
cerah sambil dengan mulut tersenyum-senyum. Sepertinya Arundhati sangat
mengagumi kecantikan Sitakara. Ah, maaf, kisah ini memang penuh dengan gambaran
perempuan cantik.
Sitakara yang tengah shalat sebenarnya agak terganggu dengan kelakuan
Arundhati. Namun dia tetap meneruskan shalatnya. Jika di awal-awal dia masih
membuka matanya, lama-lama Sitakara menutup matanya rapat-rapat. Dia tidak mau
melihat tingkah Arundhati. Arundhati tersenyum semakin lebar demi melihat
perubahan pada mata Sitakara.
Selesai melaksanakan shalatnya, Sitakara duduk sebentar memanjatkan
do’a. Entah do’a apa yang dia panjatkan, bahkan Arundhati pun tidak bisa
mendengarnya. Setelah semua aktifitasnya selesai, Sitakara segera melipat sejadah
dan meletakkannya di atas meja dekat tempat shalatnya. Sitakara mendekati
Arundhati dan duduk di pinggir ranjang Arundhati.
“Ayun, kamu kenapa sih dari tadi ngeliatin saya terus?” tanya Sitakara
kepada Arundhati karena kelakuan Arundhati tadi
“Yu Ara..!”
“Hmmh…!”
“Yu Ara itu dari semenjak saya ketemu Yu Ara saya perhatiin gak pernah
make jubah? Selalu make beskap. Sudah gitu gak pernah ganti pula bajunya!”
Sitakara tertawa renyah
“Ah, kamu Ayun! Nanyanya kok ya berat banget gitu? Memangnya kenapa
kalau saya make beskap?”
“Yah… Kan Yu Ara itu lebih tua dari saya. Saya saja make jubah, Yu Ara
malah make pakaian kayak begitu” Sitakara mendengarkan celoteh Arundhati dengan
hati-hati, “padahal nih ya… Yu Ara itu kalau make jubah itu cantik banget. Kaya
bidadari yang gak pernah ditemuin orang!”
Sitakara tersenyum lagi, “la tuh kan gak pernah ditemuin orang! Gimana
bisa bilang kayak bidadari kalo bidadarinya saja gak pernah dilihat?”
“Pokoknya Yu Ara itu cantik banget, dan buat saya…. Yu Ara ini adalah
penampakan paling cantik yang pernah saya lihat!”
Sekali lagi Sitakara tersenyum, “terus, kalau nanti ada yang lebih
cantik dari saya, apakah dia itu bidadari dan saya bukan?”
Pertanyaan Sitakara kali ini agak bisa membuat Arundhati berhenti
bicara. Kemudian dia bangun dari posisinya, dan duduk di pinggir ranjang.
Seperti anak kecil yang sangat manja, Arundhati menerawang sambil
telunjuknya dia pukul-pukulkan ke pipinya, “mmmm… kalau ada yang lebih cantik
dari Yu Ara berarti…. berarti….”
“Berarti apa Ayun?”
“Berarti bidadarinya lebih dari satu. Yu Ara adalah bidadari yang
pertama saya temui!”
Jawaban Arundhati yang seperti itu kontan membuat pipi Sitakara memerah.
Tapi seperti sebelumnya, jangan tanya, seperti apa memerahnya pipi orang
berkulit putih. Pokoknya percaya saja pipinya memerah dan itu membuat pemilik
pipinya nampak semakin cantik saja.
Sitakara tertawa renyah. Ah… lagi-lagi tertawa renyah! Sitakara
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menunduk dengan kedua tangannya menahan ke
pinggir ranjang, “Ayun… Ayun…! Ada-ada aja kamu!”
“Tapi, saya ini benar lho Yu Ara!”
“Iya, iya..! Kamu benar!”
“Nah… Ayun selalu benar!”
Kembali Sitakara tersenyum melihat tingkah Ayun.
“Ayun, Yu Ara mau nanya..” Kali ini, wajah Sitakara terlihat serius.
Nada pertanyaannya juga nampaknya serius. Namun Arundhati tidak memperhatikan
perubahan sikap Sitakara. Masih dengan gaya manjanya, dia sorongkan wajahnya
sangat dekat ke muka Sitakara, sambil memiringkan ke kanan dan kiri kepalanya, Arundhati
balik bertanya, “Iya Yu! Boleh, mau nanya apa?”
