Senin, Juli 03, 2023

{11} PULANG

Pagi yang cerah. Kesibukan di rumah sakit mulai nampak terlihat. Beberapa orang suster lalu lalang membawa alat periksa nampak sibuk memasuki kamar satu-persatu mengumpulkan data pemeriksaan pagi. Beberapa ada yang membawa botol infus ke kamar pasien. Mungkin ada yang kehabisan cairan infus. Beberapa ada yang tergopoh-gopoh mendorong troli tabung oksigen.
Sementara itu di ruang Melati 1, Ibu terlihat masih tertidur di sofa. Selesai sholat Subuh tadi, beliau langsung lanjut tidur.  Bapak tidak terlihat, mungkin sudah keluar atau tidur di penginapan. Mereka bergantian menemani Arundhati. Di tempat tidur, nampak Arundhati tengah duduk sambil memainkan remote memindah-mindah channel TV. Tidak ada yang menarik sepertinya. Bosan memindah-mindah channel TV, Arundhati bermaksud turun dari ranjang. Namun, ketika baru saja dia menggeser kakinya ke pinggir ranjang, dari arah pintu masuk dua orang perawat.
“Selamat pagi….! Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!” Arundhati menyahut salam dari kedua perawat itu. Ibu terbangun, sambil menyahut salam kedua perawat itu juga. Melihat ibu yang baru terbangun, salah seorang perawat berseru, “gak apa-apa Ibu, kalau masih ngantuk, lanjutkan saja. Kami cuma mau ambil sample darah dari dhik Arundhati.”
Ibu yang sudah terlanjur bangun cuma bilang, “gak papa, sudah cukup tidurnya!”. Ibu tersenyum, dan perawat yang menegur Ibu juga tersenyum. Indah sekali pagi ini, semua orang tersenyum.
Ketika salah seorang dari kedua perawat itu tengah memeriksa suhu, tensi dan mengambil sample darah, perawat yang tadi menegur Ibu melanjutkan perkataannya, “O, iya untuk memastikan kesembuhan Dhik Arundhati, Dokter Pram bilang sepertinya harus di EEG lagi karena pemeriksaan sebelum ini, hasilnya memang kurang bagus. Nanti pukul 10 siang ini, ada yang jemput. Ini, ibu bisa memeriksa dan menandatangani form pemeriksaan EEG.”
Perawat itu mendekati Ibu dan menyodorkan form pemeriksaan. Ibu menerima dan kemudian membaca dan menandatangani form tersebut. Form dikembalkan kepada perawat.
Setelah kedua perawat tersebut menyelesaikan tugasnya, kemudian mereka pamit undur diri.
“Baik, Dhik Arundhati, Ibu, sepertinya sudah selesai, kami akan lanjut ke ruangan laing!”
“Monggo, terima kasih suster!” Ibu mempersilakan kedua perawat itu. Setelah kedua perawat itu keluar dari ruangan, Ibu beranjak dari sofa menuju kamar kecil.
“Ndhuk, Ibu ke kamar kecil dulu, ya! Cuci muka dulu. Wudhu subuh tadi sudah hilang karena ketiduran lagi tadi. Sebentar lagi Bapak datang.”
“Nggih, Bu!”
Setelah ibunya masuk ke kamar mandi, Arundhati duduk sendirian di pinggir ranjang. Berbeda dengan bangunnya dia kemaren sore, bangunnya pagi ini betul-betul bangun yang Sempurna. Memory Arundhati telah berkumpul semua. Kenangan-kenangan setelah kejadian di Balai Desa, pertemuan dengan Sitakara dan Angsuman, teleportasi, Gunung Suwung, sampa ketika bertemu Nandini, serta bertemu dengan perempuan yang lebih cantik dari Sitakara dan lebih tinggi dari Nandini. Nyi Ajar Nismara. Dan, karena saat ini di dimensi manapun dia mampu menjaga kesadarannya secara bersamaan, maka dia tidak perlu menjadi tidur di dimensi lain untuk bangun saat ini. Semua bisa berjalan begitu saja, dan segala pengalaman dari dimensi manapun dia aktif dapat diterima dan dipersepsikan dengan baik oleh Arundhati sebagai satu kesadaran.
Pernyataan Nyi Ajar Nismara yang cukup menggeliltik adalah bahwa dimensi Nyi Ajar Nismara itu mirip dengan dimensi dunia nyata, dan Arundhati adalah orang yang mampu melawan hukum alam ini. Kemudian dia ingat saat selang infusnya lepas tanpa meninggalkan bekas kemarin sore. Untuk itu dia mencoba membuktikannya. Dia ingat kata-kata Nyi Ajar Nismara bahwa Sweta Nandini temannya juga mempunyai kesadaran yang mirip dengan dia. Kelebihan Sweta Nandini adalah pada stamina dari kesadarannya. Namun, dia tidak mampu memanipulasi persepsi. Arundhati kemudian mempraktekkan apa yang dia lakukan terhadap Sitakara di penginapan Merpati. Kesadaran Arundhati mempersepsikan sebuah lengkungan waktu yang tersimpul pada waktu dia mulai melakukan aksinya. Dalam lengkungan waktu dia lakukan teleportasi ke rumah Dini, ke kamar Dini. Di dalam kamar Sweta Nandini, Arundhati melihat Sweta Nandini sedang main laptopnya menonton streaming idol Jepang. Sweta Nandini memang lebih suka Jepang daripada Korea. Arundhati berdiri di belakang kursi Sweta Nandini, dia pegang pundak Sweta Nandini dan kepalanya ia sorongkan ke samping kepala Sweta Nandini sambil berteriak kecil, “hayo…. Nonton apa hayoo…..!”
Nandini kaget hampir melompat dari tempat duduknya. Dia menengok ke samping. Arundhati sudah tegak berdiri di belakangnya sehingga dia tidak melihat siapapun. Kontan, Nandini melompat  berdiri jauh dari kursinya. Melihat lompatan cantik Nandini, Arundhati berseru, “Masya Allah, inilah didikan dari Bu Anis!”. Mendengar seruan Arundhati, Nandini yang telah berdiri jauh dari kursinya tersenyum, “Ah, kamu Ayun! Bikin kaget aja!”. Nandini berjalan ke arah ranjangnya dan kemudian duduk di pinggir ranjangnya.
“Ada apa Ayun? Kamu kok… kamu sudah pulang dari Rumah Sakit?” begitu menyadari bahwa seharusnya Arundhati masih di rumah sakit, Nandini bingung. Arundhati mendekati Nandini, kemudian memegang pundaknya, “Ah, kamu make pura-pura tidak tahu, baru tadi kita ngobrol-ngobrol sama Bu Anis sama Yu Ara!”
“Yu Sita!”
Dalam hati Arundhati, “gak di sana gak di sini, dia masih aja keukeuh Yu Sita, Yu Sita…”
“Yu Ara!”
Nandini kaget lagi, kali ini dia malah sudah duduk di sofa Rumah Sakit, di kamar Arundhati. Arundhati duduk di sebelahnya.
“Yu Sita!” Nandini, masih mau melanjutkan perdebatan Yu Sita versus Yu Ara. Arundhati cuma tersenyum. 
“Iya, kamu boleh sebut Yu Sita, tapi kamu gak boleh ngelarang aku manggil Yu Ara!”
Nandini tersenyum, “Ok, deal!” sambil menyorongkan telapak tangan kanannya yang disambut Arundhati, “deal!!”.  Kemudian mereka tertawa bersama.
“Ayun, biar kata kemampuan kamu melebihi kemampuanku tapi aku adalah kakak seperguruanmu. Ingat itu!” kata Nandini mengingatkan posisinya. Arundhati menyambut dengan berdiri sambil menyilangkan tangan kanannya di dadanya. Arundhati membungkuk sambil mengucapkan, “salam hormat kakak seperguruan Nandini!”
“Sudah… sudah… gak usah make begituan!”
Rupanya Nandini jengah juga diperlakukan begitu oleh Arundhati. Arundhati tertawa dan duduk lagi di samping Nandini.
“Din, di sini cuma kamu yang tahu semua kemampuanku. Aku selalu ingat apa yang dikatakan Yu Ara. Keselarasan. Mohon dengan sangat lagi hormat dengan sepenuh khidmat sampai kiamat…. Tolong jangan kasih tahu siapapun tentang kemampuanku!”
Arundhati memohon kepada Nandini untuk menyembunyikan kemampuannya. Kali ini ganti Nandini yang berdiri sambil menyilangkan tangan kanannya ke dada sambil membungkuk dia mengucapkan, “Salam hormat kepada Tuan Putri Sri Paduka Arundhati Striratna”
Arundhati bingung, “apa-apaan ini?”
Nandini tertawa renyah sambil tetap berdiri, “Ayun, apa kamu lupa bahwa Bu Anis sangat berharap kamu akan memimpin dimensi nya?”
Mendengar apa yang diucapkan oleh Nandini, Arundhati hanya ikut tertawa. Namun tanpa disadari oleh Nandini, Arundhati sudah mengembalikannya ke kamar dengan posisi duduk di depan laptopnya. Percis sama seperti ketika Arundhati mengagetkannya. Nandini masih tertawa sebelum dia menyadari perpindahan posisinya. Kemudian terdengar Arundhati berbisik di telinganya, “besok main ke rumah, ya!” Nandini cuma menggerutu, “dasar… yang punya mainan baru…!”. Nandini melanjutkan menonton streaming idol Jepangnya.
Sementara itu di Rumah Sakit, Arundhati sudah kembali duduk di ranjangnya pada simpul waktu yang dia persepsikan tadi. Hmmm…. betul, dia memang tidak mampu memanipulasi persepsi ruang seperti di dimensi mimpi, namun dia bisa memanipulasi persepsi terhadap waktu melalui gelembung waktu yang dia terapkan kepada dirinya dan Nandini. Kemudian dia juga mampu memanipulasi persepsi terhadap gerak dengan mengabaikan kecepatan, masa, momentum, dan yang pasti gesekan, sehingga dapat melakukan plotting materi kemanapun dia mau tanpa merusak integritas dari materi yang dia pindahkan. Ini tentunya sangat menguras kesadarannya, dan tanpa disadarinya Arundhati yang berada di dimensi kejujuran merasa lemas.
Arundhati berjalan dalam lorong Asrama di padepokan. Di sebelahnya Nandini menemani sambil ngomel-ngomel karena telah menjadi bahan percobaan telportasi dalam cekungan waktu. Setelah sampai di depan pintu salah satu kamar, Nandini membukakan pintu dan mempersilakan masuk, “Silakan masuk Sri Paduka Tuan Putri Arundhati Striratna, silakan beristirahat di dalam, kalau Tuan Putri bermaksud membersihkan badan, kamar ini telah dilengkapi dengan kamar mandi di dalam…”
Nandini dengan sopan mempersilakan Arundhati untuk masuk ke dalam kamar. Tapi ah… entah… ini sopan apa sinis? Bukannya tadi dia habis ngomel-ngomelin Arundhati?
Tanpa peduli kiri kanan Arundhati masuk ke dalam kamar, tengok kiri tengok kanan mencari tempat tidur ternyata ada di depannya. Dia bergegas ke tempat tidur dan langung menjatuhkan badannya ke kasur. Tidur. Nandini cuma berdecak sambil kembali ngomel, “Ck ck ck… dasar…. tukang tidur…!”
Arundhati tersenyum-senyum sendiri di ranjangnya di rumah sakit. Tiba-tiba dari arah pintu Bapak datang sambil mengucap salam, “Assalaamu’alaikum!” dan dibalas oleh Arundhati, “wa’alaikum salaam!”
Bapak menaruh sesuati ke atas meja di dekat sofa, kemudian berjalan ke ranjang Arundhati.
Saat Bapak berjalan ke ranjang Arundhati, Ibu keluar dari kamar mandi. Ibu menyapa Bapak, “E, Bapak sudah datang! Bawa rotinya?”. Bapak menghentikan langkahnya sebentar menengok ke ibu dan kemudian sambil menengok ke arah meja di dekat sofa, tangan Bapak menunjuk ke arah bungkusan, “Itu!”
Ibu segera mengambil bungkusan itu dan membukanya, yang ternyata adalah roti tawar lengkap dengan selai kacang kesukaan Ibu.
Bapak melanjutkan langkahnya mendekati ranjang Arundhati.
“Bagaimana, udah enakan?”
“Ayun sudah ingat semua, Bapak! Ayun ingat ketika Arun terjebak masuk ke halaman balaidesa karena ada kerumunan orang yang menarik perhatian Ayun, yang kemudian bikin Ayun merasa asing dan takut. Untung Ayun ingat arah jalan pulang dari balaidesa. Namun ini pun tidak mudah karena dalam pandangan Ayun baik jalan maupun lingkungan sekitar balaidesa memang bukan desa kita. Dengan keyakinan bahwa kenyataan yang sebenarnya masih ada dan tersembunyi di balik pandangan Ayun, Ayun berjalan dengan menghitung langkah ke rumah. Sesampai di depan rumah, dalam pandangan Ayun yang ada cuma semak-semak dan pepohonan layaknya di sebuah hutan. Tapi Ayun tetap melangkah masuk dan Ayun pingsan.”
Arundhati menceritakan pengalamannya dari balaidesa sampi dia pingsan. Bapak pun menceritakan ketika tiba-tiba tubuh Ayun terhuyung dan jatuh namun sempat ia tangkap. Arundhati menceritakan semua pengalamannya, termasuk ketika dia bahkan tidak dapat berbicara apapun karena semua ingatanya lenyap. Namun, Arundhati tidak menceritakan perjumpaanya dengan Sitakara Dhanta, Ansuman Adyucara, dan Nyi Ajar Nismara. Bagian-bagian pengalaman yang bila diceritakan justeru akan mempersulit dirinya.
Saat asik mereka saling bercerita, dari pintu terdengar salam, “selamat pagi, Assalamu’alaikum!”
Semuanya, bapak, Arundhati, dan Ibu membalas salam, “wa’alaikum salam!”. Dua perawat masuk, satu orang membawa kursi roda dan satu yang lain membawa berkas. Perawat yang membawa berkas mendekati Bapak “mohon ijin Bapak, sesuai jadwal hari ini jam Anak Arundhati akan menjalani pemeriksaan EEG. Mohon tanda-tangannya, pada hari ini jam 09:50 kami membawa keluar Anak Arundhati ke Lab EEG”, kata si perawat sambil menyodorkan dokumen untuk ditandatangani oleh Bapak. Setelah dokumen ditandatangani, kedua perawat itu meminta Arundhati untuk duduk di kursi roda. Sebenarnya Arundhati ogah naik kursi roda, tapi pikir-pikir boleh juga lah buat main-main sedikit. Arundhati kemudian turun dan duduk di kursi roda.
Hal yang membuat Arundhati jengah adalah ketika turun adalah bahwa kedua perawat itu berusaha memapah, menjaga agar Arundhati tidak terjatuh. Ya, Arundhati adalah pasien yang masuk ke Rumah Sakit dalam kondisi pingsan. Sebelum keluar, tiba-tiba ibu berucap meminta, “tunggu dulu, saya ikut!”
Perawat yang mendorong kursi roda menjawab, “O, Ibu mau ikut? Baik boleh!”. Ibu segera melangkah bersama kedua perawat itu. Sesampainya di ruang EEG, Ibu meminta untuk ikut masuk. Kedua perawat itu membolehkan Ibu untuk masuk menemani Arundhati.
Di dalam ruangan EEG Arundhati melepaskan kerudungnya. Sambil terus bercakap-cakap dengan ibu dengan sigap mereka memasang sekitar tigapuluhan kabel menempel di kepala Arundhati. Beberapa malah di dahi Arundhati. Arundhati terlihat tenang, sangat tenang untuk gadis lincah seperti Arundhati. Arundhati menekan semua kemampuan persepsinya sampai ke titik orang normal tidur. Arundhati tahu, bahwa manipulasi persepsi yang ia lakukan akan mempengaruhi kelistrikan otak sehingga akan terekam sebagai aktifitas kelistrikan yang tidak normal. 
Tepat setelah semua kabel terpasang dan proses perekaman mulai dilakukan, Arundhati telah mencapai titik ketenangan maksimal. Aktifitas kelistrikan juga berjalan normal. Perawat yang mengoperasikan perangkat sambil mengamati monitor terlihat agak sedikit kaget, “luar biasa… bahkan sekarang gelombang kelistrikan pada otak Dhik Arundhati terlihat sungguh sangat normal” Perawat itu kemudian menekan salah satu tombol pada keyboard, dan mesin pencetak tiba-tiba menyala menarik kertas dan mulai mencetak.
Kedua perawat itu mulai melepas kabel-kabel yang menempel di kepala Arundhati. Setelah selesai merapikan perangkat, kedua perawat itu kembali membawa Arundhati ke kamarnya. Ibu ikut kembali ke kamar.
Siang hari, menjelang Dzuhr, dokter Pramono datang ke ruangan Arundhati. “Assalamu’alaikum…. Selamat siang…….!” Dokter pramono masuk sambil uluk salam dan langsung ke ranjang Arundhti. Seorang perawat mengikutinya sambil membawa beberapa dokument. 
“Gimana Ayun? Panggilannya Ayun, bukan?” sambil berdiri di samping ranjang Arundhati, dokter Pramono mulai membuka pembicaraan. Menjawab pertanyaan dokter Pramaono, Arundhati cuma mengangguk sambil tersenyum. Dokter Pramono membalas senyuman Arundhati.
“Dua hari tidur di Rumah Sakit. Dan, katanya udah tidur tiga hari juga di rumah ya, Pak?”
Bapak menjawab sambil tertawa kecil, “betul, dokter. Sambil nangis lagi….!”. Mendengar jawaban Bapak, Arundhati tersenyum malu.
“O, gitu?” tanya dokter Pramono ke Arundhati.
“Ya, mana saya tahu, Dok! Kan saya tidur, katanya!” jawab Arundhati sambil bersungut menahan malu.  Semua yang ada di ruangan itu tertawa.
 Dokter Pramono melihat ke gantungan infus. Sepertinya dia mencari botol infusnya, “Ini, infus kapan dilepasnya?”
“Kemarin sore, Dok!” jawab perawat.
“Oh, kalau melihat kondisi hari ini, sepertinya memang sudah tidak perlu lagi infus.” Sepertinya dokter Pramono tidak mempermasalahkan infus yang sudah dicabut. “Makan udah banyak?” tanya dokter Pramono sekali lagi kepada Arundhati.
“Sudah, Dok! Semalam sudah habis satu piring. Barusan, roti yang dibawa ibunya malah sudah dihabisin sama dia!” belum lagi Arundhati menjawab, Bapak sudah menjawab. Arundhati tambah malu, dokter Pramono kembali tertawa lebar, “Wow, bagus sekali!, Suster, bagaimana hasil EEG nya?” 
“Ini, dokter!” perawat yang sedari tadi selalu mengikuti dokter Pramono menyodorkan satu bundel dokumen. Dokter Pramono membaca bundel dokumen tersebut dengan sesekali alisnya dia angkat. Setelah selesai, dokter Pramono mengembalikan dokumen tersebut kepada perawatnya sambil tersenyum.
“Ok, kalau melihat hasil EEG, subu tubuh, dan pemeriksaan darah tadi pagi, semuanya menunjukkan perkembangan yang baik. Arundhati, boleh pulang! ”
“Wah, terimakasih Dok!” sambut Bapak dan Ibu.
Arundhati cuma senyum. Kali ini senyum senang.
“Baik, kalau begitu saya pamit dulu! Ayun, sayang sekali kita ngobrol cuma sebentar. Tapi kalau mau ngobrol lagi jangan di sini ya!” dokter Pramono pamit undur diri sambil meledek Arundhati. Arundhati kesal, Bapak cuma tersenyum. 
Hari ini adalah hari yang benar-benar bahagia buat Bapak dan Ibu. Anak semata wayang mereka telah kembali seperti sebelumnya, kembali menjadi Arundhati yang manja dan sangat ceria. Setelah menyelesaikan segala sesuatu terkait perawatan Arundhati di Rumah Sakit, keluarga kecil itu segera bebenah dan, pulang.


0 komentar: