Ansuman masih teriak-teriak pelan agar tidak dicubit Arundhati, sambil menarik-narik lengannya terlihat mukanya kadang melihat ke lengannya kadang mendongak ke atas seakan ada seseorang yang berdiri di depannya. Arundhati tersenyum-senyum melihat Ansuman. Sesekali Arundhati melirik ke arah Sitakara yang nampaknya asik menikmati keisengannya sampai akhirnya Arundhati menegurnya, “sudah sudah sudah Yu Ara. Kasihan Ansuman, kaya orang nganu aja…!” Arundhati menegur Sitakara sambil tersenyum geli tentunya. Ya gimana tidak, saat itu Ansuman memang kayak orang nganu. Namun, mendadak Ansuman diam. Dia tidak lagi teriak-teriak. Ansuman bingung, Arundhati yang mungkin, dalam persepsinya tadi mau mencubit tiba-tiba terlihat duduk di kursinya tanpa meninggalkan sedikitpun ekspresinya waktu mau mencubit dia. Namun, nampaknya Ansuman segera menyadari ini kelakuan siapa, “o… ada yang dapet mainan baru ternyata!” Ansuman mengalihkan pandangannya ke arah Sitakara. Sitakara tahu siapa yang dimaksud Ansuman namun dia pura-pura tidak tahu. Sitakara malah berdiri, sambil menunjuk ke arah belakang Ansuman dan berteriak, “Ayun, itu burungnya cantik banget tuh!” Ansuman tidak bereaksi, “halah.. trik kuno, gak laku!” Akan tetapi, ketika Arundhati bangun dan melihat ke arah yang ditunjuk Sitakara, Ansuman pun akhirnya memutar tubuhnya ke belakang. Tanpa dia sadari, tangan kanan Sitakara sudah meraih tangan kiri Arundhati untuk segera mengajaknya pergi. Mereka berlari ke arah kamar mereka. Ansuman yang telah melihat ke belakang sepenuhnya tidak melihat apapun yang ditunjuk oleh Siitakara tadi, “mana… burungnya gak ada!” namun sayang tidak ada sahutan sama sekali. Agak lama mata Ansuman mencari-cari burung yang dibilang sama Sitakara sambil mengerakan kepalanya sampai kemudian berhenti karena menyadari apa yang sedang dia alami. “Hh…h! Kena lagi!” keluhnya. Ansuman bangun dari duduknya dan berjalan sambil komat-kamit.
Arundati yang tengah berjalan bersama Sitakara ke kamar sambil tertawa-tawa tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sitakara juga berhenti. Tiba-tiba dia mendengar suara Ansuman yang sangat keras sekali, “Buru ke kamarnya, saya tunggu di depan!” Arundhati membalikkan badannya kemudian teriak pelan, “dasar norak, gitu aja make teriak-teriak!”
Sitakara yang ikut berhenti, namun dia malah tersenyum melihat Arundhati yang nampaknya sedang kesal. “Ayun, dia gak teriak-teriak. Dia cuma nargetin Ayun. Yu Ara gak Denger!”Arundhati, membalikan badannya lagi ke arah semula sambil tersenyum, “hi hi hi…., coba Yu Ara lihat apa yang sedang terjadi sama kang Suman!”
Demi mendengar jawaban Arundhati, tanpa menunggu lama Sitakara segera membalik badannya dan melihat ke arah mereka sarapan tadi. Tak jauh dari situ, terlihat Ansuman sedang membungkuk-bungkuk sambil memegang kupingnya. Sitakara membalikkan badannya kembali, dan sambil menarik tangan Arundhati, dia berbisik, “jangan keras-keras, mekipun itu bukan suara sebenarnya, namun kalau terlalu keras itu bisa mengguncang kesadaran Ansuman!” Arundhati tidak langsung menjawab. Dia tarik kedua sudut bibirnya sehingga wajah tirusnya menjadi sedikit cabi, sambil matanya membesar. Ada senyum yang dia tahan ketika kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yu, Ara!” panggil Arundhati ketika mereka telah berada di dalam kamar beberes. “Ya, Ayun!” sahut Sitakara. “Yu Ara tahu gak, tadi Kang Suman kenapa dia pegang-pegang kuping?”
“Kamu teriakin keras-keras!?”
“Bukan, Yu Ara!”
Sitakara yang tengah melipat-lipat bajunya berhente sesaat. Ada rasa lega karena Arundhati tidak meneriakinya. Kemudian dia melanjutkan melipat-lipat, “jadi tadi bukan kamu teriakin keras-keras? Terus kamu apain?”
Arundhati klecam-klecem tersenyum, “tadi Ayun make jurus yang umumnya cuma perempuan doang yang bisa menggunakan!”
Kali ini Sitakara jadi penasaran. Arundhati memang selalu membuat kejutan. Salah satunya ketika dia memindahkan dirinya ke restauran tadi. Kejutan apalagi yang dia tunjukkan kali ini. Sesaat setelah Sitakara telah selesai melipat-lipat baju, Sitakara duduk di pinggir ranjang dan bertanya pada Arundhati, “jurus apa itu Ayun?”
“Jurus serangan sejuta kata-kata…….!” Jawab Arundhati sambil berdiri dengan tangan kanan dia angkat miring ke atas dan tangan kiri dia silangkan mengukti arah tangan kanannya.
Sitakara tertawa terkekeh-kekeh saat mendengar jawaban Arundhati, “kamu omelin, maksudnya?”
“La ya iya… Yu Ara. Apalagi?”
Mendengar jawaban Arundhati, Sitakara tertawa. Arundhati tertawa. Hmm…. Ya mereka berdua tertawa. Hmmm…. Dua perempuan cantik sedang tertawa, sepertinya tidak perlu digambarkan di sini.
Setelah selesai tertawa, Sitakara bertanya kepada Arundhati, “Ayun, memang tadi Ansuman bilang apa, sampai kamu omelin gitu?”
“Bukan omongannya sih Yu, yang bikin Ayun kesel!”
“Eh iya, caranya mungkin ya yang bikin Ayun kesel?”
“Iya sih, Yu Ara. Kan kita masih belum jauh. Ngapain make pamer kemampuan begitu?” Arundhati mengungkapkan kekesalannya.
“Ha ha ha… dia gak pamer kemampuan Ayun! Dia cuma pengin kenal lebih deket sama kamu!” jelas Sitakara sambil mengedipkan matanya sebelah ke arah Arundhati. Namun yang dikedipin tidak melihat, malah teriak,
“O iya… tadi Kang Suman bilangnya, buru ditunggu di depan! Ayo Yu segera kita ke depan!”
“O, gitu….! Ayo kalau begitu!” seru Sitakara sambil mengambil travel bagnya.
“Ayun gini aja, ya!”
Arundhati bergaya bak foto model kehilangan tukan foto. Kaki kirinya agak ke depan, kedua tangan ksamping dengan telapak membuka sejajar pundak, kepala miring kiri, “tara…..!”
Arundhati tampak tidak membawa apapun.
“Ya udah, udah ayo kita kedepan. Ansuman udah pesen taksi on line!” tergesa-gera Sitakara menarik Arundhati. Arundhati tidak menyadari kalau Sitakara juga sudah tidak menyangking travel bag lagi.
Sesampainya di lobby penginapan, Ansuman terlihat tengah berdiri dekat pintu, dan secara reflek tangan kirinya dia angkat menyilang di depan mukanya seperti tengah melihat jam, padahal dia tidak mengenakan jam tangan sama sekali. Arundhati kesal melihat gaya sok cool dari Ansuman, “Iya.. iya kami agak telat!” sambil pasang muka cemberut. Arundhati, Sitakara, dan Ansuman berdiri berjajar di depan pintu penginapan dengan Arundhati berdiri membelakangi Sitakara dan Ansuman. Sitakara melirik Arundhati kemudian menengok ke arah Ansuman. Sitakara tersenyum, Ansuman nyengir kuda. Tak lama kemudian taksi yang mereka pesan datang. Sebuah mobil entah merek apa yang pasti disainnya agak unik mirip mobil tua. Pintu depan mobil itu terbuka. Seseorang telah membukakan pintu dari dalam, dan dari dalam mobil dengan tangan kiri menahan di jok, seorang lelaki bertampang latin dengan bewok hitam tercukur rapi menyorongkan mukanya, “Mas Ansuman?”. Lelaki itu bertanya memastikan bahwa salah seorang tentunya laki-laki yang berdiri itu bernama Ansuman. Dengan sigap Ansuman menjawab, “Iya saya!”. Lelaki itu kemudian mempersilakan mereka masuk.
Arundhati segera membuka pintu belakang. Namun dia malah memegang tangan Ansuman yang ternyata juga mau membuka pintu belakang. Tangan Ansuman terhenti, Arundhati segera menarik tangannya sambll mundur berdiri tegak dan melotot ke arah Ansuman. Sitakara tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya. “Kang Ansuman, sampeyan itu di depan duduknya! Bukan di belakang!” Ansuman kembali mengambil muka kudanya dan nyengir tanpa dosa. Sambil menahan ketawanya, Sitakara menegur Ansuman, “Ansuman, kamu mau duduk di belakang sama Ayun? Oklah kalau begitu. Yu Ara duduk di depan ya!”
Mendengar teguran Sitakara, baik Ansuman maupun Arundhati sama-sama memalingkan mukanya ke Sitakara. Ansuman tambah lebar senyumnya, sementara Arundhati malah semakin melotot, “Ogiah…! Yu Ara aja yang di belakang sama Kang Suman. Biar Ayun di depan sama Abang taksinya.” Arundhati menolak usulan Sitakara. Arundhati tidak mau duduk di jok belakang bareng Ansuman. Bagi Arundhati, kalau memang Ansuman mau duduk di belakang, mending dia duduk di depan bareng Abang Taksi yang pasti lebih ganteng dari Ansuman. Dan, sepertinya Sitakara tahu apa yang dipikirkan Arundhati, “ha ha ha ha…. Ya udah kalo begitu. Ansuman, kamu di depan nemenin si Abang taksi. Biar Yu Ara aja yang di belakang sama Arundhati!”
“Nah, gitu… baru bener!” teriak Arundhati. Namun belum ada perubahan raut muka yang signifikan. Agak sedikit kecewa sih, tapi sepertinya itu lebih baik daripada harus duduk sama Ansuman. Yah… Arundhati, pas awal ketemu padahal sempat salah tingkah berhadapan sama Ansuman. Ansuman melepaskan pegangannya sambil menarik handle pintu, “silakan nona Arundhati….!”. Ansuman mempersilakan Arundhati masuk ke dalam mobil. “Terimakasih Kang Ansuman yang baik hati dan tidak sombong!” balas Arundhati sambil membungkuk.
“Yu Ara! Yu Ara masuk dulu!” Arundhati tidak jadi masuk ke dalam mobil. Sambil mundur memberikan ruang, diia mempersilakan Sitakara masuk ke dalam mobil. Sitakara segera masuk ke dalam mobil diikuti kemudian oleh Arundhati dan menutup pintu mobil. Ansuman sudah terlebih dulu masuk ke dalam mobil di jok depan. Setelah semua duduk di dalam mobil, si Abang taksi bertanya ke Ansuman, “Mas Suman, tujuan sudah sesuai dengan aplikasi?”. Sambil memasang sabuk pengaman, Ansuman menjawab, “Iya, kita ke gunung Suwung ya Mas….” Ansuman mengambil gadget-nya dan membuka aplikasi, “ Harjito!”. Ansuman menyebut nama si Abang taksi sesuai yang tertulis di aplikasi. Si Abang taksi tersenyum sambil berkata, “baik, kita lewat desa Dlesep ya kemudian ara-ara Karangtadah, baru ke Wanagung di kaki Gunung Suwung. Saya hanya sampai di situ ya, Mas Ansuman!”. Ansuman hanya mengangguk sambil mengelus-elus layar gadgetnya yang kemudian dia matikan dan dia simpan ke balik baju luriknya sambil menjawab si Abang taksi, “Iya, gak apa. Sampeyan mestinya lebih tahu jalan yang paling singkat!”. Si Abang taksi tersenyum, kemudian mereka terlibat pembicaraan santai sambil diselingi tawa.
Selama perjalanan, pengisi kedua baris jok terlibat ke dalam obrolan mereka masing-masing. Ketika Ansuman dan si Abang taksi terlibat dalam satu pembicaraan yang gayeng, Arundhati dan Sitakara jug terlibat dalam suatu pembicaraan yang gayeng pula.
“Yu Ara, dari tadi sebenarnya Ayun mau nanya!” sambil miring merapatkan pundaknya ke pundak Sitakara, Arundhati berbisik dengan muka dia palinkan ke Arundhati.
“Tanya apa?” Sitakara bertanya sambil bergeser mencoba menjauhi Arundhati dengan pandangannya lurus ke depan. Sembil semakin mendekatkan kepalanya ke Sitakara, Arundhati berbisik, “kenapa kita gak make teleportasi? Malah naik taksi ginian”
Sitakara berhenti bergeser, menoleh ke arah Arundhati sambil menjawab pertanyaan Arundhati dengan berbisik juga, “ingat keselarasan…!”
Arundhati menarik kepalanya, duduk tegak sambil bertanya pelan tanpa ekspresi, “keselarasan? Bukankah keselarasan tidak selalu berarti bahwa setiap ketidakmampuan di dunia Ayun tidak harus direplikas di sini?”
“Betul, namun ketidakbiasaan yang terlalu sering berulang akan menurunkan ambang kesadaran kepada titik terendah dan ini terlalu berisiko buat Ayun”, lanjut Sitakara mengingatkan. Arundhati cemberut.
Si Abang taksi yang sedang sibuk bertukar suara (ngobrol) dengan Ansuman tiba-tiba menjulurkan kepalanya ke depan dilanjut tengok kanan dan tengok kiri, “Tuan dan nona nona semua, sebentar lagi kita akan memasuki hutan Wanagung. Hutan ini sangat datar dan jalan yang akan kita lewati juga sangat lurus. Tapi, tenang! Ini bukan jalan tol jadi free of charge!”
Ansuman dan Sitakara tersenyum, sementara Arundhati masih pasang muka cemberut.
Ketika mobil memasuki jalan yang sangat lurus itu, pada beberapa puluh meter awal seisi mobil selain Arundhati kaget. Mobil yang mereka tumpangi mendadak sudah berada di ujung jalan. Sitakara dan Ansuman, dua-duanya, memalingkan mukanya ke Arundhati. Mereka berdua melotot. Arundhati pasang tampang tak bersalah sambil berkata, “oh… sampai ya? Yu Ara? Kang Suman? Dan… dan bang siapa namanya?” sambil mencoleh pundak si Abang Taksi. Si Abang Taksi menyahut sambil tersenyum tipis, “Harjito..”. Arundhati membalas senyum Harjito yang terlihat dari spion dalam mobil dengan senyuman lebar sambil meneruskan bicaranya, “e iya… Bang Jito. Tapi mestinya kalo Jito bukan Bang dong! Kang aja, boleh? Kang Jito?” Harjito mengangguk. Seperti anak kecil yang baru dapet permen, senyum Arundhati semakin semringah dengan kedua tangannya membuat gerakan tepuk tangan di depan dada, “asiikkk…!”
“Ayun!” Sitakara dan Ansuman menegur Arundhati. Arundhati cuma cengar-cengir. Dengan memasang tampang seratus persen inosen, Arundhati memalingkan mukannya ke arah Sitakara dan berkata terpatah-patah, “Su..dah sam..pai, kan Yu Ara?”
Dalam hati, sebenarnya Sitakara tahu kenapa Arundhati bersikap seperti itu. Arundhati tahu kesalahannya, dan ingin menutupi dengan gaya manjanya. Demikian juga Ansuman. Ansuman juga tahu kenapa Arundhati bersikap seperti itu. Namun, bila kemudian Sitakara tersenyum, Ansuman justeru malah terlihat kesal dengan kelakuan Arundhati. Sitakara tersenyum karena kelakuan Arundhati barusan itu lucu, sementara bagi Ansuman kelakuan Arundhati justeru bikin hatinya panas. Terutama ketika Arundhati mencandai si Abang Taksi. Ada rasa cemburu yang tiba-tiba menyusup ke dadanya dan memukul-mukul jantungnya. Sitakara membenahi duduknya, kembali menghadap ke depan. Pun dengan Ansuman, dia duduk menghadap ke depan. Kali ini semua diam, kecuali Arundhati yang sibuk menggerak-gerakkan jari tangannya yang saling bertautan di atas pahanya, sementara sesekali dia sorongkan kepalanya secara acak seakan tengah melihat-lihat situasi.
Memasuki keramaian, si Abang Taksi mulai mengurangi kecepatannya. Keramaian di sini sebenarnya adalah keramaian layaknya kota. Namun, situasinya sangat berbeda dari kota tempat Arundhati menginap semalam. Tidak ada bangunan yang sepenuhnya menggunakan bahan permanen. Bagi Arundhati pemandangan kota ini mirip dengan kota sebelum dia dibujuk untuk menyeberangi jembatan. Situasi yang sebelas duabelas bahkan sampai kepada orang-orang yang ada di sana.
“Mas Ansuman, saya tidak tahu apakah kita telah sampai. Namun saya hanya bisa mengantar sampai sini.” Sambil menghentikan mobil percis di bawah pohon beringin yang sangat rindang, si Abang taksi memberitahu bahwa dia tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan mengantar mereka, “di depan sana hanya ada satu jalan menuju alun-alun kota. Namun sayang, penguasa kota ini telah menetapkan aturan bahwa segala jenis kendaraan tidak diperkenankan melalui jalan itu!”
Ansuman mengangguk-anggukan kepalanya. Sepertinya dia mengerti apa yang disampaikan sama si Abang taksi. Kemudian, Ansuman berkata kepada Arundhati dan Sitakara, “Kalau begitu, kita turun di sini, Ayun, Ara!”
Arundhati dan Sitakara turun dari mobil, disusul Ansuman. Sambil membuka pintu untuk turun, Ansuman mengucapkan terima kasih kepada si Abang taksi, “terima kasih ya, Mas!”. Si Abang taksi membalas ucapan terimakasih itu dengan tak lupa meminta bintng lima pada aplikasi, “sama-sama, Mas. Jangan lupa bintang limanya, ya!”. Ansuman mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Setelah mobil yang mengantar mereka pergi, Ansuman segera mengajak mereka bertiga segera beranjak dari tempat itu. “Ayo, hari udah panas ini. Kalo gak salah di dekat alun-alun ada tempat makan yang enak!”. Tanpa banyak bicara, Sitakara dan Arundhati segera mengikuti ajakan Ansuman. Dan kemudian, mereka bertiga berjalan tanpa banyak bercakap-cakap. Arundhati sibuk mengamati rumah-rumah yang ada di kiri kanan jalan. Sitakara berjalan sambil menunduk. Entah apa yang dia pikirkan. Ansuman berjalan di depan kedua perempuan itu sambil gendong tangan, tepat di depan Sitakara. Ansuman tahu Sitakara berjalan sambil menunduk. Muncul keisengan Ansuman. Ansuman menghentikan langkahnya. Namun, tidak seperti yang diharapkan Ansuman, Sitakara bergeser ke kanan menghindari Ansuman, sambil melempar senyum kemenangan ke arah Ansuman. Menang karena dia mampu menghindar dari keusilan Ansuman. Ansuman garuk-garuk kepala. Arundhati yang kebetulan melihat aksi Ansuman berhenti sebentar dan menahan tawa. Tidak lama kemudian, Arundhati berlari kecil mendekati Sitakara yang tetap berjalan meninggalkan mereka berdua.
Sementara itu, di kejauhan pada arah jalan, nampak sebuah gunung yang terlihat berdiri anggun ditemani awan-awan putih mengelilingi. Langit biru menjadi latar yang indah mempertegas kehadirannya. Matahari tak lagi terik. Dia sudah beranjak dari singgasana tertingginya. Ansuman yang sendirian di belakang Arundhati dan Sitakara sejenak berdiri terpaku memandangi gunung itu. Gunung yang begitu anggun itu baginya tampak menggetarkan. Ansuman pernah berada di gunung itu. Gunung Suwung. Setelah beberapa saat tenggelam dalam memorinya tentang Gunung Suwung, Ansuman kemudian menundukkan kepalanya. “Guru, saya datang bersama orang yang kau ceritakan!” guman Ansuman dalam hati sambil menegakkan kepalanya. Alangkah terkejutnya Ansuman saat dia melihat ke arah Arundhati dan Sitakara. Kedua perempuan itu telah jauh meninggalkannya dan kini telah mendekati alun-alun. Ansuman berteriak kepada Sitakara dan Arundhati, “wuooooy…. Tunggu!”. Ansuman berlari secepat kilat. Ansuman berhenti tepat di depan Arundhati, dan berkata dengan gaya serius “Ayun…! Tunggu sebentar!”
Ayun tertegun sebentar. Ansuman adalah orang pertama yang dia temui di dunia mimpi ini. Pandangan pertama Arundhati, sosok Ansuman memang sosok yang serius. Namun, sedari semalam sebenarnya dia sangat menikmati sosok Ansuman yang konyol. Dan, tampang seriusnya barusan nampak bikin kaget. Sebenarnya kekagetan Arundhati ini terbaca juga oleh Ansuman. Namun, kali ini Ansuman nampaknya enggan bertingkah konyol. Melihat keseriusan Ansuman, Sitakara pun ikut berhenti.
“Ayun, coba kamu tengok Gunung yang itu!” sambil tangannya menunjuk ke arah gunung, Ansuman meminta Arundhati untuk melihat gunung itu. Arundhati pun mengarahkan pandangannya mengikuti gerakan tangan Ansuman.
“Ada apa dengan gunung itu, Kang?”
“Gunung itu adalah tujuan kita pergi kali ini. Itulah Gunung Suwung. Di puncak gunung terdapat frekuensi purba yang dapat kita gunakan untuk menuntun Ayun menembus lapis kedua dimensi ini. Sebuah lapisan yang sebarusnya sudah menjadi dimensi tersendiri, namun karena tidak dapat terlepas dengan dimensi mimpi….”
Karena sudah pernah mendengarkan penjelasan dari Sitakara, Arundhati jadi bosan mendengarkan penjelasan Asnsuman. Dan ketika Ansuman mengatakan, “…. Karena tugas kami adalah membawa kamu ke padepokan yang berada pada lapis kedua, makanya kami mengajak……” Belum Ansuman menyelesaikan ceritanya, Arundhati sudah melesat ke atas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ansuman dan Sitakara mendongakkan kepalanya. Arundhati sudah tidak terlihat lagi. Sambil tetap mendongakkan kepalanya, Ansuman meneruskan penjelasan, “kamu!”
Sitakara menyahut kata penutup cerita Ansuman itu dengan muka berbinar, “Iya, memang sepertinya memang dia!”. Ansuman tersenyum melirik ke arah Sitakara sambil menganggukan kepala. Sitakara membalas dengan menganggukan kepala. Kemudian keduanya pun melesat dan menghilang.
0 komentar:
Posting Komentar