Berhadapan sangat dekat dengan Arundhati saja sudah bikin kaget, apa
lagi begitu meliat goyangan kepala Arundhati. “Ini anak memang luar biasa…..
manjanya!” keluh Sitakara dalam hati sambil menarik kepalanya ke belakang menjauh
dari muka Arundhati, sambil menegur, “Ayun….!”
Arundhati menarik kepalanya sambil tersenyum senyum, “Iya kakak cantik,
mBakyu Sitakara?”
“Kamu ini ih…. lama-lama menakutkan deh!”
“Menakutkan kenapa?” kali ini ganti Arundhati yang berubah roman mukanya.
Dia tidak suka dibilang menakutkan.
Sitakara mulai was-was. Dia sebenarnya tahu kemampuan Arundhati. “aku
memang gini Yu Ara! Ayun tahu maksud yu Ara. Tapi Ayun kasih tahu aja nih, Ayun
masih bisa dheg-dhegan kalo kelamaan sama kang Suman. Lha kalau Yu Ara Ayun
bilang cantik, ya memang cantik. Tapi, itu gak bikn Ayun dheg-dhegan tahu! Ayun
masih normal kakak cantik mBakyu Sitakara!”
Ketika mengucapkan kalimat terakhir, raut muka Arundhati kembali ceria.
Arundhati nyengir memperlihatkan giginya yang rapi. Sitakara lega bahwa
Arundhati tidak marah.
“Memang, Yu Ara mau nanya apa tadi?”
Meskipun tidak terlihat serius, raut muka Arundhati tidak lagi
memperlihatkan kemanjaannya. Sepertinya, Arundhati pun sudah capek
bermain-main. Sitakara memandangi Arundhati dan Arundhati tidak merespon sama
sekali.
“Ayun, apakah dalam tidurmu tadi Ayun bermimpi, atau merasakan sesuai
pengalaman lain?”
Mendengar pertanyaan ini, Arundhati menundukkan kepalanya. Arundhati
baru menyadari bahwa dia tidak ingat apapun dalam tidurnya. Dia tidur sangat
pulas. Memang sempat ada beberapa kesadaran saat dia tertidur tadi, tapi semua
hilang saat dia terbangun. Arundhati terdiam cukup lama, sampai kemudian, “Yu
Ara, Ayun tidak ingat apapun apakah itu berupa mimpi apalagi kesadaran pada
pengalaman lain” Arundhati secara jelas menceritakan apa yang dia alami. “apakah….
Ayun bisa kembali ke dunia Ayun, Yu Ara?”
Sitakara tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ayun, kamu belum mati! Ini
bukan tentang dunia kamu dan dunia ini. Ini tentang bagaimana kesadaran Ayun
tetap terjaga dalam kondisi apapun.”
“Lalu, kenapa tadi Yu Ara menanyakan tentang mimpi?” tanya Ayun tak puas
dengan jawaban Sitakara.
Mendengar pertanyaan Arundhati, Sitakara tidak langsung menjawab. Dia
justeru melihat ke arah jendela di dekat meja di sudut ruangan. Terlihat warna
lembayung tinggal tersisa sedikit di ujung langit. Warna biru mulai menggantikan,
ditemani warna putih dan hitam awan yang bertebaran di sana. Sambil
memperhatikan situasi di luar, Sitakara mulai menjawab pertanyaan Arundhati, “Mimpi
itu adalah presepsi relatif. Apa yang Ayun alami di dunia ini maka akan Ayun persepsikan
sebagai mimpi ketika Ayun bangun di dunia Ayun. Begitu juga ketika Ayun bangun
tadi. Apa yang terjadi di dunia Ayun, akan Ayun persepsikan sebagai mimpi.
Sangat sedikit orang yang mempunyai kesadaran penuh di dua sisi sekaligus
sehingga mampu mengingat kedua kehidupannya. Rata-rata hanya stabil salah satu sisi
saja. Kesadaran yang tidak stabil itu gampangnya dapat dilihat pada orang gila
di salah satu sisi. Dan meskipun stabil di keduanya, seringkali memory dari
kedua sisi itu tidak selaras. Oleh karena itulah, seringkali orang tidak mampu
menceriterakan apa yang terjadi dalam mimpinya. Bahkan kadang merasa bahwa
dirinya tidak bermimpi, meskipun sebenarnya setiap orang selalu bermimpi setiap
kali dia tertidur.”
Arundhati tertegun mendengarkan penjelasan dari Sitakara. Tapi ada hal
yang sangat mengganggunya karena dalam uraian Sitakara jelas disebutkan bahwa seseorang
yang kesadarannya tidak stabil di salah satu sisi, maka dia akan tampil sebagai
orang gila. Orang gila? Ini jelas pelecehan, masa orang secantik dia harus
menjadi orang gila? Ya ya ya… Arundhati tidak terima dengan penjelasan itu.
“Yu Ara!” Arundhati memanggil Sitakara yang masih asik memperhatikan ke
luar jendela.
“Yu Ara…!” Suara Arundati semakin keras memanggil Sitakara. Tapi
Sitakara tetap asik memandang ke luar jendela yang saat ini telah didominasi
oleh warna biru. Ya, hari sudah semakin siang. Matahari mulai menampakkan
eksistensinya menggantikan gelap yang telah menyingkirkannya. Dia tahu Arundhati
mau menanyakan apa. Tanpa terlihat Arundhati, Sitakara menahan ketawanya.
“Ishh… Yu Ara! Dengar gak sih?” Arundhati semakin habis kesabarannya.
Sitakara mengalihkan pandanganya ke arah Arundhati. Dia tersenyum karena telah berhasil
membuat Arundhati penasaran. “Ada apa adik cantik…?”
Arundhati memasang muka cemberut. Sitakara tertawa, “he he he he….. ada
apa adik cantik? Jangan cemberut gitu dong! Yu Ara jadi takut!”
Arundhati tidak peduli, dia terus merajuk.
“Ya udah, Yu Ara minta maaf deh. Ada apa, ada apa?”
“Abisnya, Yu Ara egois! Kayaknya Yu Ara kalo udah asik lupa deh sama
semuanya!”
“Iya iya, Yu Ara minta maaf! Ada apa?”
“Yu Ara!”
“Ya?!”
“Apa Ayun pernah jadi orang gila di sisi sini?”
Sitakara tertawa. Arundhati melotot, “kenapa ketawa Yu Ara? Jadi Ayun pernah
jadi orang gila di sini?”
“Oh… itu yang Ayun tanyakan?”
“Lha ya iya, masa orang secantik Ayun pernah jadi orang gila?”
“Iya Ayun! Adhik Cantik masa gila!” Sitakara menjawab pertanyaan
Arundhati dengan mengambang. Arundhati melotot. Tapi tidak mengeluarkan satu
patah kata pun.
“Ayun ingat, pakaian Ayun ketika pertama kali Ayun menyadari kehadiran
Ayun di sini?”
Arundhati kemudian merenung mengingat-ingat. Ya, dia ingat. Waktu itu
pakaian dia adalah pakaian compang-camping dengan banyak tambalan. Tapi, masa
sih gila? Padahal Arundhati ingat betul, bahwa meskipun compang-camping dan
penuh tambalan tapi tidak seperti kostum partai pengemis di kisah kungfu China.
Kemudian dengan sangat pelan, Arundhati bertanya, “jadi benar Ayun gila, Yu
Ara?”
“Ayun tidak gila. Tidak ada yang Gila. Tadi Yu Ara cuma bercanda!”
Arundhati melotot. Sitakara
tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Ayun hidup biasa saja. Kesadaran Ayun
sama-sama stabil, cuma tidak terhubung. Saat ini kesadaran Ayun sebagian besar
sudah terhubung dalam satu keselarasan, dengan akumulasi pengalaman dari sisi lain
mendominasi akumulasi pengalaman di sisi ini sehingga pengalaman terdahulu Ayun
di sisi ini akan dipersepsikan oleh Ayun sebagai dejavu. Sisi lain adalah sisi yang
Ayun akan anggap sebagai dunia nyata”
Arundhati senang bahwa dia bukan orang gila. “Baiklah kalau memang
adanya diri Ayun di sini memang seperti itu. Tapi kenapa Ayun gak pernah
mendapatkan bayangan seperti yang Yu Ara jelaskan tadi. Maksudnya, bahkan dalam
mimpi-mimpi Ayun, Ayun tidak pernah mendapati kondisi seperti yang Yu Ara
jelaskan tadi?”
Sitakara tersenyum senang mendengar pertanyaan Arundhati. Hal yang akan
dia jelaskan berikutnya memang sebenarnya adalah jawaban bagi pertanyaan
Arundhati.
“Itu karena memory Ayun waktu itu tidak sepenuhnya selaras. Seringkali
memory kamu ini terhubung dengan keyakinan dan pemikiran-pemikiran Ayun sendiri
sehingga apa yang Ayun dapat dalam mimpi-mimpi Ayun justeru bukanlah tentang
kehidupan yang sebenarnya di dunia mimpi ini.”
“Keyakinan dan pemikiran Ayun yang mana Yu Ara?”
“Ya… keyakinan dan pemikiran Ayun!”
“Maksudku, Ayun yang hidup di sisi sana atau yang di sini?”
“Apakah Ayun merasa bahwa Ayun ada dua Ayun di kedua sisi itu?”
“Ya… ya.. ya…. Ya mungkin aja sih”
“Berarti?”
Arundhati terdiam dan berfikir. Lama Arundhati tenggelam dalam pemikirannya.
Semua penjelasan dari Sitakara teramat sulit dia cerna.
Sitakara berdiri dan beranjak dari pinggir ranjang menuju ke meja kecil
di dekat jendela. Dia berdiri di sebelah meja itu memandang ke luar jendela. Sitakara
memandang ke luar jendela dengan kedua tangannya dia lipat ke belakang. Gendong
tangan. Tiba-tiba kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada gordyn yang masih
terlipat dan terikat rapi. Sitakara tersenyum sendiri. “Hmmm…. Berarti semalam
gordyn tidak dibentangkan.
Sementara itu, Arundhati masih duduk di pinggir ranjang Sitakara. Agak
lama kemudian dia berdiri. Tangan kiri dia sedekapkan ke kanan memangku siku
tangan kanannya yang memegang dagunya. Dia berjalan ke arah Sitakara. Sampai di
ujung ranjang dia balik lagi. Terus begitu seperti setrikaan sambil sesekali
tangan kananya bergerak-gerak.
Sitakara yang meskipun sedang melihat keluar tetap memperhatikan setiap
aktifitas Arundhati tanpa memalingkan wajahnya. Lama-lama akhirnya Sitakara membalikkan
badannya sambil tetap gendong tangan. Sitakara hendak membantu Arundhati untuk
menyimpulkan, “jadi gi…….”
“Sebentar sebentar Yu Ara, jangan dijawab dulu!” belum sampai Sitakara
mengucapkan kata-katanya dengan sempurna, Arundhati sudah menahannya, sambil
tangan kirinya dia ulurkan ke arah Sitakara dengan telapak tangan mengarah ke
atas. Kode gerakan stop.
“Ayun tahu! Ayun tahu Yu Ara!”
Arundhati menarik tangan kirinya kembali dia sedekapkan memegang siku
tangan kanannya. Arundhati berjalan ke arah Sitakara. Setelah percis berada di
depan Sitakara, Arundhati melepaskan pegangan tangan kanannya dari dagunya.
Kemudian dengan lipatan jari membentuk pestol, dia gerak-gerakkan tangannya ke muka
Sitakara maju mundur dengan siku tetap bertumpu pada pegangan tangan kirinya,
tanpa mengucapkan apapun. Matanya menatap tajam ke arah Sitakara. Sitakara yang
kaget, menarik kepalanya ke belakang takut jari telunjuk Arundhati mengenai
matanya.
Setelah menggerakkan tangannya tiga kali ke muka Sitakara, Arundhati
memutar badannya membelakangi Sitakara. Arundhati berjalan ke arah pintu dengan
menggendong tangan sambil berkata, “Secara kesadaran Ayun yang di sini dan Ayun
yang ada di sana adalah obyek yang identik dan mempunyai kesadaran yang sama.
Dan ini artinya tidak ada Ayun di sini atau Ayun di sana. Cuma ada Ayun. Namun,
memory di sini dan di sana di dunia Ayun itu sungguh berbeda. Ketika memory di
sini dan di sana di dunia Ayun terhubung, mereka saling mengalirkan data
sehingga apa yang Ayun ingat di dunia Ayun akan terbawa sebagai pengalaman Ayun
di sini. Nah, saat ini memory Ayun tidak terhubung dengan memory di dunia Ayun”
Percis satu meter dari pintu, Arundhati berhenti menyampaikan
kesimpulannya. Kemudian sambil melompat, Arundhati memutar badanya ke arah
Sitakara. Dengan tangannya yang masih dia lipat ke belakang, Arundhati
membungkukkan badan dan memiringkan kepala sambil menatap ke arah Sitakara,
“Betul kan, Yu Ara?”
Arundhati menjep sambil mengedip-kedipkan matanya
Sitakara tersenyum, “betul, tapi kurang tepat!”
“Yah salah ya….?”
Sitakara mengangguk. Arundhati berdiri
dan melepaskan lipatan tangan. Kedua tanganya dia bebaskan di kedua sisi
tubuhnya. Mukanya cemberut dan bibir manyun, “Salahnya di mana dong, Yu Ara?”
“Betul Ayun di sini dan di sana adalah Ayun yang sama. Namun kalau
dibilang memorynya berbeda, ya mana bisa? Memang ada dua memory di kepala Ayun?”
“Bukan… Yu Ara! Bukan begitu…. Ini kalau kata Mas Fadil kakaknya Sophia
yang kerja di perusahaan IT, itu semacam replikasi. Saat ini memory Ayun ini seharusnya
hot standby, menjadi semacam cluster yang saling bersinkronisasi. Karena, Ayun
yang ada di dimensi ini maupun Ayun yang ada di dimensi nyata adalah Ayun yang
identik. Namun karena belum saling terhubung sempurna akhirnya informasi antara
keduanya tidak singkron. Dan, saat ini karena ada singkronisasi searah, ke arah
sini, maka memory Ayun yang ada di dimensi utama mengalami dorman.”
Mendengar bantahan Arundhati, kening Sitakara berkerut dan kemudian berkata,
“Betul, Ayun! Hampir seperti itu”
Arundhati nyengir memukul dada, “Siapa dulu, Ayun!”
Sitakara nyengir melihat Arundhati memukul dada. Sitakara kemudian
melanjutkan penjelasannya.
“Jadi gini Ayun. Biar nggak kemana-mana, Yu Ara akan menyebut Ayun
sebagai kesadaran yang identik. Dan kesadaran seperti ini tidak peduli dia ada
dimana, selama dia ada maka dia bisa berinteraksi. Namun, kesadaran ini harus
terhubung dengan memory yang akan menampung semua informasi yang terkumpul saat
melakukan penyelarasan. Kenapa perlu keselarasan? Karena masing-masing Ayun
adalah object yang otonom. Ketidakseimbangan ketika penyelarasan akan menyebabkan
kekacauan komunikasi antara kesadaran dan memory. Ini yang menyebabkan
seringkali memory gagal diakses oleh sebuah kesadaran. Bentuk yang paling
ringan adalah bahwa kesadaran hanya akan mendapatkan informasi dari memory
dalam bentuk serpihan-sepihan yang bahkan mungkin tidak akan dapat dipahami
sebagai informasi. Bentuk ini banyak terjadi kepada kesadaran yang tidak
identik. Paling fatal, Ayun sudah
mengalami ketika tidak ada satupun memory yang dapat Ayun gunakan dalam
berinteraksi, bahkan dengan Ibu dan Bapak Ayun.
Dan bentuk paling fatal ini pun sebenarnya hanya terjadi pada kesadaran
identik seperti kita ini, Ayun.”
Arundhati mendengarkan dengan seksama penjelasan Sitakara. Namun tetap
saja ada yang mengganjal, “tapi Yu Ara, kalau itu memang cuma kesadaran, kenapa
Ayun sama Yu Ara bisa mempunyai badan seperti ini. Bahkan, Yu Ara bisa tampil
luar biasa cantik?”
Sambil tersenyum Sitakara malah balik bertanya, “andai Ayun dan Yu Ara
tidak menggunakan badan seperti ini, apakah mungkin Ayun bisa berkomunikasi
dengan lancar? Komunikasi dan interaksi adalah hal paling penting dalam menjaga
dan mengembangkan kesadaran. Bila Ayun hanya berdiam diri tanpa berinteraksi
dan berkomunikasi maka bentuk ini tidak diperlukan dan eksistensi Ayun akan
hilang. Ayun menjadi bukan sesuatu, apalagi sesuatu yang diperhitungkan.”
Arundhati tercenung sebentar dan kemudian bertanya, “berarti, badan kita
saat ini adalah wujud kesadaran kita agar kita bisa saling berkomunikasi?”
Sitakara mengangguk. Arundhati mengangguk-angguk. Dalam hati Arundhati dia
berpikir, “kesadaran membuat suatu bentuk….!”.
“Tapi, Ayun, situasi seperti ini hanya berlaku di sini. Dan kita tidak
boleh terlalu lama terjebak pada persepsi relatif yang berlaku di sini.” Lanjut
Sitakara.
“Maksudnya, Yu Ara? Kita berpindah ke dimensi nyata?”
“Tidak, Ayun. Itu akan menyebabkan kamu jadi tidak lagi punya mimpi.”
“Jadi, ke mana kita?”
“Kita akan menuju ke lapis kedua dari dimensi ini. Di sana, bentuk bukan
lagi persepsi dari kesadaran kita.”
“Di mana itu, Yu Ara?”
“Di mana pun, namun tidak semua orang mampu menembus ke sana, dan
siapapun datang ke sana untuk pengalaman pertamanya, mereka harus melewati
portal khusus yang banyak menyediakan frekuensi purba. Ansuman sedang mencari,
tempat terdekat yang mungkin dapat kita gunakan.” Pungkas Sitakara menjelaskan. Arundhati diam, berusaha
mencerna semua penjelasan Sitakara.
Untuk sesaat suasana di dalam kamar itu berubah jadi hening sampai
terdengar ketukan pintu dan seseorang memanggil nama mereka berdua disebut,
“Ayun, Ara, sudah pada bangun belum kalian?”
Baik Arundhati maupun Sitakara sangat mengenal suara itu. Ansuman, siapa
lagi kalau bukan dia. Mereka berdua, apalagi Arundhati, kesal. Masa jam gini hari
masih ada yang berfikir bahwa dia belum bangun. Arundhati teriak membalas, “belum!”
dan diperkuat oleh Sitakara, “iya … belum!”. Kemudian suara di balik pintu itu
terdengar lagi, “ya sudah kalo belum bangun, bangun dulu. Saya tunggu di restaurant!”
“Restaurant?” Arundhati bertanya sambil berbisik. Sitakara mengangguk mengiyakan.
“Makan?” Arundhati kembali bertanya sambil berbisik. Sitakara kembali
mengangguk.
“Ya ya ayuk kalo begitu Yu Ara! Ayun juga sudah lapar!” dengan
bersemangan Arundhati berdiri dan menarik tangan Sitakara dan mengajaknya ke restaurant.
Sitakara mengikuti tarikan tangan Arundhati, namun dia menahannya pada beberapa
langkah sebelum pintu. “Tunggu Ayun, ada yang belum Yu Ara sampaikan ke Ayun!”
Arundhati berhenti, melepaskan tarikan tangannya dan berbalik menghadap ke
Sitakara. “Apa lagi, Yu Ara?”
“Ayun, Yu Ara cuma ingin memastikan, apakah Arundhati sudah betul-betul
memahami apa yang Yu Ara sampaikan tadi?”
Tanpa banyak berfikir Arundhati langsung menjawab, “sudah kakakku cantik
Mbakyu Sitakara! Ayun sudah sangat mengerti apa yang kita bicarakan tadi!”
“Ini yang jawab Ayun atau … perut Ayun?” Sitakara kembali bertanya untuk
menegaskan.
“Yu Ara cantik…., masa Ayun harus pindahkan Yu Ara ke restaurant saat
ini juga?”
Teleportasi? Sitakara terperangah. Bentuk mereka yang hanya merupakan
representasi kesadaran yang berarti sebuah manipulasi informasi, akan sangat mudah
mendapatkan manipulasi yang lain. Dia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban
seperti itu. Sebuah jawaban yang tidak bertele-tele namun dengan pasti
menggambarkan bahwa Arundhati memang sudah mengerti. Dari jawabannya terlihat Arundhati
memang harus menjaga keselarasan antara dimensi nyata dan dimensi mimpi
Arundhati dapat mempertahankan keseimbagnan memorynya. Keselarasan adalah kunci
untuk menjamin bahwa apapun dapat diperbuat di dimensi yang hanya terbangun
oleh kumpulan persepsi, termasuk teleportasi seperti yang dibilang Arundhati
memindahkan Sitakara saat ini juga. Namun, itu akan mempengaruhi keseimbangan
memorynya, sehingga dia tidak akan mampu mengakses informasi yang dia miliki
ketika dia berada di dimensi nyata. Lebih parah adalah apabila kesadarannya
kacau, dia tidak akan mampu mengakses balik memory mimpinya karena terputusnya
keselarasan akibat proses penyelarasan yang tidak stabil. Dan, Arundhati telah
menyadari hal itu, sehingga dia tidak melakukannya. Sebuah pencapaian yang luar
biasa yang didapat hanya dari oborolan santai. Sitakara cuma bisa bilang, “Kamu
kok pinter, to Yun?!”
Sambil tertawa Arundhati menyahuti pujian Sitakara, “lha iyes no Yu
Ara….!” yang disambut tertawa lepas Sitakara. Namun, tanpa dinyana Arundati
merangkul pundak Sitakara, dengan tiba-tiba mereka berdua sudah berada di
retaurant. Sitakara kaget bukan kepalang. Dengan suara dipelankan Sitakara
menegur Arundhati “A..yun? Kamu, berani sekali? Bukannya kamu juga sudah tahu
resikonya?” Dan, bukan Arundhati kalo bukan malah tersenyum-senyum. “Kamu harus
jelaskan nanti, kenapa kamu berani mempraktekkan teleportasi!” Sitakara menegaskan
bahwa dia tidak setuju dengan langkah yang diambil Arundhati. “Dan, ini….ini?
Lepasin tangan kamu Ayun!” Kali ini suara Sitakara terdengar agak marah. Dia
baru menyadari bahwa tangan Arundhati masih melingkar di punggungnya.
Arundhati melepaskan tangannya dan sedikit mundur menjauh dari Sitkara. Arundhati
meraih kursi yang ada di dekatnya untuk kemudian duduk.
“Yu Ara, silakan duduk!” Arundhati mempersilakan Sitakara duduk.
Sitakara memandangi sekelilingnya. Dia hampir tidak percaya bahwa dia sekarang
berdiri di samping meja tempat Ansuman menunggu mereka. Lebih mengagetkan lagi di sampingnya sudah ada
kursi yang siap diduduki. Sitakara duduk, dan ternyata dia duduk berseberangan
dengan Ansuman. Sebuah teleportasi dengan akurasi tanpa cacat. Arundhati bukan
hanya berhasil melakukan tracing terhadap posisi Ansuman, namun Arundhati mampu
mengunci posisi kemunculan dengan tepat meskipun dia tidak punya informasi awal
dari titik kemunculannya.
Kali ini Sitakara benar-benar penasaran, “Ayun, bagaimana Ayun
melakukannya?”
“Melakukan apa, Yu Ara cantik?” Arundhati balik bertanya pura-pura tidak
tahu apa yang ditanyakan oleh Sitakara, sambil menarik kursi duduk di sisi meja
di antara mereka berdua.
“Ya, yang barusan ini, bagaimana Ayun melakukannya?”
“Yang barusan yang mana, barusan ini kan Ayun tidak melakukan apa-apa
selain berdiri, dan... duduk?”
Sepertinya semakin akrab dengan Sitakara, Arundhati semakin berani dan…
manja tentunya. Sitakara diam. Tapi, maaf diamnya kali ini kurang diketahui
kenapa. Namun, kemudian “Ya sudah Yu Ara
mau nanya sama Tuanku Putri Arundhati Nan Cantik Sekali….. Bagaimana tadi
Tuanku Putri Arundhati Nan Cantik Sekali bisa melakukan telaportasi dengan
posisi kemunculan yang akurat padahal Tuanku Putri Nan Cantik Sekali belum
pernah dikasih tahu sama Ansuman dimana dia duduk” sambil tersenyum-senyum dan
memiringkan kepalanya ke arah Arundhati, Sitakara bertanya dengan menyebut
Arundhati dengan sebutan Tuan Putri Arundhati Nan Cantik Sekali. Ya, mana ada juga
gelar Tuan Putri Arundhati Nan Cantik Sekali. Ada-ada saja Sitakara kali ini.
Arundhati cemberut dengan menarik kedua tangannya sedekap. “Iya iya...!
Ayun kasih tahu!”
Sitakara dan Ansuman saling berpandangan dan kemudian sambil tersenyum,
keduanya menoleh ke arah Arundhati.
“Ayun kasih tahu, buat ayun di sini sangat berbeda dengan dunia Ayun. Di
sini gak ada ruang. Yang ada hanyalah persepsi kita tentang ruang. Tadi Ayun
cuma ingin membuktikan dugaan Ayun saja. Dan ternyata setelah Ayun coba dengan
meningkatkan kesadaran Ayun. Ayun berhasil, dan ayun dapat menelusuri
keberadaan Kang Suman secara akurat.”
Sampai di sini, Arundhati berhenti. Tangannya masih bersedekap, mukanya
masih cemberut.
“Terusss...?” sambil mengedipkan matanya ke arah Ansuman, Sitakara
meminta Arundhati meneruskan kisahnya. “Gimana ceritanya tiba-tiba Ayun berani
memindahkan Yu Ara kemari? Padahal kan Ayun tahu resikonya, yakan?”
“Ayun tahu Yu Ara. Tapi buat Ayun, selaras bukan semuanya harus sama.
Implementasinya bisa berbeda. Ayun adalah obyek otonom di masing-masing
dimensi. Ketika berada di dimensi Ayun, kita harus memperhatikan keterbatasan
yang berlaku dunia Ayun, maka di sini Ayun juga harus memperhatikan keterbatasan
yang berlaku di sini. Dan, Ayun rasa memanipulasi persepsi yang mempengaruhi
kesadaran tidak termasuk keterbatasan di sini. Karena seperti yang Yu Ara
Bilang, semua yang ada di sini adalah persepsi relatif.”
“Jadi, Tadi Ayun memanipulasi Yu Ara?”
“Iya! Salah Ya? Yu Ara marah ya? Maapin Ayun ya Yu Ara, Ayun gak
bilang-bilang dulu!”
Sikatara tersenyum sambil bilang, “Enggak Cah Ayu…. Yu Ara nggak marah.
Mana berani Yu Ara marah sama Ayun?!”
Mendengar jawaban Sitakara, seketika wajah Arundhati berubah menjadi
cerah kembali, “betul, Yu Ara gak marah?” Sitakara mengangguk. Arundhati
berdiri dengan badan ke arah Sitakara
“Udah…. Duduk aja gak usah peluk-peluk. Capek Yu Ara dipelukin terus
sama Ayun. Emangnya Yu Ara bantal apa?”
Sebenarnya Arundhati memang mau memeluk Sitakara. Tapi mendengar ucapan Sitakara,
Arundhati mengurungkan niatnya itu. Namun ia tetap berdiri dan melangkah, “Wek…
lagian siapa juga yang mau peluk Yu Ara. Wong Ayun mau ambil Roti sama Telur!”
“E iya, Yu Ara juga belum ambil sarapan. Arundhati, tunggu!”
Sementara itu, di depan Ansuman telah tergeletak beberapa piring kecil
bekas mengambil makanan, sementara Ansuman terlihat santai menyandarkan
tubuhnya sambil menikmati kentang goreng.
Arundhati dan Sitakara kembali ke meja dengan membawa masing-masing satu
tangkep roti bakar dan telur setengah matang. Keduanya duduk dan kemudian menyantap
sarapan mereka. Sementara, Ansuman leyeh-leyeh ke sandaran kursi, kekenyangan.
“Habis ini, siap-siap kita pergi ke gunung Suwung!” Ansuman mengingatkan
sambil tetap leyeh-leyeh.
Arundhati yang sudah selesai sarapannya, setelah mengusap mulutnya
dengan kertas tissue yang dia ambil entah darimana, bertanya, “lha emang kita
mau pergi lagi?” Ansuman, tetap sambil leyeh-leyeh, menjawab, “Iya! Betul!”.
“Emang mau ngapain kita kesana?” tanya Arundhati lagi dan langsung dijawab
Ansuman, “Nanti kamu juga tahu!”
“Nah… tuh… kan! Kambuh lagi! Sebel!”
Ansuman yang masih leyeh-leyeh tiba-tiba menarik-narik tangan kirinya
sembil teriak-teriak sambil ketawa senang, “Eit eit eit….! Ayun….! Jangan
cubit, Jangan cubit!”
“Lah… cubit? Siapa juga yang nyubit!” Arundhati melongo melihat tingkah Ansuman,
namun di sisi lain Sitakara malah senyum-senyum. Ansuman membenahi posisi
duduknya, namun dia belum menyadari kejadiannya dan terus ngoceh, “Ayun… sudah
sudah sudah…. Jangan cubit!”. Arundhati mulai
curiga. Dia menoleh ke arah Sitakara. Sitakara tersenyum sambil menaruh
telunjuknya ke bibirnya yang dimonyongin,”ssstt….!”. Arundhati juga tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar